Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Layanan Khusus

Artikel 1
Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani


Kamis, 26 Februari 2009
BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.
Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, Kamis (26/2). SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.
Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.
Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.
Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.

Guru terbatas
Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.
Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.

Artikel 2
Dana Siswa Miskin Lamongan Rp 120.000 per Bulan


Rabu, 7 Januari 2009
LAMONGAN, RABU - Besaran anggaran bantuan khusus siswa miskin di Kabupaten Lamongan tahun 2009 direncanakan naik dari Rp 65.000 hingga menjadi Rp 120.000 per bulan per siswa. Jatah bantuan tersebut rencananya diberikan kepada 4.112 siswa SMA, SMK dan MA sama seperti tahun 2008 lalu.
Kepala Bagian Humas dan Informasi Komunikasi Lamongan Aris Wibawa, Rabu (7/1), mengatakan sampai saat ini Surat Keputusan (SK) alokasi bantuan khusus siswa miskin (BKSM) Lamongan untuk tahun 2009 belum turun. Untuk sementara, masih menggunakan acuan data BKSM yang lama sebanyak 4.112 siswa di 61 lembaga pendidikan setingkat SMA, MA dan SMK.
"Bantuan akan diterimakan selama 12 bulan dengan besaran sementara dibuat sama Rp 65.000 per siswa perbulan. Total anggaran BKSM mencapai Rp 3,207 miliar," kata Aris.
Dia mengatakan ada rencana kenaikan besaran dana BKSM dari semula diterimakan sama Rp 65.000 baik untuk siswa SMA, SMK maupun MA menjadi variatif. BKSM untuk siswa siswa naik menjadi Rp 90.000, dan Rp 120.000 untuk siswa SMK, sedang untuk siswa MA tetap Rp 65.000.
Sampai saat ini SK kenaikan besaran BKSM tersebut belum turun, sehingga Dinas Pendidikan Lamongan sementara ini masih mengacu pada ketentuan lama. "Besarnya besaran BKSM untuk siswa SMK dinaikkan dimungkinkan terkait dengan prioritas program Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang akan mengkonsentrasikan pada sekolah kejuruan dalam rangka menyiapkan angkatan kerja," kata Aris.
Aris menjelaskan program BKSM merupakan dana sharing antara APBN 40 persen, APBD Provinsi 30 persen dan APBD Kabupaten 30 persen. Pada prinsipnya BKSM dikucurkan agar jangan sampai ada siswa miskin, terutama tingkat SMA, MA dan SMK, tidak bisa sekolah dengan alasan tidak ada biaya.
Penyaluran BKSM dilakukan lewat lembaga sekolah untuk dikelola. Peruntukan BKSM bisa untuk pengadaan buku maupun Lembar Kerja Siswa (LKS) dan peningkatan mutu kegiatan belajar sekolah. "Kalau diperlukan, BKSM bisa diperuntukkan membiayai transportasi sisw a miskin. Meski diperkenankan peruntukan uang transportasi tidak dilaksanakan karena dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan," katanya.
Aris menambahkan besaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga naik. Berdasar surat dari Menteri Pendidikan Nasional besaran BOS akan naik dari Rp 21.000 menjadi Rp 33.000 per bulan per siswa tingkat SD. BOS untuk tingkat SMP naik dari Rp 29.500 menjadi Rp 37.500 per bulan persiswa. "Namun jatah alokasi BOS di Lamongan untuk berapa siswa belum ditentukan," ujarnya

Artikel 3
Warga Sekitar Kampus Atmajaya Dapat Kemudahan Tes


Minggu, 12 Oktober 2008
YOGYAKARTA, MINGGU - Sebagai wujud pengabdian masyarakat, Universitas Atma Jaya atau UAJY Yogyakarta akan memprioritaskan pendidikan masyarakat sekitar kampus. Terdapat sejumlah kemudahan untuk warga di sekitar kampus yang mendaftar kuliah di UAJY.
Rektor UAJY Yogykarta Dibyo Prabowo mengatakan, rencana ini berusaha direalisasikan mulai tahun ajaran 2008/2009. Sejumlah kemudahan itu antara lain penggratisan sumbangan penyelenggaraan pendidikan dan kemudahan tes seleksi masuk kuliah.
"Kemudahan diambil karena sebagian besar masyarakat di sekitar kampus UAJY tergolong tidak kuat secara finansial. Kita tidak bisa hanya memberi ruang untuk masyarakat yang mampu atau berprestasi saja," katanya usai menghadiri acara Halal Bihalal Keluarga UAJY dan warga sekitar di Yogyakarta, Minggu (12/10).
Selama ini, kata Dibyo, belum ada yang memfokuskan perhatian pada pendidikan tinggi pada warga sekitar kampus. Sebagian besar kemudahan kuliah untuk masyarakat diberikan dengan cakupan daerah lebih luas dan biasanya disertai dengan syarat nilai dan prestasi. "Karena itu, harus mulai ada yang memperhatikan arah itu," kata Dibyo.
Dibyo mengatakan, pengabdian masyarakat ini juga sebagai bentuk balas jasa atas penerimaan masyarakat terhadap keberadaan UAJY. Masyarakat sekitar ber peran penting dalam kelangsungan suatu lembaga pendidikan. Dengan penerimaan dan dukungan dari masyarakat, proses pendidikan maupun pengembangan suatu lembaga pendidikan bisa mencapai hasil yang lebih baik.
"Contoh yang paling ekstrim apabila keberadaan lembaga pendidikan tak disertai dukungan masyarakat bisa berupa perusakan gedung atau intimidasi pada peserta didik," katanya.
Menyadari hal itu, UAJY berusaha terus memelihara jalinan baik dengan masyarakat. Salah satunya dengan halal bihalal maupun buka bersama yang berlangsung di UAJY setiap sekali setahun selama sekitar 10 tahun terakhir.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UAJY Bernardus Kristiyanto mengatakan, pengabdian masyarakat merupakan salah satu keunggulan yang membuat nama UAJY Yogyakarta dikenal.
"Namun, pengembangan dalam bidang pengabdian masyarakat ini masih terkendala keterbatasan sarana dan dana. Sampai sekarang pusat pengabdian masyarakat masih menjadi satu dengan pusat penelitian. Akan lebih baik kalau dipisah sehingga program-programnya bisa terfokus," katanya.

Artikel 4
Setelah Presiden, Butet Bertemu Mendiknas


Jumat, 5 Desember 2008
JAKARTA, JUMAT — Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bertemu dengan Direktur Sokola Rimba Saur Marlina alias Butet Manurung. Dalam kesempatan tersebut, mereka membicarakan mengenai pendidikan bagi anak suku minoritas terpencil. Sokola Rimba menawarkan pengajaran baca, tulis, dan hitung kepada orang Rimba yang hidup di Hutan Bukit Dua Belas, Jambi.
Butet Manurung mengungkapkan, bentuk formal pendidikan untuk anak-anak di daerah terpencil sebaiknya direduksi. Pendidikan bagi mereka lebih tepat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter masing-masing lokasi dengan indikator keberhasilan yang bersifat lokal. Dia mencontohkan, tanpa life skill yang dekat dengan kehidupan lokal, anak akan bertanya manfaat sekolah bagi masa depan mereka.
Sokola juga membutuhkan sukarelawan dan bantuan tenaga yang bersifat tetap. Model kuliah kerja nyata (KKN) tematis dalam rangka penuntasan wajib belajar memang baik, tetapi tidak berkesinambungan. Untuk beradaptasi juga butuh waktu. "Pernah ada 10 mahasiswa Universitas Gadjah Mada KKN ke tempat kami dan tak berapa lama sembilan di antaranya jatuh sakit," ujarnya.
Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan akan membuat skema pemberian blockgrant secara khusus bagi pendidikan anak suku minoritas terpencil itu. Blockgrant itu harus berbeda dengan sekolah formal.
Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas Eko Jatmiko Sukarso mencatat, terdapat 747 etnis minoritas terpencil. Depdiknas sendiri bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pondok pesantren, organisasi masyarakat, dan universitas sudah mengadakan pendidikan layanan khusus bagi sejumlah etnis tersebut.

Arikel 5
Kualitas Pendidikan AS Merosot

Rabu, 11 Maret 2009
WASHINGTON, KOMPAS.com — Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan, sistim pendidikan Amerika Serikat seharusnya membuat iri banyak negara, tetapi faktanya kini merosot.

Karena itu, Obama mengusulkan perbaikan sistem pendidikan lewat pertanggungjawaban yang lebih baik, pengeluaran yang lebih cerdas, dan bantuan bagi siswa yang ingin memperoleh pendidikan di perguruan tinggi.

Obama, Selasa (10/3), mengatakan bahwa kualitas pendidikan AS merosot di bawah banyak pesaing internasionalnya. Itu berdampak pada kemampuan siswa AS untuk bersaing dalam mendapatkan pekerjaan.

Ia minta negara-negara bagian yang menangani sendiri sistim pendidikannya untuk menyusun standar belajar yang lebih baik. Ia mengatakan, sekolah-sekolah harus mengajarkan "keterampilan abad ke-21" seperti pemikiran kritis, kreativitas, dan kewiraswastaan.

Presiden Obama menambahkan, paket perangsang ekonomi yang baru-baru ini ia tandatangani menyediakan dana 5 miliar dollar untuk perluasan program pendidikan, peningkatan akses layanan anak yang berkualitas, dan lebih banyak bantuan untuk anak-anak cacat.
ONO
Sumber : VOA

Pendidikan Khusus

Artikel 1
Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna


Selasa, 9 Desember 2008
JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).
Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).
Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.
Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Artikel 2
Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus


KOMPAS/PEPIH NUGRAHA
Senin, 9 Februari 2009
Oleh Pepih Nugraha
Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.
Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.
”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.
Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.
Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”
Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).
Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).
VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.
”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.
Orangtua mampu
Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.
Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.
Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.
”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.
Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.
”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.
Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.
Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.
Tujuh rekor
Atas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.
Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.
Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.
”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.
Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.
Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.
”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

Artikel 3
Sekolah-ku, Khusus Anak Penderita Kanker


Sabtu, 21 Februari 2009
JAKARTA, SABTU - Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tak terkecuali untuk mereka yang mesti meninggalkan bangku sekolah karena harus berobat di rumah sakit. Karena itu demi melengkapi Rumah Kita, persinggahan anak penderita kanker yang sedang berobat, Sekolah-ku, sekolah khusus yang diselenggarakan di rumah sakit bagi anak-anak penderita kanker yang tengah berobat juga didirikan.
"Yayasan Kanker Anak Indonesia ( YKAKI), bekerja sama dengan para dokter dan perawat dari RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais membuat sekolah, agar anak-anak yang sedang menjalani pengobatan tetap mempunyai kegiatan dan tidak tertinggal dalam pelajaran", jelas Aniza M. Santosa, bendahara YKAKI, di Jakarta Sabtu (20/2).
YKAI bekerja sama dengan Home Schooling Kak Seto sebagai konsultan serta berbagai pihak antara lain PT Gramedia serta para donatur lainnya telah berhasil memfasilitasi tiga rumah sakit di Jakarta antara lain RSUP Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais dan RS Fatmawati. Tenaga-tenaga pengajar profesional telah direkrut secara tetap guna memfasilitasi program pendidikan di rumah sakit ini secara konsisten dan teratur.
"Sekolah-ku ini adalah wujud dari impian saya, bahwa walaupun anak sedang dalam pengobatan di rumah sakit, tetapi mereka tetap berhak untuk bermain dan belajar," kata Ira Soelistyo, salah satu pendiri sekaligus Sekretaris YKAKI, yang memiliki pengalaman putranya saat perawatan di luar negeri tetap bersekolah semasa tinggal di rumah sakit.
"Tenaga pengajar di sekolahku terdiri dari tujuh orang tutor, tiga orang tutor adalah sarjana psikologi dan empat orang adalah sarjana pendidikan," tutur Aniza.
Dido, seoorang tutor di sekolah-ku menjelaskan anak-anak penderita kanker sedikit berbeda dengan anak-anak pada umum. Terkadang mereka sangat lemah ketika habis melakukan pengobatan. "Mood mereka juga kurang stabil karena pengaruh obat," jelas Dido.
Dalam pengajaran, para tutor harus melakukan pendekatan ekstra, agar anak-anak tersebut bersedia belajar. Ketika anak menolak untuk belajar, para tutor akan menanyakan apa keinginan mereka.
Jika sudah mogok belajar, biasanya anak-anak akan diminta untuk mewarnai atau bermain balok. Namun tak jarang para tutor membiarkan dulu sampai anak itu lebih tenang. "Kita diamkan dulu, sambil bilang kalau sudah tenang, kakak ada di ruang sebelah ya...," ucap Dido.
Anak-anak tidak dipaksakan ingin belajar apa, mereka bebas memilih pelajaran dan tutor yang mereka sukai. Karena itu, seorang tutor menangani minimal dua orang anak."Yang satu kita kasih mewarnai dulu, lalu pindah ke pasien lain, terus dicek lagi yang sebelumnya, jadi ya bolak-balik aja," ungkap Dido.
Pengajaran juga bisa berlangsung di bangsal-bangsal rawat inap. Pelajaran yang di Sekolah-ku, layaknya sekolah pada umumnya. Ada pelajaran bahasa, matematika dan sosial. Tutorlah yang memberikan bahan-bahan pelajaran mereka.
Jika tidak sedang mengalami perawatan, sebagian anak bersekolah di sekolah umum. Namun menurut Aniza, karena ketebatasan ekonomi, banyak juga anak-anak yang putus sekolah. "Rata-rata yang ikut dalam sekolah-ku adalah anak dari keluarga yang kurang mampu, banyak juga yang putus sekolah. Kalau di sekolah-ku sama sekali tidak dipungut biaya," jelas Aniza.
Saat ini sekolah-ku mempunyai murid sekitar 60 siswa, mulai dari kelas dua SD, sampai kelas enam. Dalam jangka panjang, Sekolah-ku bertujuan untuk memfasilitas anak-anak agar dapat mengikuti ujian akhir ataupun ujian sekolahnya meski masih dalam perawatan di rumah sakit dengan izin dari sekolah serta Departemen Pendidikan Nasional atau badan terkait."Pihak kami juga sedang mengupayakan anak-anak Sekolah-ku agar dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional," ujar Aniza.
Sekolah kita terdapat di RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais. Jadwal di RSCM, setiap hari Senin dan Kamis, pukul 15.30, RS. Kanker Darmais hari Rabu dan Jumaat pukul 08.30 - 12.00. Di RS. Fatmawati hari Selasa dan Jumat pukul 15.00- 17.30.

Artikel 4
Sekolah Cenderung Seragam
Anak Berbakat Khusus Diabaikan


Sabtu, 10 Januari 2009
Yogyakarta, Kompas - Sistem pendidikan saat ini belum bisa mengakomodasi anak berbakat khusus atau gifted. Sekolah cenderung menyeragamkan kemampuan anak tanpa melihat potensinya. Padahal, tanpa penanganan yang tepat, potensi besar anak berbakat khusus akan terbengkalai dan kerap menimbulkan masalah.
Anggota DPD GKR Hemas mengatakan anak berbakat khusus mempunyai kemampuan dan cara berpikir yang berbeda dari anak pada umumnya. Mereka juga mempunyai kebutuhan besar untuk berpikir dan berekspresi secara bebas.
Sekolah yang ada saat ini cenderung tidak melihat keunikan tersebut. Sistem pendidikan juga belum bisa memenuhi kebutuhan anak berbakat khusus untuk berpikir secara bebas. Kelas akselerasi yang semula dimaksudkan untuk mewadahi anak berbakat khusus pun, pada kenyataannya hanya berisi pemadatan materi pelajaran.
Berbeda
Oleh karena itu, tutur Hemas, diperlukan sebuah sekolah khusus untuk mengakomodasi mereka. "Pola pengasuhan dan pendidikan anak berbakat khusus tidak bisa disamakan. Tanpa kebebasan penuh untuk berpikir, mereka akan sulit menggali potensinya,"katanya dalam seminar regional "Merumuskan Media Belajar Bersama untuk Anak Berbakat Khusus (Gifted)" yang diselenggarakan Yayasan Anak Bangsa Mandiri di Aula Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (9/1). Anak berbakat khusus biasanya berintelegensia jauh di atas rata- rata. Beberapa di antara tokoh dunia yang termasuk dalam kategori tersebut, antara lain Albert Einstein dan Thomas Alva Eddison. Akibat cara berpikir yang berbeda tersebut, anak berbakat khusus kerap tampak berulah di sekolahnya. Selain itu, mereka juga kerap dianggap bodoh karena tidak memperlihatkan nilai akademis yang baik. "Pada banyak kasus, anak berbakat khusus ini paling kerap membolos dan melakukan tingkah yang dianggap sebagai kenakalan oleh gurunya," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya mengatakan, anak berbakat khusus mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keunikannya. Hal ini mengingat hakikat pendidikan adalah mengembangkan potensi sesuai dengan bakatnya. Selama ini, pendidikan justru cenderung mengubah anak sesuai dengan citra yang diinginkan masyarakat, yaitu mempunyai nilai akademis tinggi, penurut, dan pendiam. "Hal ini jelas sulit diterapkan pada anak berbakat khusus karena akan mengubur bakatnya," ucapnya. (IRE)

Artikel 5
Jalan Panjang Sekolah Autisme


Kamis, 8 Mei 2008
SLB Autis Fajar Nugraha di Seturan, Condong Catur, Depok, Sleman, terus didatangi orangtua dari anak penyandang autisme yang ingin menyekolahkan anak mereka.
”Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak autis memang meningkat. Saat ini, tiap tiga hari sekali ada orangtua yang datang. Itu belum termasuk telepon tiap hari yang mencari informasi tentang sekolah autis,” tutur Kepala SLB Autis Fajar Nugraha Meiriawan, Rabu (30/4).
Tercatat setidaknya delapan anak autis masuk daftar tunggu untuk bisa bersekolah di SLB autistik pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1997 itu. Pihak sekolah pun tidak bisa menjanjikan kapan anak-anak itu bisa mulai belajar. Pasalnya, jangka waktu kelulusan anak berbeda-beda, tergantung dari kemampuan masing-masing.
Mereka bisa menyelesaikan pendidikan dalam satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan bertahun-tahun. Proses belajar tiap anak pun didampingi secara utuh oleh seorang guru. Ketika seorang anak lulus, guru pendamping baru bisa mengajar anak autis lain. Dengan 16 guru pendamping, saat ini SLB Autis Fajar Nugraha melayani 14 anak autis.
Meiriawan mengungkapkan, selama bersekolah, anak-anak autis disiapkan untuk mampu mandiri. Kemampuan bina diri, kognitif, psikomotorik, bahasa, dan sosialisasi anak terus dikembangkan. Harapannya, setelah lulus dari SLB autistik mereka bisa meneruskan studi ke sekolah umum.
Hanya saja, kemampuan tiap anak tidak bisa disamakan. Aldo (3), misalnya, diharapkan sudah bisa lulus dari SLB Autis Fajar Nugraha dalam dua tahun ke depan. Rabu siang itu, bersama rekan-rekannya yang lain, Aldo menyuapkan sendiri makan siangnya ke dalam mulut.
Kholifatut Diniah, pengajar di SLB Autis Fajar Nugraha, mengutarakan, mendampingi anak autis memang merupakan tantangan yang membutuhkan kesabaran luar biasa. ”Meski terkadang anak autis seperti berada di dunianya sendiri dan mengacuhkan orang lain, mereka bisa merasakan dengan hati,” ujarnya.
Tak terlupakan
Penanganan autisme—gangguan perkembangan akibat adanya gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak sehingga anak tidak bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif—memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di SLB Autis Fajar Nugraha, orangtua harus membayar Rp 600.000 per bulan.
Setelah tamat dari sekolah luar biasa autis dasar yang setara TK hingga SD, penyandang autisme dapat melanjutkan ke SLB Autis Lanjutan atau setara dengan jenjang SMP-SMA. Biayanya juga tidak murah. Di SLB Autis Lanjutan Fredofios Yogyakarta, biaya pendidikan mencapai Rp 750.000 per bulan.
Selain mata pelajaran yang berlaku di sekolah formal, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sekolah ini juga memberikan pelajaran keterampilan seperti Seni Lukis, Seni Musik, Komputer, Seni Tari, Seni Kriya, dan Memasak. ”Murid didorong tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan akademis, namun yang terpenting dapat merangsang saraf motoriknya,” ucap Kepala SLB Autis Lanjutan Fredofios Abdu Somad.
Untuk mempermudah murid autis menyerap materi pelajaran, metode pengajaran diberikan secara visual. ”Murid autis tidak bisa diberikan sesuatu yang abstrak, mereka akan bingung. Karenanya, 75 persen pelajaran yang diberikan kepada murid berupa praktik. Sisanya untuk pelajaran akademis,” ujar Somad.
Seperti anak pada umumnya, lanjut Somad, anak autis juga memiliki potensi yang perlu digali. Pengajar akan memperbanyak porsi pada aktivitas yang diminati murid autis. Saat ini SLB autis lanjutan Fredofios memiliki delapan murid yang terdiri atas enam murid penderita autis dan dua murid tunagrahita. Usia mereka 14-22 tahun, dan dilayani oleh tujuh pengajar dengan spesialisasi materi-materi yang berbeda.
Biaya tinggi
Tingginya biaya sekolah ini membuat tak semua orangtua menyekolahkan anak mereka di SLB autis. Orangtua yang punya kesadaran tinggi akan hak belajar anak akan menyekolahkan anak mereka di SLB umum. Proses pembelajaran pun dilakukan bersama dengan anak berkebutuhan khusus lainnya.
Di SLB PGRI Trimulyo, Bantul, misalnya, anak-anak autis yang memiliki kecenderungan hiperaktif disatukan dengan anak tunagrahita. ”Anak-anak hiperaktif biasanya sulit berkonsentrasi dan asyik sendiri. Tak jarang mereka sering jatuh dan memukuli teman sendiri,” kata Sri Lestari, guru tunagrahita di SLB PGRI Trimulyo. Sri pun terpaksa mengikat anak-anak hiperaktif ke kursi supaya bisa berkonsentrasi.
Namun, upaya itu tidak berhasil karena mereka tetap berlarian sambil membawa kursinya.
”Terus terang pengetahuan saya soal anak autis memang masih minim, tetapi mereka tetap harus saya asuh,” katanya. Sri sudah sering menyarankan kepada para orangtua untuk membawa anak mereka ke sekolah autis di Yogyakarta. Namun, mereka biasanya menolak karena faktor jarak yang terlalu jauh dan kendala biaya.
Pemerintah Provinsi DIY terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus.
”Dari sisi kuantitas, jumlah SLB dan sekolah inklusi yang menangani anak berkebutuhan khusus cukup memadai. Namun, kami terus berupaya meningkatkan kualitasnya,” papar Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan Dasar Dinas Pendidikan DIY Nova Widiyarto.
Tahun 2007 terdapat 60 SLB di seluruh DIY, enam di antaranya adalah SLB negeri. Selain itu, jumlah Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) terus bertambah menjadi 70 sekolah sejak dirintis pertama kali tahun 1997.
Jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, baik di SLB maupun SPPI, sebanyak 3.682 orang. Dinas pendidikan terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Tahun 2006, sebanyak 2.040 anak berkebutuhan khusus belum bersekolah. (Agni Rahadyanti/A06/ENY)

Pendidikan Keagamaan

Artikel 1
Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius


Senin, 2 Juni 2008
YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)
kirim ke teman | versi cetak

Artikel 2
Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak


Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.
Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)

Artikel 3
PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal


SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.
"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.
Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.
Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.
Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.
"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.
Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.
Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.
"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.
Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.
Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.
Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.
Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim. n S-1


Artikel 4
Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah


Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.

Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.
Penulis: Dadan Permana

Artikel 5
Bagaimana Menanamkan Pendidikan Perilaku Melalui Kegiatan Keagamaan


Bagi hampir semua bangsa Indonesia, menanamkan pendidikan keagamaan kepada anak-anak itu dinilai sangat penting. Karena, kita yakin bahwa pendidikan keagamaan itu bisa menjadi faktor penting dalam membentuk moral atau juga sebagai benteng moral.
Tapi, kita terkadang hanya mewajibkan pelaksanaan rutinitas ajaran agama melalui disiplin atau cukup mengajak anak merayakan seremonial belaka, sehingga nilai-nilai pendidikannya tidak sampai. Padahal, tujuan dari rutinitas atau seremonial keagamaan itu adalah membentuk prilaku sehari-hari. Bagaimana caranya menanamkan nilai keagamaan dari kegiatan rutinitas atau seremonial itu sehingga dapat diharapkan efeknya bagi prilaku anak? Kalau melihat temuan Philip. L. Rice (1990) tentang bagaimana sebaiknya disiplin itu kita tanamkan, nampaknya ada beberapa hal yang penting kita sadari. Ini antara lain:
1.Disiplin itu akan lebih efektif apabila diterapkan karena cinta, peduli, atau dalam suasana yang saling menghormati. Kita menyuruh anak shalat setelah kita memahamkan bahwa shalat itu baik untuk dia—bukan karena tekanan / paksaan
2.Disiplin itu akan lebih efektif apabila saatnya tepat. Kita memahamkan pentingnya bersilaturahmi atau berbagi saat lebaran atau natalan.
3.Disiplin itu akan lebih efektif apabila ditanamkan secara konsisten dan akan lebih bagus didukung alat peraga. Kita mendisiplinkan anak supaya berdoa sebelum makan atau pergi secara konsisten
4.Disiplin itu akan lebih efektif apabila tidak terlalu kaku. Anak akan berpikir tak mungkin menyenangkan hati orangtuanya apabila semua prilakunya dikomentari atau dikritik.
5.Disiplin itu akan lebih efektif apabila metodenya disesuaikan dengan perkembangan anak. Anak yang sudah sampai level pemahaman tertentu mungkin sudah tidak butuh diberi pemahaman dengan cara yang sama.
6.Disiplin itu akan lebih efektif apabila metodenya tidak selalu menggunakan ancaman. Sekali-dua kali ini efektif mengubah prilaku, tapi kurang baik bagi keamanan emosinya.
7.Disiplin itu akan lebih efektif apabila tidak selalu menggunakan hukuman, lebih-lebih itu kurang beralasan atau tidak seimbang dengan reward yang kita berikan. Entah secara terang-terangan atau diam-diam, ini memancing penolakan dan perlawanan.
Kapan sebaiknya cara-cara di atas mulai kita terapkan? Anak yang sudah masuk SD atau yang sudah bisa mencerna nilai-nilai abstrak, pada dasarnya sudah bisa diterapkan cara di atas. Hanya memang konsistensi mereka dalam membiasakan disiplin itu masih belum kuat. Karena itu, kepedulian orangtua sangat membantu. Intinya, kita perlu memfasilitasi anak-anak agar bisa mencerna nilai pendidikan prilaku di balik ibadah yang sudah kita disiplinkan sehari-hari. Ini supaya tidak menjadi sekedar kegiatan rutinitas atau seremonial belaka. Semoga bisa kita jalankan.

Pendidikan Anak Usia Dini

Artikel 1
5.151 Anak Usia Pendidikan Dasar Belum Sekolah


Kamis, 3 April 2008
YOGYAKARTA, KAMIS - Meskipun angka partisipasi kasar atau APK jenjang SD/MI di DI Yogyakarta mencapai 109,24 persen, namun masih terdapat 5.151 anak usia pendidikan dasar terutama penduduk miskin belum terakses pendidikan dasar. Di luar itu, sebanyak 133.074 anak yang belum tertampung dalam lembaga Pendidikan anak usia dini atau PAUD.
Hal itu diungkapkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dalam rapat Koordinasi Teknis dalam rangka Penyusunan Program dan Kegiatan tahun 2009, Kamis (3/4) di Kepatihan Yogyakarta. Menurut Sultan, pembangunan pendidikan dari aspek perluasan akses pendididkan secara umum di DIY sudah memadai, meskipun diakuinya belum optimal dari tingkat ketercapaian.
Angka Partisipasi Kasar PAUD mencapai 54.81 persen atau 161.403 anak dari jumlah total anak usia dini 294.477 anak . Ini berarti masih ada sebanyak 133.074 anak yang belum tertampung dalam lembaga PAUD. Adapun, angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah (SMA/MA/SMK) mencapai 76,73 persen. Sedangkan, Anak Berkebutuhan Khusus yang belum terlayani sejumlah 1.662 anak dari total Anak Berkebutuhan Khusus 5.781. Di DIY jumlah anak berkubutuhan khusus yang telah terlayani pendidikan sebesar 71,25 persen atau 4.119 anak. "Daya Saing Pendidikan masih perlu ditingkatkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif," katanya RWN


Artikel 2
Partisipasi PAUD Terus Ditingkatkan


Rabu, 23 April 2008
JAKARTA, RABU - Stimulasi pendidikan untuk anak usia dini akan terus semakin ditingkatkan dengan berbasis pada masyarakat dan keluarga.
Pemerintah menargetkan tahun 2009 nanti sebanyak 53,9 persen dari 28,3 juta anak usia 0-6 tahun dapat menikmati layanan pendidikan anak usia dini. "Investasi untuk PAUD (pelayanan anak usia dini) itu sangat besar untuk masa depan anak. Pemerintah menyadari hal ini dan mulai instensif mengembangkan PAUD yang berbasis masyarakat dan keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Gutama, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (23/4).
Psikolog Universitas Indonesia, Soemiarti Patmonodewo, mengatakan intervensi anak usia dini penting untuk mengoptimalkan perkembangan anak, khususnya bagi anak yang berasal dari keluarga kurang beruntung. Layanan untuk anak usia dini ini perlu dilakukan secara komprehensif pada kesehatan, gizi, dan pendidikan anak. "Semakin awal semakin baik. Apalagi jika konsentrasi layanan PAUD ini dilakukan keluarga karena cara ini paling efektif untuk kesinambungan perkembangan anak," kata Soemiarti. (ELN)


Artikel 3
PAUD yang Kian Diminati Ibu-ibu


Jumat, 2 Mei 2008
Oleh Yoga Putra
Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, Mbah Kromo menyang Solo, oleh-olehe wedhus Jowo, Pak Injit cilolobah, wong mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip golek-o duit
Riuh tawa dan tepuk tangan ibu-ibu bergemuruh di Balai Desa Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo, ketika menyaksikan Salsabila (3) lantang menyanyikan lagu dolanan anak Sluku-sluku Bathok. Putri kedua Ny Siti Tatiroh (35) ini tampil cantik di atas pentas dengan baju warna merah muda kebanggaannya.
Dalam acara Gebyar PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) se-Kecamatan Samigaluh, Rabu (30/4), Salsabila tidak tampil sendiri. Ratusan anak unjuk kebolehan di panggung Balai Desa Gerbosari. Ada yang menyanyi, menggambar, dan menari.
"Sekarang anak saya lebih 'pe-de' (percaya diri), enggak seperti dulu yang amat pemalu," tutur Siti yang tak henti-hentinya mencium gemas pipi Salsabila.
Keberanian Salsabila untuk tampil di muka umum muncul setelah bergabung dengan pos PAUD Fajar Imani di Dusun Kaliduren, Kebonharjo. Di dusun yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan Samigaluh ini, pos itu sudah hadir sejak empat tahun lalu.
Siti mengaku, awalnya tidak terlalu tertarik untuk mendaftarkan anaknya kelak ke pos PAUD. Ia mengira pos tersebut sama seperti taman bermain biasa, lagi pula sepertinya biaya masuknya mahal. Namun, ternyata ia salah.
"Di pos, anak-anak tidak dipungut biaya apa pun, paling-paling hanya Rp 1.000 untuk satu kali pertemuan tiap minggu. Itu untuk pengganti makanan dan alat-alat bermain," tutur wanita yang menyambi kerja sebagai buruh tani ini.
Selain itu, ia melihat perbedaan antara anak-anak yang belajar di pos PAUD dan yang diasuh sendiri oleh ibunya. Anak-anak lulusan pos tampil lebih ceria, berani, kreatif, mampu bersosialisasi, dan lebih mudah menerima pelajaran di tingkat taman kanak-kanak sebelum ke sekolah dasar.
Tanpa ragu lagi, Siti segera mendaftarkan Salsabila sejak awal tahun ini. Ia boleh berbangga, baru empat bulan bergabung, Salsabila sudah menjelma jadi bintang panggung dalam acara Gebyar PAUD Samigaluh, Rabu kemarin.
Ika Nurhayani dan Puji Astuti, pengajar PAUD Galuh Siwi, Gerbosari, menambahkan, saat ini semakin banyak masyarakat yang sudah merasakan manfaat keberadaan lembaga itu. Sosialisasi manfaat secara getok tular (dari mulut ke mulut) membuat banyak ibu mulai mendaftarkan anak ke pos terdekat.
Menurut Ika, sistem belajar yang diterapkan di pos tersebut mendukung proses peningkatan kecerdasan dan pembentukan kepribadian dalam masa tumbuh-kembang anak di usia 0-6 tahun. "Pada usia ini daya serap anak terhadap berbagai pengetahuan amat tinggi, sehingga apabila diarahkan secara positif, anak akan tampil prima," tuturnya.
Ketua Forum PAUD Samigaluh Jawadi menuturkan, besarnya minat masyarakat juga diperlihatkan dengan banyaknya pos yang muncul. Tahun ini Samigaluh memiliki 22 pos PAUD yang tersebar di tujuh desa, tahun lalu hanya 13.
Di seluruh Kulon Progo, jumlah PAUD sudah mencapai 242 buah. Meskipun demikian, menurut Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat Dinas Pendidikan Kulon Progo Harijana, jumlah PAUD yang tersedia baru bisa melayani 11.482 anak usia dini atau baru sekitar 34,3 persen dari total jumlah anak usia dini di Kulon Progo.
Permintaan masyarakat untuk membentuk PAUD baru pun terus mengalir. "Respons ini cukup menggembirakan. Ini berarti sudah jadi kebutuhan masyarakat," ujar Harijana.

Artikel 4
Masih Sedikit Tutor PAUD Dapat Insentif


Rabu, 26 November 2008 | 19:07 WIB
JAKARTA, RABU - Berkembangnya layanan pendidikan anak usia dini di masyarakat membutuhkan semakin banyak tutor yang memiliki kompetensi untuk bisa merangsang tumbuh-kembang anak usia 0-6 tahun secara maksimal. Namun, penghargaan atau insentif yang diberikan pemerintah kepada tutor pendidikan anak usia dini ini masih minim dan terbatas.
Dari 188.834 tutor pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal yang ada saat ini, baru sekitar 30.000 tutor yang mendapatkan insentif dari pemerintah pada tahun 2008. Besarnya insentif yang diberikan berjumlah Rp 100.000, itupun hanya untuk enam bulan.
Pada 2009, pemerintah mengajukan insentif untuk 50.000 tutor PAUD. Besarnya Rp 1,2 juta/tutor/tahun. "Karena dana yang masih terbatas, nanti ada kuota tutor PAUD yang menerima insentif di setiap daerah," kata Sujarwo Singowidjojo, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (26/11).Menurut Sujarwo, pemerintah daerah perlu menyediakan anggaran untuk tutor PAUD guna mendukung insentif yang sudah diberikan pemerintah pusat. Peran tutor ini penting untuk mendukung lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, yang terus meningkat. Saat ini ada 48.132 lembaga PAUD nonformal.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo mengatakan, pemerintah menyadari betul perlunya meningkatkan layanan PAUD. Untuk itu, lembaga-lembaga PAUD terutama nonformal akan diperbanyak."Masa anak usia dini adalah masa yang sangat strategis dengan memberikan rangsangan yang tepat. Rangsangan-rangsangan itu termasuk di dalamnya adalah perawatan-perawatan yang sifatnya medis. Kemudian memberikan gizi dan rangsangan-rangsangan kecerdasan, serta tempat bermain yang tepat kepada anak agar anak itu cerdas secara komplit bukan hanya cerdas secara intelektual saja," kata Bambang.PAUD begitu lama di Indonesia diabaikan dan baru mendapatkan perhatian setelah ada deklarasi Dakkar pada tahun 2000. Kemudian, Indonesia baru meresponnya pada 2002. Dari sisi anggaran, perhatian kepada PAUD dilonjakkan mulai 2005.
Alokasi anggaran untuk PAUD masih difokuskan pada perluasan akses. Upaya ini mampu mendongkrak angka partisipasi kasar (APK) PAUD yang saat ini mencapai 50,47 persen.

Artikel 5
Investasi Pengembangan PAUD Ditingkatkan


Selasa, 25 November 2008
JAKARTA, SELASA - Investasi pengembangan anak usia dini merupakan investasi penting untuk menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Untuk itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan layanan pendidikan anak usia dini atau PAUD hingga ke seluruh pelosok Tanah Air.
"Pendidikan anak usia dini sekarang ini terus tumbuh karena masyarakat sudah sadar pentingnya PAUD. Perhatian dan dukungan dari pemerintah juga akan terus diperkuat hingga ke lembaga PAUD di tingkat desa," kata Sujarwo Singowidjojo, Direktur PAUD Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (25/11).
Guna menelaah peran dan kontribusi PAUD dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan nasional, penyelenggaraan PAUD, serta strategi pengembangan PAUD secara holistik dan terpadu, pemerintah bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar seminar dan lokakarya PAUD pada 26-27 November. Acara dihadiri sekitar 500 ornag dari pemerintah, dinas pendidikan, pemerhati PAUD, dan masyarakat.
Pendidikan anak usia 0-6 tahun ini dinilai sebagai strategi pembangunan sumber daya manusia yang fundamental dan strategis. Sebab, anak-anak ini berada dalam masa keemasan, sekaligus periode kritis dalam tahap perkembangan manusia.
Hasil penelitian mengungkapkan, anak hingga usia empat tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50 persen. Pada usia delapan tahun mencapai 80 persen, dan sisanya sekitar 20 persen diperoleh sat anak berusia delapan tahun ke atas.
Menurut Sujarwo, lembaga PAUD nonformal, terutama untuk melayani anak-anak tidak mampu dan di pedesaan, terus meningkat. Saat ini ada 48.132 lembaga PAUD nonformal dengan 188.834 tutor. Pada 2009, pemerintah mengajukan anggaran untuk insentif tutor PAUD senilai Rp 1,2 juta per tahun bagi sekitar 50.000 tutor.
Hartoyo, Ketua Departemen Fakultas Ekologi Manusia IPB, mengatakan penyelenggaraan PAUD bukan berfokus untuk mengasah kemampuan intelektual saja, tetapi yang penting pembentukan karakter. "Jika sejak dini anak diajarkan untuk punya karakter baik, ketika dewasa diharapkan karakter itu bisa melekat dan menghasilkan anak-anak yang punya kepribadian dan moral baik," kata Hartoyo

Pendidikan Informal

Artikel 1
Dana Pendidikan Dipotong Rp 41,8 Miliar


Selasa, 29 April 2008
Surabaya, Kompas - Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).
Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.
Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.
Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.
Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.
Pembekuan bantuan
Selama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.
Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep. (A10)


Artikel 2
Komunitas Homeschooling Tolak Diskriminasi


Selasa, 15 Januari 2008
JAKARTA, KOMPAS - Komunitas homeschooling yang tergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif menolak diskriminasi dalam penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK. Komunitas ini meminta supaya draft Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang UNPK benar-benar mengakomodasi kepentingan anak-anak yang memilih jalur pendidikan nonformal dan informal.
Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.
Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.
Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.
Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.
”Draft-nya tinggal menunggu ditandatangani Mendiknas saja. Kalau untuk soal waktu cukup sulit untuk diubah. Tapi BSNP akan mencoba untuk bisa menyalurkan aspirasi komunitas homeschooling ini karena kami pun baru tahu jika ternyata ada ketentuan yang belum dapat diterima dan dinilai tidak adil,” kata Djemari. (ELN)

Artikel 3
Audit Pendidikan Dimasukkan RUU
Masyarakat Hanya Fokus pada Besaran Anggaran


Senin, 10 Maret 2008
YOGYAKARTA, KOMPAS - Masukan materi dari masyarakat bagi Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP terus mengalir di tengah polemik perlu tidaknya RUU tersebut disahkan. Salah satu masukan ialah perlunya audit pendidikan dimasukkan menjadi komponen penting RUU BHP. Oleh Agni Rahadyanti Masukan tersebut disampaikan pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri Nasruddin Anshoriy dalam diskusi Mengkritisi RUU BHP dari Sisi Kebudayaan di kompleks Pendapa Tamansiswa, Sabtu (8/3).
Sebelum kita bicara yang lain, kita bicara audit pendidikan dulu. Anggaran begitu banyak yang sudah dikeluarkan pemerintah ke mana saja larinya, output-nya seperti apa, tutur Nasruddin. Menurut dia, anggaran pendidikan yang sesuai amanah UUD 1945 besarnya harus mencapai 20 persen dari APBN akan sangat rancu jika tidak diimbangi dengan audit pendidikan. Tanpa adanya audit, seperti yang terjadi selama ini, pemerintah sudah sangat konsumtif membelanjakan anggaran pendidikan. Gugatan Ketua Dewan Pendidikan DI Yogyakarta Wuryadi menambahkan, tuntutan audit pendidikan yang belum masuk ke dalam ranah RUU BHP tersebut memang patut dipikirkan.
Selama ini masyarakat banyak menuntut besarnya dana belanja pendidikan sesuai UUD 1945, tetapi gugatan terhadap akuntabilitas audit pendidikan yang memadai belum banyak dilakukan. Jika tidak dilakukan audit, ungkap Wuryadi, bisa saja rumor bahwa anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk perumusan kebijakan dari satu tempat ke tempat lain sehingga menghabiskan sebagian besar dari total 20 persen anggaran pendidikan dari APBN benar adanya. Nasruddin juga menyoroti perlunya memperkecil anggaran bagi sektor pendidikan formal. Saat ini, bangsa Indonesia yang bisa mengakses pendidikan formal saya kira hanya berapa persen. Masih banyak penduduk yang berada di daerah terpencil atau pulau-pulau terluar tidak bisa mengakses pendidikan formal, tutur Nasruddin. Karena itu, anggaran bagi pendidikan informal yang dapat menjangkau mereka harus diperkuat, apalagi saat ini jumlah rakyat miskin semakin banyak. Mereka menempatkan pendidikan sebagai suatu kemewahan. Akses pendidikan belum bisa diperoleh secara merata oleh masyarakat. Dengan kemiskinan yang ada di sekitar kita, pemerataan pendidikan pun harus lebih dikemukakan sebelum peningkatan kualitas pendidikan, ujar Wuryadi.

Artikel 4
Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan


Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)

Artikel 5
Menakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang


Selasa, 26 Agustus 2008
(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.
"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).
Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)

Pendidikan Non Formal

Artikel 1
Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah


Senin, 27 Oktober 2008
JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.
Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.
Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.
Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.
"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.
Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.
Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.
Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.

Artikel 2
Honor Tutor Naik Sekarang Jadi Rp 100.000/Bulan

Jumat, 13 Februari 2009

JAKARTA, JUMAT - Honor tutor atau tenaga yang melayani pendidikan nonformal mulai tahun 2009 naik walaupun masih di bawah jumlah yang layak. Honor tutor yang sebelumnya Rp 50.000 per bulan sekarang naik menjadi Rp 100.000 per bulan.
Tutor adalah tenaga yang melayani pendidikan anak usia dini (PAUD) atau pendidikan paket A (setara sekolah dasar), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA/SMK). Tutor bisa juga instruktur kursus maupun pelatih keterampilan di daerah-daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.
Erman Syamsuddin, Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (PTK-PNF), di Jakarta, Kamis (12/2), mengatakan, keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal masih belum dianggap penting oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.
Honor Rp 100.000 per bulan diakui masih jauh dari layak. Kekurangan diharapkan dipenuhi dari pemerintah daerah atau masyarakat.
”Namun, penghargaan pemerintah daerah juga masih minim. Tutor dianggap penting, tetapi kesejahteraannya masih terabaikan,” kata Erman.
Dari sekitar 130.000 tutor atau tenaga pendidikan, baru sekitar 10 persen yang berstatus pegawai negeri sipil. ”Selama ini tidak ada standar dalam pemberian gaji atau kesejahteraan mereka,” ujarnya menjelaskan.
Dengan adanya kenaikan anggaran pendidikan 20 persen, peningkatan insentif juga diberikan kepada tutor atau pendidik yang melayani di institusi pendidikan nonformal. Mulai tahun 2009, pemerintah pusat menaikkan honor tutor PAUD dari Rp 50.000 per bulan menjadi Rp 100.000 per bulan. Insentif itu diberikan untuk 50.000 tutor PAUD informal.
Selain itu, bantuan insentif juga diberikan kepada penilik berupa insentif Rp 100.000 per bulan. Insentif ini diberikan untuk 6.955 penilik. Adapun untuk tenaga lapangan pendidikan masyarakat (TDL) dan fasilitator desa insentif (FDI) diberikan insentif Rp 850.000 per bulan.
Erman mengatakan, pemerintah daerah mesti memerhatikan peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan di lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Sebab, keberadaan para tutor ini juga untuk mendukung perbaikan kualitas sumber daya manusia di daerah, bahkan mampu menjangkau masyarakat di daerah terpencil yang tidak terlayani pendidikan formal.
Menyangkut peningkatan mutu tutor, kata Erman, pemerintah mengajak akademisi dari 15 perguruan tinggi untuk ikut membantu peningkatan kompetensi para tutor dan tenaga kependidikan di pendidikan nonformal.
Suparman, Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia, mengatakan, dalam upaya peningkatan mutu dan kesejahteraan para pendidik, tidak boleh ada dikotomi antara yang pegawai negeri dan swasta, serta guru formal dan nonformal.
”Perhatian harus diberikan pada tutor di pendidikan nonformal,” ujar Suparman. (ELN)

Artikel 3
Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup


Selasa, 8 Juli 2008
JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.
”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).
Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.
Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.
Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.
Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

Artikel 4
Anak Usia Emas Andalkan PAUD Nonformal


Selasa, 4 November 2008
JAKARTA, SELASA - Layanan pendidikan bagi anak usia emas 0-6 tahun atau dikenal dengan pendidikan anak usia dini terus ditingkatkan. Hingga akhir tahun lalu, sebanyak 48,32 persen dari total 28,24 juta anak usia 0-6 tahun terlayani di PAUD formal dan nonformal.
Mudjito AK, Direktur Pembinaan SD dan TK Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (4/11), mengatakan perluasan akses anak-anak usia TK dilakukan dengan menyediakan TK di setiap kecamatan atau menyelenggarakan TK di SD yang sudah ada atau sekolah TK-SD satu atap. Anak usia dini yang terlayani PAUD formal dan nonformal meningkat dari tahun 2004 yang berjumlah 39 persen menjadi 48 persen lebih.
Layanan PAUD ini kini berkembang secara nonformal hingga ke tingkat RT/RW. Anak yang dilayani di jenjang TK/Raudhatul Athfal (RA) atau PAUD formal berjumlah 4,2 juta, sedangkan di PAUD nonformal sebanyak 6,8 juta.
Luluk Asmawati, Dosen PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, mengatakan kesadaran mengenai pentingnya mengoptimalkan PAUD dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang terlihat meningkat. Namun, jangan sampai layanan PAUD yang diberikan kepada anak usia 0-6 tahun itu terfokus pada target supaya anak bisa cepat membaca, menulis, dan menghitung semata.
Luluk mengatakan dalam usia emas itu yang dibutuhkan anak adalah stimulasi yang tepat dan menyenangkan untuk mengembangkan beragam kecerdasan atau multiple intelligence. "Anak jangan di-drill untuk membaca, menulis, dan menghitung dengan paksa. Sebab, otak anak akan jenuh, malah nantinya di usia belajar dia tidak punya minat lagi untuk belajar," ujar Luluk.

Artikel 5
Rp 30 Triliun Dana Pendidikan untuk Wajib Bela
jar

Sabtu, 16 Agustus 2008
JAKARTA, SABTU- Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibjo menyatakan, dari tambahan alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun untuk memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara, sebanyak Rp 30 triliun akan digunakan untuk program wajib belajar sembilan tahun dan peningkatan mutu Sekolah Menengah Kejuruan.
Adapun Rp 16 triliun akan digunakan untuk membayar tunjangan fungsional bagi guru-guru di golongan terendah yang harus menerima miminal Rp 2 juta per guru. Sisanya, untuk program pendidikan lainnya.
Mendiknas Bambang Sudibjo mengatakan itu saat memberikan sambutan di acara Silaturahmi Ibu Negara Ny Ani Bambang Yudhoyono dengan para guru Daerah Khusus, guru Luar Biasa dan pendidik serta tenaga kependidikan pendidikan nonformal (PTKPNF) Tingkat Nasional tahun 2008 di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (16/8) siang.
Hadir di bacara itu Ibu Mufidah Jusuf Kalla dan sejumlah istri-isri kabinet Indonesia Bersatu yang tergabung dalam Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatju (Sikib) serta 115 guru-guru. "Saya dan Direktur Jenderal (Dirjen) di Depdiknas sudah hitung-hitungan. Kalau Rp 2 juta minimal akan diberikan sebagai tunjangan fungsional dan harus dinaikkan rata-rata Rp 500.000 per bulan per guru. Kalau harus dibayarkan juga dengan tunjangan guru fungsional di Departemen Agama, maka semuanya itu menghabiskan dana Rp 16 triliun," ujar Bambang.
Menurut Bambang, tambahan anggaran 20 persen juga akan digunakan untuk tunjangan profesi 100 persen. Yang sudah memenuhi sertifikasi profesi adalah sebanyak 200.000 guru. "Kalau tunjangan profesi itu sudah diberikan, gaji pokoknya akan naiktiga kali lipat," tambah Bambang.

Pendidikan Tinggi

Artikel 1
Tingkatkan SDM, Guru Butuh Pendidikan Tinggi Jarak Jauh

Selasa, 2 September 2008
JAKARTA, SELASA - Pendidikan tinggi jarak jauh dengan kualitas akademik yang baik sangat dibutuhkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama kalangan guru. Namun, pilihan guru untuk menikmati layanan pendidikan tinggi masih terbatas akibat minimnya infrastruktur pendidikan. Padahal ada satu juta lebih guru yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikan diploma IV atau S-1 hingga tahun 2015.
"Para guru ini kan diwajibkan untuk mencapai kualifikasi akademik D-IV/S-1, tetapi disyaratkan jangan sampai melalaikan kewajiban mengajar. Ini kan dilema buat guru. Solusinya ya harus ada pilihan pendidikan tinggi jarak jauh yang beragam dengan tetap mengutamakan kualitas akademik," kata Sulistyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia di Jakarta, Selasa (2/9).
Menurut Sulistyo, pemerintah harus segera mengatur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, terutama untuk melayani guru. Jika mengandalkan Universitas Terbuka saja, kemampuannya terbatas.Selain menyediakan infrastruktur yang mendukung pengembangan pendidikan jarak jauh, semisal teknologi informasi dan komunikasi, juga perlu disiapkan supaya layanan pendidikan ini juga menyediakan modul-modul yang bisa dipahami untuk belajar mandiri. Dengan demikian, pendidikan tinggi untuk peningkatan kualitas guru yang berdampak dalam pengajarannya di kelas bisa tercapai. Kemantapan UT di pusat itu belum tentu cerminan di daerah lain. Untuk tutor saja, masih ada yang guru SD-SMA yang kebetulan sudah S-1. Jadi perlu diatur mana perguruan tinggi yang siap dan mampu melaksanakan pendidikan jarak jauh. Itu harus dicek betul supaya terjamin kualitasnya. "Sebab, peningkatan kualitas akademik guru itu bukan untuk mengejar ijasah, tapi untuk membentuk guru yang bermutu sehingga pendidikan kita ada perbaikan," tambah Sulistyo.

Artikel 2
Perguruan Tinggi Ikut Awasi UN 2009

Senin, 12 Januari 2009
JAKARTA, SENIN – Mulai tahun ini, tim pengawas Ujian Nasional (UN) akan ditambah dengan melibatkan perguruan tinggi dalam Pengawas Satuan Pendidikan. Mereka ditigaskan mengawasi pelaksanaan UN di SMA/ MA yang akan memantau, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN di wilayahnya kepada Menteri dan BSNP.

Hal itu dikatakan Koordinator Ujian Nasional, Djemari Mardapi, dalam konferensi pers di Gedung Depdiknas, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Senin (12/1).

“Kalau tim pemantau independen itu kan memang sudah ada untuk di SMP/Mts/ SMP luar Biasa dan SD, sedangkan tim pengawas untuk perguruan tinggi ya tim dari perguruan tinggi ini,” kata Djemari.

Mardapi mengatakan dalam pelaksanaannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menempatkan mahasiswanya dalam penyelenggaraan UN. “BNSP akan menunjuk PTN berdasar rekomendasi Majelis Rektor PTN sebagai koordinator perguruan tinggi di provinsi tertentu,” katanya.

Tugas mereka, menurut Djemari Mardapi, selain menjaga keamanan dan kerahasiaan penggandaan dan pendistribusian naskah, juga melakukan pemindaian (scanning) lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) dengan menggunakan perangkat lunak yang ditetapkan BSNP.

“Mereka ditempatkan di tiap satuan pendidikan minimal 1 orang. Kalau ada 10 kelas minimal ada 1 orang pengawas dari tim perguruan tinggi, tetapi tak boleh masuk ke dalam ruangan,” kata Djemari Mardapi.

Dikatakan Ketua Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo, pengawas dari perguruan tinggi maupun tim pengawas independen atau siapapun termasuk pejabat yang meninjau tak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan tes. “Ini demi menjaga konsentrasi siswa, karena waktu mengerjakan siswa dapat berkurang bila perhatian teralihkan,” katanya.

Pengawas dari perguruan tinggi dan tim independen boleh masuk bila ditengarai ada tindak kecurangan yang terjadi. “Pengawas dalam ruangan untuk SD, SMP dan SMU tetap 2 orang guru yang telah ditentukan dari sistem silang dari sekolah yang berbeda,” jelasnya.


Artikel 3
Akses Pendidikan Indonesia Kalah dari Kamboja

Kamis, 18 Desember 2008
SURABAYA, KAMIS - Angka partisipasi kotor pendidikan tinggi di Indonesia kalah dibandingkan Kamboja yang baru intensif membangun pada era 1990 -an. Sampai tahun lalu, baru 17 persen penduduk usia pendidikan tinggi di Indonesia yang kuliah.
Anggota Dewan Riset Nasional (DRN) Prasetyo Sunaryo mengatakan, angka partipasi kotor (APK) pendidikan Kamboja pada 2007 sudah 20 persen. "Padahal, negara itu dikoyak perang saudara dari 1970 hingga 1993. Mereka baru intensif membangun saat Indonesia mencanangkan siap masuk era tinggal landas," ujarnya di Surabaya, Kamis (18/12).
Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, APK Indonesia lebih tertinggal lagi. Filipina sudah mencapai 28 persen. Sementara APK Malaysia sudah sampai 41 persen. "China yang penduduknya lebih dari satu miliar sudah mencapai 20 persen," ujarnya.
Selain masih rendah, APK Indonesia tidak terdistribusi secara merata. APK nasional masih didominasi oleh Jakarta dan Yogyakarta. "Artinya, APK pendidikan tinggi di provinsi lain bisa jauh lebih rendah dari itu. Ini akibat lembaga pendidikan tinggi tidak tersebar merata," tuturnya.
Karena itu, penting untuk mendorong dan membantu perguruan tinggi di daerah terpencil. Dorangan dan bantuan terutama diarahkan kepada perguruan tinggi yang mengembangkan potensi lokal. "Untuk daerah terpencil, sebaiknya didirikan akademi dengan fokus keterampilan yang sesuai dengan potensi daerah setempat," tuturnya.
Pada akademi-akademi itu, penting dibantu peralatan teknologi informatika dan komunikasi (TIK). "Akses TIK akan membantu akademi mendapat informasi lebih banyak. Salah satu penyebab ketertinggalan adalah akses informasi masih rendah," ujarnya.

Artikel 4
Timor Leste Hanya Punya Tiga Perguruan Tinggi

Kamis, 18 September 2008
BANDUNG, KAMIS - Pascakekacauan usai kemerdekaan Timor Leste, hanya ada tiga perguruan tinggi di bekas provinsi Indonesia tersebut. Kualitasnya pun di bawah standar internasional. Maka, tak heran banyak mahasiswa Timor Leste belajar ke Indonesia, termasuk Jawa Barat.
Demikian masalah yang diungkapkan seusai pertemuan Menteri Luar Negeri Timor Leste, Lesea Zacarias Aibano Da Costa dengan Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf di Bandung, Kamis (18/9). Mahasiswa Timor Leste memiliki antusias tinggi untuk belajar di Jawa Barat.
Lesea mengatakan, provinsi tersebut menjadi tujuan mereka karena di ibu kota Jabar yaitu Bandung, banyak perguruan tinggi berkualitas. Terdapat 300 mahasiswa Timor Leste yang belajar di Jabar dengan jenjang S1. Mereka sudah datang sejak tiga tahun lalu.
Sebagian besar mengambil kajian ilmu komunikasi dan teknologi. Para mahasiswa itu ditempatkan antara lain di Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Komputer Indonesia. Dede mengatakan, jumlah mahasiswa Timor Leste di Jabar akan terus ditambah.
Dalam tiga tahun mendatang, lebih dari 300 mahasiswa Timor Leste akan didatangkan lagi ke Jabar. M ahasiswa yang mendaftar di perguruan tidak dipersulit dan dalam proses belajarnya diberi kemudahan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar berniat mendorong perguruan tinggi di Timor Leste.
"Banyak sarjana kita yang siap ke Timor Leste untuk dikirim kesana. Mereka bisa memberi pembinaan terhadap perguruan tinggi di Timor Leste," kata Dede. Sejumlah guru dari Jabar tengah dikaji untuk pergi ke Timor Leste guna memberikan masukan tentang pendidikan.
Selain itu, ada kemungkinan mahasiswa Jabar juga berkunjung ke Timor Leste. Dede mengatakan, Pemprov Jabar bersama pemerintah Timor Leste sedang mencari formulasi terbaik dalam bidang pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan Jabar Dadang Dally mengatakan, mahasiswa Timor Leste ingin belajar lebih baik untuk meningkatkan sumber daya manusia di negaranya.

Artikel 5
Perguruan Tinggi Perlu Kembangkan Pertukaran Program Internasional

Jumat, 23 Mei 2008
JAKARTA, JUMAT - Perguruan tinggi Indonesia harus mulai mengembangkan pertukaran program internasional dengan perguruan tinggi dari negara-negara lain. Program ini untuk menyiapkan lulusan peguruan tinggi Indonesia siap bersaing masuk di pasar global.
"Kondisi sosial sudah berubah jauh dan perkembangan pengetahuan juga maju pesat. Indonesia harus siap dengan perubahan itu. Dalam bidang pendidikan, kerjasama internasional dengan lembaga pendidikan di belahan negara lain harus dilakukan dalam berbagai bentuk," kata Rektor Bina Nusantara University, Geraldus Pola, dalam seminar menyambut Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di Jakarta, Jumat (23/5).
Menurut Geraldus, pengalaman untuk bisa masuk dalam dunia internasional itu idealnya sudah bisa dirasakan peserta didik saat di bangku kuliah. Perguruan tinggi berkolaborasi dalam riset, seminar, pertukaran pengajar dan pelajar, hingga penyelenggaraan dual degree program."Untuk bisa melaksanakan pertukaran program internasional harus ada banyak yang perlu dibenahi, terutama untuk memenuhi standar internasional. Keuntungan yang diperoleh banyak karena lulusan kita jadi mudah masuk ke pasar global, misalnya mudah untuk bekerja di negara lain secara kompetitif," kata Geraldus.
Untuk internasionalisasi pendidikan ini perlu ada jaminan kualitas, networking, dan alokasi sumber daya yang memenuhi standar nasional. Tujuannya supaya perguruan tinggi di Indonesia bisa juga diakui kurikulumnya di dunia internasional. (ELN)

Kamis, 05 Maret 2009

Pendidikan Menengah

Artikel 1
Relevankah Pendidikan Menengah?
Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.
Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).
Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.
Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.
Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.
Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?
Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).
Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?
Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.
Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.
Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.
Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.
Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.
Diposkan oleh Dewi Susanti


Artikel 2
Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

lenny
BERITAJAKARTA.COM — 14-10-2008
Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.
“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi”
- Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.

Artikel 3
Selasa, 2008 November 04
PERLUNYA PENINJAUAN ULANG PENETAPAN KELULUSAN UJIAN NASIONAL
Berbagai peristiwa pendidikan aspek negatif seputar pelaksanaan Ujian Nasional Sekolah Lanjutan Atas (SLA) tanggal 22 s.d. 24 April 2008 antara lain : ditemukannya kecurangan UN di empat propinsi oleh Inspektorat Jendral Departemen Pendidikan Nasional (Sindo 25 April 2008), Penangkapan pelaku kecurangan UN oleh Detasemen khusus anti teror 88 (sindo, 28 April 2008), sebuah perlakuan terhadap tenaga pendidik bak teroris sangat memprihatinkan dan menyedihkan bagi kami sesama pendidik..
Wakil rakyatpun mengingatkan melalui Komisi X Anwar Arifin, hendaknya pemerintah perlu mengadakan pemetaan kualitas sekolah (Sindo 26 April 2008) dan kebijakan UN perlu di evaluasi (Sindo 29 April 2008).
Ki Hajar Dewantara (dalam Karya Kihajar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, cetakan ke 2, 1977 hlm. 3) mengatakan bahwa:
“Untuk mendapatkan system pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah system itu disesuaikan dengan hidup dan pemnghidupan rakyat. Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan dalam hidup kita berhubung dengan sifat masyarakat seperti kita kehendaki.”

Berbagai peristiwa pendidikan aspek negative tersebut tidak akan terjadi bila pemerintah menetapkan kebijakan UN dengan tepat dan lebih memahami kondisi pendidikan di Indonesia dan kondisi rakyat saat ini.

Hasil Akriditasi sebagai dasar Penetapan Standar kelulusan
Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia (UUSPN RI) Nomor 20 tahun 2003, Bab XVI, pasal 58 ayat 2 menyebutkan bahwa: Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk mencapai standar nasional pendidikan. Lembaga mandiri yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan Ujian Nasional adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Penilaian kelayakan program dan satuan pendidikan pada pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan maka di laksanakan Sistem Akreditasi (UUSPN-RI Nomor 20 tahun 2003 Bab XVI Pasal 60, (1); Bab yang sama pada ayat 2 myebutkan bahwa: Akreditasi dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas public dilakukan oleh pemerintah dan atau lembaga yang berwenang. Lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melaksanakan akreditasi adalah Badan Akreditasi Nasional (BAN), untuk pelaksanaan akreditasi tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Sekolah (BAS).
Keragaman kualifikasi mutu satuan pendidikan di tanah air perlu diperhitungkan dalam penentuan standar kelulusan. Satuan pendidikan yang berada di sebuah kota di mana tenaga pendidik/kependidikan yang sangat mapan dan berpengalaman, sarana dan prasarana satuan pendidikan sangat memadai dan warga belajar yang relative lebih siap belajar baik segi mental, ekonomi, akan berbeda dengan satuan pendidikan yang berada di pelosok, daerah pinggiran dimana satuan pendidikan tersebut sangat kurang akan tenaga pendidik/kependidikan berpengalaman, sarana dan prasarana serba minim, warga melajar membeli buku pun tidak mampu dan masih diberi beban orang tua untuk membantu mencari nafkah keluarga. Berdasarkan hasil akreditasi, keragaman kualifikasi mutu satuan pendidikan ini akan terangkum oleh BAN sebagai “peta” kualifikasi mutu satuan pendidikan.
Sampai saat ini menurut pengamatan penulis penentuan standar kelulusan UN antara BSNP dan BAN belum ada sinerji yang signifikan. Hasil akreditasi yang dilakukan oleh BAN pada satuan pendidikan merupakan sebuah peta kualifikasi system pendidikan nasional yaitu berapa jumlah satuan pendidikan berstandar internasional, satuan pendidikan yang terakreditasi dengan nilai A, B, C, D, E. kualifikasi hasil akreditasi inilah yang seharusnya dijadikan BSNP untuk menentukan standar kelulusan UN, dan sekaligus dapat dijadikan pemetakan kualifikasi mutu system satuan pendidikan di tanah air, misalnya satuan pendidikan bertaraf internasional, standar kelulusan minimal 7,00 atau lebih tinggi, satuan pendidikan dengan hasil akreditasi A, standar kelulusan minimal 6,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi B standar kelulusan minimal 5,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi C standar kelulusan minimal 4,00 atau lebih tinggi, hasil akriditasi D standar kelulusan minimal 3,00 atau lebih tinggi, dan seterusnya, sekaligus diikuti dengan kualifikasi sertifikat/ijasah kategori A,B,C.D. Memang tidak ada pasal dalam UUSPN –RI yang menyebutkan tentang hasil akreditasi sebagai penetapan kelulusan sistem evaluasi pada satuan pendidikan, namun alangkah bijaksananya bila hasil akreditasi sebagai dasar penentuan standar kelulusan UN, sekaligus sebagai bahan instrospeksi para pimpinan satuan pendidikan untuk mengevaluasi diri di dilevel kualifikasi berapa lembaga yang ia pimpin, serta secara alami akan mendorong satuan-satuan pendidikan yang berada di level kualifikasi lebih rendah untuk mencapai jenjang kualifikasi lebih tinggi.
Penetapan kelulusan Satuan Pendidikan kejuruan
Pendidikan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) menganut pola Pendidikan Sistem Ganda (PSG), agar terjadi link and match antara pendidikan di SMK dengan di Institusi pasangan, maka pendidikan di rancang, dilaksanakan dan di evaluasi antara sekolah dengan institusi pasangannya . Kurukulum produktif yang di pakai dasar pembelajaran di SMK adalah “kurikulum sinkronisasi”. Pembelajaran basic training dilaksanakan di SMK sedangkan pembelajaran profesional training di laksanakan di Institusi Pasangan dalam hal ini Dunia Usaha/Industri. Pembelajaran di akhiri dengan uji kompetensi yang dilakukan oleh industri sebagai Qualiy Control, untuk mengevaluasi sejauhmana pencapaian penguasaan kompetensi siswa sesuai dengan program keahlian yang di tempuhnya. Dengan demikian untuk menentukan kelulusan siswa SMK hendaknya tidak sekedar ditentukan dari nilai UN Matematika. Bahasa Indoonesia, dan Bahasa Inggris lebih ditekankan pada Penguasaan siswa terhadap kompetensi yang di buktikan dengan Sertifikasi profesi. Permasalahannya adalah Bagaimana menyiapkan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di tiap-tiap daerah yang diakui baik secara nasional maupun internasional. UN bahasa inggris hendaknya lebih dikembangkan sebagai sertifikasi kemampuan siswa berbahasa ingris dalam hal ini Test of English as International Communication (TOEIC), permasalahannya bagaimana kita dapat membentuk English Test Center (ETC) yang dapat diakui baik secara nasional maupun internasional di setiap daerah.

Artikel 4
UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN SMK DI KABUPATEN BEKASI
Permasalahan yang dihadapi Sekolah Menegah Kejuruan teknologi Industri di Bekasi khususnya adalah belum diakuinya lulusan SMK untuk siap bekerja di industri baik dari segi kompetensi, etos kerja profesionalitas, dan daya saing (Asosiasi Pengusaha Indonesia Cabang Bekasi dalam pertemuan Pembentukan Majelis Pendidikan Kejuruan kabupaten Bekasi). Hal tersebut disebabkan karena :
Mutu lulusan SMK asal Bekasi dari tahun ke tahun belum memenuhi standar yang ipersyaratkan Dunia Usaha/Industri
Upaya peningkatan mutu.

Upaya untuk meningkatkan mutu lulusan SMK di Bekasi, perlu disepakati paradikma berfikir, bagaimana mencapai peningkatan mutu lulusan SMK tersebut?

Untuk menyiapkan pembelajaran agar siswa mempunyai Kompetensi yang diakui oleh dunia usaha/industri atau bertaraf nasional, mempunyai profesionalisme , etos kerja dan daya saing yang tinggi, maka diperlukan: (1) Siswa yang siap Belajar (2) Guru yang profesional, mempunyai kompetensi yang diakui secara nasional maupun internasional, (3) Isi (Content) yang akan diajarkan harus dikemas dalam bentuk paket belajar atau modul yang dirancang untuk pembelajaran induvidu, (4) Peralatan dan bahan penunjang Pembelajaran (5) Kerjasama Industri (6) Setting, penataan/pemanfaatan Ruang belajar yang menunjang pembelajaran serta tempat dimana terjadinya belajar apakah di sekolah atau di industri. (7) Perlunya Lembaga Sertifikasi Profesi.

Berdasarkan paradikma berfikir tersebut, maka analisis upaya peningkatan mutu berdasarkan indicator-indikator pada paradikma di atas.:
1) Kesiapan siswa, Masyarakat asli Kabupaten Bekasi umumnya merupakan masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari pertanian /alam dan bercirikan hidup yang santai, dimana budaya tersebut sangat berbeda dengan budaya industri yang bercirikan disiplin dan penuh dengan persaingan, hal tersebut merupakan masalah tersendiri terhadap kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Maka kegiatan yang harus dilakukan sekolah adalah : Seleksi penerimaan siswa baru seketat mungkin untuk mendapat calon siswa unggulan, membuat kualifikasi mutu tamatan yang dipersiapkan untuk mengisi berbagai kualifikasi bidang garapan
2). Guru yang Profesional.
Guru yang profesional tidak cukup hanya memiliki kualifikasi pendidikan strata dari Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) saja, melainkan harus memiliki kompetensi yang selalu berkembang sesuai dengan tuntutan tugasnya. Secara umum terdapat 2 kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu : (1) penguasaan kompetensi program keahlian yang mendapat pengakuan dari industri/asosiasi profesi (2) penguasaan kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran, yaitu suatu kompetensi merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Untuk meningkatkan mutu guru dinas pendidikan harus melaksanakan program magang/ on the job training guru di industri baik dalam maupun luar negeri
3). Isi Pesan..
Dalam pembelajaran dengan pendekatan Competency Based Training (CBT), pembelajaran bersifat individu dengan memperhatikan kecepatan bejar siswa. Isi pembelajaran yang berupa kompetensi/sub kompetensi harus dikemas dalam bentuk modul/paket belajar, dan bila terdapat siswa yang gagal, maka siswa tersebut harus diadakan remedial sebelum menginjak pada sub kompetensi yang baru, pola pembelajaran tradisional klasikal harus ditinggalkan..
4. Material Pembelajaran
Isi pesan yang akan disajikan oleh guru harus dikemas dalam pembelajaran individu (individual learning). Konsekwensi penbelajaran individu adalah diperlukannya pengadaan bahan praktek, modul/paket belajar per kompetensi/sub kompetensi sesuai jumlah siswa. Dinas pendidikan diharapkan segera memprogramkan pembuatan modul/paket belajar ,pengadaan bahan praktek dan peralatan standart industri diklat produktif sesuai rasio siswa yang dibiayai APBD.
4) Penataan Ruangan
Untuk menunjang pencapaian pembelajaran berbasis kompetensi, maka diperlukan ruangan belajar yang nyaman, bengkel yang standar industri dan laboratorium yang menunjang baik laboratorium sains maupun laboratorium program keahlian, tanpa sarana tersebut, maka tidak akan mungkin terjadi proses belajar yang maksimal, untuk itu pengadaan sarana dan peralatan sangat menentukan mutu lulusan SMK.
5). Kerjasama Sekolah dengan industri.
Pola pendekatan pembelajaran SMK menggunakan pendekatan system ganda (PSG), dimana pembelajaran dirancang, dilaksanakan dan di evaluasi oleh SMK beserta institusi pasangannya. Maka Penggalangan Kerjasama industri baik dalam maupun luar negeri sangat diperlukan
6). Pengembangan Bahasa inggris dengan pendekatan komunikasi.
Bahasa inggris merupakan bahasa internasional yang harus dikuasai oleh tamatan SMK, hal tersebut guna menunjang pekerjaannya dalam lapangan kerja. Dan dalam era Global ini bila siswa telah menguasai bahasa inggris sangat mungkin lulusan tersebut di eksport sebagai tenaga kerja ahli tingkat menengah ke luar negeri, Peng embangan bahasa inggris harus diarahkan pada pendekatan komunikasi, hal tersebut membutuhkan tegaga guru yang bersertifikasi TOIEC dan Lab Bahasa Inggris di setiap SMK. Fungsi English Test Center yang berperan menguji dan mensertifikan kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris di tingkatkan agar diakui secara internasional (Test of English asInternational Communication- TOEIC)
7. Pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)
Pemerintah telah membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang berada di Jakarta, kepanjangan tangan BNSP yang berada di daerah adalah lembaga sertifikasi Profesi (LSP), lembaga inilah yang berfungsi untuk mensertifikasi setiap calon tenaga ahli baik lulusan SMK maupun tenaga industri yang akan bekerja di perusahaan/industri dalam maupun luar negeri yang mempersyaratkan sertifikasi sebagai syarat rekruitmen tenaga kerjanya. Dinas Pendidikan harus segera membentuk LSP- BNSP yang keberadaannya di akui secara nasional maupun internasional.

Artikel 5
Dunia Pendidikan Menengah Nasional Mensikapi Tantangan Jaman
Posted by pataka on May 2nd, 2005
(Berbagai Paradigma Serta Perubahan Budaya Menyongsong Era Informasi, Globalisasi dan Otonomi Pendidikan)
Pengantar
Proses demokratisasi di Indonesia telah menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock). Secara alamiah, manusia cenderung mencari kemapanan sehingga tidak menyukai perubahan, apalagi yang berlangsung sangat cepat. Sedangkan Indonesia selama tiga dasa warsa didominasi iklim kekuasaan otoritarian, sentralistik dan status quo. Sehingga masa reformasi adalah periode yang dipenuhi kontradiksi di semua bidang kehidupan.
Namun, manusia dikaruniai kemampuan beradaptasi, sehingga reformasi merupakan tempat untuk melakukan dan menerima perubahan. Dan ini merupakan esensi upaya untuk tetap bertahan hidup, naluri survival.
Keterkejutan ini menciptakan kesadaran baru, selama ini kita ternyata hidup di alam mimpi indah namun realitanya tertinggal dari bangsa lain. Bangsa kita ibarat baru saja lahir kembali, belajar mandiri secara instan sembari saling cakar. Di sisi lain SDA yang dibanggakan dan diandalkan ternyata telah dikuras untuk kemakmuran sebagian orang saja, praktis tidak ada lagi potensi tersisa selain tumpukan hutang, bom politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan dan berbagai masalah yang tanpa ujung pangkal.
Hanya sedikit anak muda bangsa yang mampu bertahan dalam perubahan ini, sebagian besar menyerah karena tidak memiliki daya. PHK dan pengangguran, kemiskinan terjadi di seluruh negeri. Fakta menunjukkan SDM Indonesia ternyata sangat lemah. Padahal di era globalisasi dan abad informasi yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, hanya SDM berkualitas yang bisa diandalkan untuk tetap survive. Bahkan bangsa ini telah mengalami krisis moral, kepercayaan dan identitas.
Maka kita harus berupaya bangkit dengan segala keterbatasan. Untuk itu kita harus memiliki semangat dan wawasan luas, yang sedini mungkin harus ditanamkan melalui mekanisme pendidikan untuk seluruh bangsa, terutama generasi muda. Terlepas apakah kita terlambat atau tidak, upaya memperbaiki budaya dan SDM harus menjadi prioritas, karena itulah potensi / modal terbesar kita saat ini. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan
Untuk menghadapi era informasi dan globalisasi dimana terjadi perubahan radikal dalam peradaban manusia, diperlukan pensikapan dan pemahaman terhadap perubahan. Artinya dunia pendidikan, sebagai tulang punggung pengelolaan dan pengembangan SDM, harus mau meninggalkan status quo dan belajar mengadopsi berbagai paradigma baru.
Proses Ini harus disadari sebagai suatu proses revolusi budaya dan cara berpikir yang membutuhkan keyakinan kuat, keteguhan hati, kejujuran, kreatifitas dan optimisme serta keberanian. Terutama untuk mengakui kelemahan dan kesalahan serta tentu saja pikiran dan hati yang terbuka terhadap semua masukan dari siapapun. Dan yang lebih penting lagi, adalah komitmen untuk bekerja keras menjadikan porses ini suatu kenyataan.
Bila kita ingin bangsa ini survive, maka semua ini bukanlah suatu pilihan, melainkan justru harus disadari bahwa hanya inilah satu-satunya jalan yang harus ditempuh.
Paradigma Perubahan Budaya, Penddikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Iptek adalah produk budaya, sehingga iklim kultural dan pola pikir suatu bangsa sangat menentukan perkembangan Iptek. Negara maju adalah contoh, dimana budaya yang demokratis berpengaruh kuat terhadap kemajuan Iptek. Indonesia punya kultur yang luhur yang seharusnya mampu mendorong suatu kemajuan.
Selama ini budaya justru disalahgunakan sebagai alat untuk menguasai dan membatasi. Untuk itu diperlukan reformasi dunia pendidikan untuk merubah budaya yang salah arah tersebut. Mengapa dunia pendidikan ? Karena melalui dunia pendidikan proses penyadaran dapat dilakukan secara sistemik. Kedua menyangkut sebagian besar generasi muda bangsa yang bakal menjadi jaminan bangsa ini di masa depan. Ketiga dengan pendidikanlah generasi muda dan masyarakat akan memahami pentingnya Iptek.
Semula dunia pendidikan kita dikooptasi kekuasaan sebagai alat indoktrinasi bangsa maka di masa sekarang dunia pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang proporsional sesuai amanat pembukaan konstitusi kita. Yaitu mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin. Slogannya adalah mencetak SDM yang berkualitas sekaligus memiliki imtaq.
Tahun 2003 pasar bebas ASEAN dimulai dan akan diikuti masuknya SDM asing dengan kualifikasi internasional untuk mengisi pasar profesional di negeri kita. Inilah tantangan yang nyata. Akibatnya pasar dunia kerja yang sudah sempit akan makin ketat persaingannya. Padahal angkatan kerja yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita saat ini boleh dibilang tidak memiliki keunggulan yang dapat diandalkan, apalagi pengalaman.
Perubahan budaya dengan pendekatan top down melalui kebijakan pemerintah memerlukan proses panjang dan tidak terjamin keberhasilannya. Sedang waktu kita sangat terbatas. Oleh karena itu masyarakat harus proaktif melakukan stimulasi langsung di lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian perubahan budaya untuk menciptakan iklim kondusif bagi bangkitnya kembali dunia pendidikan nasional dapat dipercepat.
Langkah konkretnya adalah dengan mewujudkan semangat otonomi pendidikan seluas-luasnya. Dalam proses ini diperlukan keberanian para pelaku di jajaran struktural, peserta didik, keluarga dan masyarakat luas untuk melakukan inovasi dan improvisasi. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai otorita melainkan sebagai fasilitator dan pengayom sekaligus penjamin kontinuitas proses demokratisasi ini. Sinergi diantara komponen ini diharapkan akan cepat menciptakan demokratisasi kependidikan yang kita harapkan.
Sekolah, Lembaga Pendidikan Utama
Sebagaimana kita melihat piramida masyarakat modern, dalam proses menuju kemajuan itu diperlukan kelas menengah yang mature. Paradigma inipun boleh kita aplikasikan ke dalam dunia pendidikan. Lapis tengah itu seharusnya dipegang bukan oleh institusi pendidikan tinggi melainkan sekolah menengah.
PT seharusnya menjadi tempat bagi proses pendidikan yang terfokus pada satu bidang, atau spesialisasi, sedangkan sekolah menengah yang bersifat umum lebih tepat sebagai tempat pendewasaan, mengolah semua potensi dan menemukan jati diri. Namun selama ini tidak demikian, proses pematangan pendidikan baru terjadi di tingkat PT. Padahal mereka justru telah dituntut oleh masyarakat untuk bersikap dewasa dan profesional. Oleh karena itu saat ini kita harus mulai melakukan proses pendewasaan sejak di tingkat sekolah menengah.
Di masa lalu sekolah dijadikan lembaga pengajaran dan indoktrinasi, sedang kepentingan masyarakat dikesampingkan. Ini terjadi akibat penguasa yang berkarakter militeristik dan otoritarian yang mempertahankan kekuasaannya melalui penciptaan struktur masyarakat mono loyalitas. Sekolah sebagai lembaga ilmiah tidak memiliki kebebasan menentukan identitas dan jati dirinya. Justru sekolah dimanfaatkan untuk indoktrinasi, bahkan program wajib belajar di tingkat dasar pun menjadi media intelektual brainwashing secara struktural. Pendeknya, dunia pendidikan adalah mesin cetak karakter sesuai kehendak penguasa.
Pemerintah secara sepihak telah menentukan suatu ‘blue print’ identitas yang seragam tidak hanya bagi siswa namun juga menyangkut seluruh institusi pendidikan bahkan seluruh masyarakat. Mereka harus menerima dan patuh tidak peduli apakah itu sesuai dengan kesadaran budaya masyarakat lokal. Indoktrinasi itu sendiri sebenarnya justru menimbulkan kontradiksi dalam masyarakat Akhir-akhir ini kita ketahui dampaknya setelah muncul konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat. Dan sebenarnya hal tersebut (penyeragaman identitas) tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan saja namun hampir pada semua sendi peri kehidupan bangsa, politik, sosial, ekonomi dan tentu saja budaya.
Karena itu problema psikologis menyangkut eksistensi (self esteem) yang sangat penting bagi remaja dalam membangun identitasnya menjadi hal klasik. Padahal siswa dan remaja bukanlah tentara yang dapat dipaksa menerima satu doktrin. Remaja pelajar adalah individu yang bebas dan memiliki ciri khas sesuai potensi yang dimilikinya. Potensi yang harus digali, dibina, dikembangkan serta diekspresikan sesuai cara mereka sendiri. Namun karena sistem yang otoriter justru tidak ada tempat bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya.
Mereka terbelenggu dan yang tak mampu mengikuti mainstream akhirnya, alih2 dilindungi dan diberdayakan, justru terpinggirkan. Dampaknya bisa kita lihat dari berbagai kenakalan remaja yang terus marak dari hari ke hari. Sedangkan sistem pendidikan saat ini pun salah dalam mensikapi kenakalan tersebut, bukannya dibina sesuai dengan filosofi pendidikan (fisik, psikis, nalar) justru ditinggalkan. Bahkan tidak jarang digolongkan ke dalam kriminalisme, padahal mereka itulah yang justru paling membutuhkan pendidikan.
Kenakalan remaja adalah salah satu bukti terjadinya proses pelarian akibat saluran internal dalam sekolah yang tersumbat. Padahal sekolah seharusnya menjadi akomodator. Selain tentunya faktor pengaruh lingkungan masyarakat yang menjadi pendorong. Ini adalah masalah pokok dan kesalahan manajemen pendidikan yang tanpa disadari justru menjadi pemicu paling menonjol dan berperan besar dalam kasus kenakalan remaja.
Kita ambil contoh tawuran. Pemerintah menyebut penyebabnya adalah faktor ekternal seperti kekerasan di media ataupun masyarakat yang cenderung individualistik. Namun kenyataannya di daerah atau desa yang relatif pengaruh ekternal tidak terlalu besar, bahkan nuansa religius dan budaya lokalnya sangat kuat, tawuran tetap terjadi.
Sejumlah pakar psikologi remaja mendefinisikan faktor pemicu tawuran, yaitu apa yang disebut sebagai false indentity atau identitas palsu. Yang mengejutkan identitas palsu ini bukan diciptakan oleh masyarakat (bila kita mengacu pada teori kekerasan di media), melainkan justru diciptakan oleh dunia pendidikan itu sendiri melalui simbol dan mekanisme kependidikan yang tidak akomodatif. Dunia pendidikan kita memang gagal menyerap aspirasi dan menyalurkan energi kreatif yang dimiliki civitasnya, semata hanya karena sistem yang stagnan dan kaku serta cenderung enggan menerima perubahan (status quo).
Sebagai bukti kita bisa contohkan tawuran pelajar antara SMU dengan STM. Pemicunya sangat sepele, karena seragam. Mereka memandang seragam adalah simbol identitas. Loyalitas korps terakumulasi dan diekspresikan dalam bentuk kebanggaan yang berlebihan. Ini bisa terjadi karena mereka memang oleh dunia pendidikan kita selama ini diindoktrinasi seperti tentara. Mereka secara sistemik diberikan identitas palsu tersebut, bahwa mereka memiliki korps dan dibedakan secara tidak adil dengan stigma, STM lebih rendah dari SMU. Akibatnya muncul sakit hati dan dendam yang tentu saja tidak dapat tersalurkan.
Dalam realitas sosial masyarakat kita pun memang STM dipandang sebagai sekolah ‘kelas dua’ yang dianggap hanya menghasilkan kelas pekerja rendahan. Padahal stigma semacam ini jelas kontradiktif dengan kondisi dunia kerja kita, justru sektor yang diisi oleh tenaga terampil dari sekolah kejuruan sangat dibutuhkan sebagai SDM penggerak pembangunan yang tetap dapat bertahan dalam kondisi krisis. Sedangkan para tenaga kerja ‘berdasi’ yang dalam strata sosial masyarakat digolongkan sebagai pegawai kelas ‘priyayi’ justru tumbang diterpa badai krisis ekonomi. Lulusan non kejuruan yang selama ini dielus-elus oleh masyarakat dan pemerintah ternyata sangat rapuh.
Di era yang sangat plural sekarang ini, seragam bukanlah hal yang pokok dalam dunia pendidikan. Pendapat yang menyatakan bahwa seragam untuk menetralisir gap, mendidik disiplin dan loyalitas justru mengakibatkan euphoria korps yang tidak pada tempatnya. Gap dan kasta dalam masyarakat ada karena proses sosial yang tidak seimbang, tentu tidak akan hilang atau ditutupi (cover up) oleh selembar seragam. Bahkan kehadiran seragam justru semakin memisahkan siswa yang memakainya dari realita, karena mereka menjumpai warna seragam yang sama tapi harganya bisa sangat jauh berbeda. Faktanya fungsi seragam dari hari ke hari semakin tidak memiliki makna selain untuk media coretan di akhir masa sekolah.
Seragam bahkan justru menimbulkan berbagai persoalan sejak dari awal dia harus dikenakan. Siswa secara rasional tidak bisa memahami dan menerima alasan ‘mengapa mereka harus memakai seragam’ sehingga yang tersisa hanyalah perasaan terpaksa dan frustasi yang tidak terungkapkan dan lambat laun menjadi dendam. Sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul berbagai ‘kreatifitas’ yang mereka lakukan terhadap seragamnya. Termasuk pelampiasan ‘coretan kelulusan’. Karena hanya dengan cara demikian mereka dapat ‘membalas dendam’ terhadap seragam yang telah memasung jati diri dan kreatifitas mereka selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata yang namanya seragam tidak hanya satu macam saja. Contohnya seragam Pramuka, untuk apa mereka membeli dan dipaksa memakai sedangkan mereka sama sekali tidak berminat dengan kegiatan kepanduan ?
Pendapat yang militer sentris warisan kolonial dan masa penjajahan Jepang itu dengan sendirinya tidak relevan dengan masyarakat sipil modern yang plural dan demokratis ini. Masyarakat memahami bahwa disiplin dan kebanggaan memang penting, bahkan mungkin kita akan bicara nasionalisme di sini, namun semua itu tidak akan lahir hanya karena seragam atau upacara setiap Senin pagi yang hanya mengakibatkan sinisme, sehingga bahkan untuk menertibkannya para guru terpaksa harus rela kejar-kejaran dengan siswanya. Bagi siswa upacara Senin pagi yang monoton itu lebih dipandang sebagai rutinisme penyiksaan fisik dan pemasungan ekspresi ketimbang refleksi nasionalisme. Disiplin muncul karena proses pendidikan yang elegan, keteladanan dan adanya rasa tanggung jawab. Sedangkan kebanggaan serta loyalitas itu akan tumbuh dengan sendirinya sejalan dengan tumbuh kembangnya prestasi.
Dijaman sekarang siswa tidak akan bisa memahami makna nasionalisme, cinta tanah air dan penghormatan terhadap para pahlawan serta pendahulu jika dilakukan dengan ritual ‘penjemuran dibawah terik matahari’ sambil menyanyikan Indonesia Raya, lagu nasional ditambah lagi dengan pelototan angker dan petatah petitih yang menjemukan dari Bapak Ibu guru. Mengapa ? Karena mereka memang adalah generasi terkemudian yang sama sekali tidak bersentuhan dengan hiruk pikuk perang kemerdekaan, revolusi bahkan reformasi.
Mereka, siswa, hanya mungkin ‘merasakan sentuhan nasionalisme’ itu melalui cara yang lain. Melalui pengajaran sejarah yang mengajarkan dan menanamkan makna perjuangan, mengapa itu harus dan dapat terjadi, bukan pelajaran sejarah yang memaksaan hafalan nama, tempat dan tanggal peristiwa. Mereka perlu ditunjukkan bagaimana wujud penindasan secara konkrit, bagaimana rasa persaudaraan kebangsaan dibentuk dan seterusnya. Ini semua ada dalam kehidupan keseharian, misalnya bagaimana kita bisa menanamkan rasa kebangsaan bila setiap hari mereka melihat diskriminasi etnik terjadi di sekolah ?
Maka cara yang paling tepat untuk ‘belajar’ adalah membiarkan mereka aktif dan terjun serta merasakan langsung sensasi dan pengalaman di tengah masyarakat. Kekayaan budaya itu yang akan tertanam dan memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, persatuan, persaudaraan dan seterusnya. Semua ini tidak mungkin di dapat dari pengajaran akademik dengan hanya duduk manis di bangku sekolah, melalui kegiatan ekstra kurikuler, wadah organisasi ekspresi seperti pramuka, kepecintaalaman, palang merah, bela diri nasional dan sebagainya.
Pendidikan, Keteladanan dan Pengajaran
Hal penting lainnya menyangkut kualitas dunia pendidikan adalah kesejahteraan para pelaksana. Kurangnya jaminan kesejahteraan menyebabkan pekerja di sektor pendidikan hanya mampu menjadi pengajar saja ketimbang pendidik. Waktu, tenaga dan pikiran mereka akan lebih banyak tercurah untuk urusan tuntutan ekonomis. Untuk menjadi pendidik yang menjadi ujung tombak pelayanan pendidikan seharus mereka harus mampu berkonsentrasi penuh dan melakukan proses reengineering pengetahuan dan penalaran. Suatu proses perubahan paradigma pembelajaran dari periodic learn menuju continous learn.
Karena situasi yang serba terbatas, pengajar hanya mampu melakukan orientasi sebatas prestasi akademik, suatu target yang berbentuk indeks prestasi fisik. Kreatifitas dan inovasi dengan sendirinya terpasung, siswa hanya difokuskan pada penerimaan materi baku dan tidak ada yang peduli dengan perkembangan kepribadiannya. Akibatnya produk pendidikan menengah hanya mampu memahami hal-hal yang baku dan bersifat umum / normatif / tekstual. Mereka tidak dapat memahami substansi dan korelasi serta tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya ke dunia nyata.
Itu baru aspek kognitif, intelektual, (IQ) bagaimana pula dengan pembinaan psikologis dan sosialnya atau yang populer disebut sebagai Emotional Quality (EQ) ? Padahal kedua hal tersebut harus berjalan seimbang bahkan EQ lebih berperan dalam pembentukan pribadi yang utuh. Jika IQ bisa ditingkatkan setiap saat dengan cara belajar berkelanjutan maka sangat berbeda dengan EQ yang perkembangannya dimulai sejak usia dini dan sangat menentukan pada masa pertumbuhan (remaja) dan justru akan berhenti pada saat manusia mencapai usia dewasa. Justru dunia pendidikan kita hanya berorientasi pada IQ sedangkan EQ yang seharusnya menjadi prioritas malah diabaikan. Tidak heran bila generasi muda kita selalu mengalami masalah dalam pembentukan pribadi, selalu mencari jati diri dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya secara bebas.
Di sisi lain sistem pendidikan nasional yang hanya berorientasi pada prestasi akademik justru menjadi kontra produktif karena menimbulkan rasa frustasi bagi peserta didik. Tekanan prikologis diberikan oleh sekolah, lingkungan dan keluarga untuk mendorong siswa memenuhi target akademis dan hal itu dianggap sebagai satu-satunya ukuran prestasi dan stempel identitas. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk menggali potensi non akademik yang sesungguhnya berperan lebih besar terhadap pembentukan karakter sebagai manusia yang utuh. Nilai kemanusiaan siswa saat ini hanya dihargai oleh selembar NEM atau Rapor.
Dalam banyak kasus kita jumpai betapa orang tua memaksakan anaknya mengikuti berbagai kegiatan (kursus) yang lebih banyak berorientasi akademis dan membatasi semua hal yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademis. Termasuk semua kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat bagi individu siswa, sebagai manusia, untuk bersosialisasi secara sehat (psikologis) dengan sebaya, alam, lingkungan dan masyarakat. Suatu media bagi pembelajaran nilai moral dan kemanusiaan dimana siswa akan dapat menemukan jati diri dan membentuk karakter sesungguhnya. Inilah ruangan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi dan ekspresi seluruh potensi dirinya dengan kehendak bebas. Tidak ada yang lain selain dirinya sendiri, suatu kesadaran yang mahal dan sulit diperoleh di masa sekarang.
Stempel identitas dapat digambarkan : nilai baik identik dengan anak manis sedangkan nilai buruk diberi stigma ‘berandal’. Tidak heran bila sampai saat ini masih kental terjadi horor ‘penjurusan’, IPS lebih tidak mengharapkan dibandingkan IPA. Para orang tua begitu ketakutan ketika menyadari bahwa anaknya terancam masuk jurusan IPS. Karena mereka terbelenggu paradigma : para berandal sudah seharusnya menghuni jurusan non eksak dan sebaliknya anak manis dan kutu buku harus berada di lingkungan eksakta. Padahal Ilmu Pengetahuan sendiri tidak mengenal ‘kasta’ ! Dan dikedua kubu lahir prestasi brilian yang mengangkat derajad peradaban umat manusia.
Ini terjadi karena sistem penjurusan sendiri sebenarnya melulu hanya melakukan ‘parsing nilai akademik’ dan sedikit sekali mempertimbangkan faktor minat akademik peserta didik sesungguhnya. Asalkan nilainya dibawah standar tertentu maka jurusannya sudah pasti IPS, atau bila kelakuannya bikin dahi para guru mengkerut, langsung saja divonis jurusan IPS.
Demikian pula dengan mekanisme Ebtanas, DANEM dan UMPTN, satu dua hari yang menentukan tiga tahun kerja keras siswa, tanpa pernah diperhitungkan ‘kesialan di waktu ujian’, kegugupan, sakit atau hal lain yang sangat manusiawi dan bisa menimpa siapa saja. Siswa dituntut untuk menjadi Superman, pintar berstrategi menghadapi soal ujian dan mensiasati waktu, sebagaimana yang diajarkan berbagai kursus, tanpa memahami apa substansi pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga tentu saja tidak ada penghargaan terhadap kemampuan siswa sesungguhnya. Dan kesalahan ‘penjurusan’ ini akan berlanjut pada tingkatan berikutnya yang pada akhirnya akan menghancurkan potensi SDM bangsa dimasa depan, karena banyaknya orang ‘kesasar’.
Yang ada hanya upaya berebut posisi, suatu pengajaran moral yang sangat buruk. Orang akan menjadi bersifat pragmatis dan tidak mampu menghargai proses, tidak mengenal makna kerja keras dan perjuangan, orientasinya hanyalah hasil instan, tidak peduli dengan cara bagaimana mereka memperolehnya. Sekarang kita menemukan bahwa manusia Indonesia, untuk mencapai sesuatu hasil atau prestasi cenderung melakukan dengan menghalalkan berbagai cara, serba memilih jalan pintas. Bahkan menyuap, memanipulasi dan intimidasi adalah perilaku yang sangat jamak. Dan masyarakat pun menjadi permisif terhadap semua penyimpangan ini.
Ini berbeda dengan pola seorang pendidik yang tidak hanya berorientasi secara fisik namun juga mental psikologis. Seorang pendidik tidak hanya fokus pada masalah akademik namun juga pengembangan pribadi dan penggalian potensi siswa. Seorang pendidik harus punya perhatian yang cukup, keahlian dan wawasan yang luas sehingga pantas dijadikan panutan. Kesejahteraan seorang pendidik adalah masalah kunci yang harus diselesaikan agar pendidik dapat berkonsentrasi pada bidangnya dan memiliki kemampuan untuk terus mengembangkan dirinya. Seorang pendidik memiliki sifat sebagai profesional, pengayom sekaligus pembimbing. Dalam paradigma pendidikan, tidak ada lagi batasan antara guru dan murid, dimana guru serba benar dan otoriter sedang murid ‘nrimo’ tanpa boleh berbeda pandangan atau pendapat.
Otonomi dunia pendidikan mungkin adalah suatu solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan terutama di tingkat dasar dan menengah. Dengan otonomi, sekolah dapat menolak campur tangan pihak lain. Peningkatan kesejahteraan pekerja kependidikan dapat dikelola secara lebih profesional karena masyarakat dapat langsung berperan aktif. Sekolah pun bebas mandiri menentukan identitas yang diwujudkan dalam kurikulum yang mampu menjawab kebutuhan lokal. Bahkan seharusnya dunia pendidikan diberi kebebasan penuh untuk bekerjasama dengan wali siswa dan sektor swasta. Dengan otonomi kreativitas dunia pendidikan diharapkan lahir kembali.
Di negara maju, publik dan dunia usaha sangat menyadari betapa pentingnya support bagi dunia pendidikan, sehingga mereka tidak segan melakukan kerjasama untuk mendonasi dan mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan hal tersebut merupakan kewajiban sosial (moral) yang nyata, bukan hanya sekedar normatif, sloganis seperti yang terjadi saat ini, asalkan sekolah dijauhkan dari aktifitas bisnis dan hiburan sementara di sisi marketing mereka justru menjadikan lingkungan sekolah sebagai target pasar.
Yang terjadi sekarang baru sebatas pola kerjasama yang sifatnya melakukan eksploitasi potensi ekonomi siswa atau lebih tepatnya wali siswa. Tidaklah heran apabila setiap tahun ajaran baru identik dengan ‘ajang pemerasan’. Maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah cara berpikir dengan ‘paradigma manfaat / investasi bukan biaya’, baik bagi pengelola sekolah maupun (terutama justru) wali siswa. Berikutnya perlu diperbaiki pola kerjasama dengan swasta, harus ada formula yang tidak melulu menonjolkan keuntungan materiil maupun ‘penodongan terhadap anggaran sekolah’.
Dalam banyak hal, orang tua / wali siswa cenderung memandang sekolah dan berbagai kegiatannya (terutama yang non akademik) sebagai biaya, bukan investasi. Mereka belum dapat menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat memerlukan dukungan finansial. Bahwa pendidikan harus dipandang dengan paradigma cost benefit ratio. Bahwa rasio manfaat yang diperoleh dari proses pendidikan itu bersifat intangible (tidak terukur), jelas tidak dapat dihitung dan diperbandingkan dengan nilai uang berapapun jumlahnya.
Karena investasi ilmu itu bersifat ‘will last forever’, berlaku selamanya, abadi. Kita tidak mungkin menghargai kemampuan membaca dan menulis dengan sejumlah uang, namun kita dapat membayangkan bahwa manfaat biaya yang telah dikeluarkan agar anak kita bisa membaca dan menulis jauh lebih besar artinya dibanding nilai nominalnya. Selanjutnya kita dapat membayangkan bahwa berkat kemampuan membaca dan menulis maka anak kita sepanjang hidupnya akan mampu melakukan berbagai hal produktif yang kalau dianggap sebagai pengembalian investasi, tidak bisa dihitung lagi berapa ratus, ribu bahkan juta kali lipat dari nilai nominal biaya yang telah kita keluarkan sebelumnya (selama ia sekolah) untuk menjadikan anak tersebut mampu membaca dan menulis.
Oleh karena itu adalah suatu ironi ketika kita melihat betapa para orang tua / wali senantiasa mempermasalahkan berbagai biaya pendidikan baik akademik, apakah untuk keperluan buku, praktikum maupun ekstra kurikuler yang seringkali nilainya tidak lebih besar dari anggaran belanja ‘rokok’ seorang Bapak setiap bulan. Padahal kita sebagai manusia dewasa sangat memahami bahwa nilai ekonomis rokok bersifat ‘habis pakai’ dan malah cenderung bersifat negatif karena merugikan kesehatan. Tentu sangat tidak adil bila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh apabila ‘uang rokok’ tersebut dipergunakan secara semestinya demi kepentingan investasi pendidikan putera puterinya.
Di sisi lain orang tua dan siswa banyak yang menerima begitu saja keharusan membeli kelengkapan sekolah seperti seragam dan atribut yang nilainya jauh lebih besar, karena memandangnya sebagai keharusan dan malah kebanggaan, puas bila melihat anaknya berseragam. Seolah dengan membelikan seragam, orang tua telah berhasil memberikan identitas dan menjadikan anaknya orang pintar yang terhormat. Mereka malu bila anaknya terpaksa harus memakai seragam bekas pakai entah beli di tukang loak atau milik saudara.
Sedangkan untuk buku pelajaran mereka cukup membelikan yang bekas, padahal kita tahu justru buku yang harus senantiasa diperbaharui karena dunia pengetahuan setiap hari selalu berubah, ada hal baru, bahkan sejarah pun berubah. Semua itu harus ditulis daram buku, harus ada penulis yang bersedia membuatnya dan penerbit yang memproduksinya secara massal. Dan itu hanya mungkin terjadi apabila masyarakat terutama dunia pendidikan mau membeli buku setiap saat. Artinya kegemaran dan minat baca itu harus ditumbuhkan dan hal yang sangat utama dalam dunia pendidikan, orang tua dan masyarakat sudah seharusnya mendukung dan memfasilitasi hal tersebut.
Jelas suatu egoisme apabila nilai fisik seperti seragam, tas dan sepatu baru dipandang lebih bermanfaat ketimbang buku berkualitas. Sama halnya dengan mengutamakan penampilan baju baru, belanja dan rekreasi ketimbang silaturahim di hari lebaran. Nilai spiritual telah jauh ditinggalkan dan cukup digantikan dengan simbol fisik, duniawi yang sifatnya kosmetik.
Di sisi lain paradigma ini tidak cukup hanya disampaikan sebagai wacana melainkan harus dipublikasikan secara luas sebagai upaya edukasi kepada publik serta dunia usaha, pendeknya seluruh masyarakat. Karena hanya dengan cara demikian masyarakat dapat memahami bahwa dunia pendidikan (terutama tingkat dasar dan menengah) sangat penting untuk didukung kemandirian dan perkembangannya. Karena disanalah tempat generasi muda membentuk karakter dirinya (character bulding) sebagai manusia Indonesia yang utuh.
Di masa mendatang berkat kemampuannya memposisikan diri secara tepat di tengah masyarakat maka sekolah akan menjadi sumber dan agen IPTEK. Orang akan datang ke sekolah untuk mencari dan mendapatkan segala ilmu pengetahuan yang diperlukannya. Sekolah dengan segala resource yang dimilikinya menjadi kontributor pengetahuan kepada masyarakat. Sekolah menjadi tulang punggung masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) inilah wujud paling ideal dari masyarakat madani. Dimana masyarakat sipil berperan dominan dengan tingkat spiritual dan penguasaan pengetahuan yang tinggi serta kepedulian sosial. Masyarakat yang berbasis pengetahuan akan memiliki ketahanan terhadap berbagai gangguan. Mereka mampu untuk bertindak dan bersikap secara elegan dan beradab karena mereka memiliki kemampuan sosial serta pengetahuan luas yang terus berkembang setiap saat.
Pada tingkat lanjut sekolah harus mampu menjadi produsen ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara melakukan kompilasi, yaitu mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dan selanjutnya dirumuskan menjadi bentuk yang baru baik itu secara teoritis maupun praktis. Yang kedua sekolah mampu memproduksi, mengeksplorasi suatu pengetahuan baru. Untuk itu lembaga di dalam sekolah sendiri harus melakukan reposisi dan reorientasi fungsinya.
Sebagai contoh BP, lembaga yang selama ini menjadi eksekutor peraturan sekolah dan momok siswa, pada masa sekarang harus berubah. BP harus mampu menempatkan diri sebagai mediator dan katalisator antara sekolah dan siswa, BP harus memihak kepada kepentingan siswa dan profesional sebagai lembaga konselor bukan ‘provoost’. BP harus mampu memotivasi dan menggali potensi siswa semaksimal mungkin dan melakukan rehabilitasi bila diperlukan.
Dalam dunia yang penuh dengan kontradiksi nilai dan labilnya kejiwaan remaja maka BP harus berperan sebagai sahabat yang mampu mengarahkan ketimbang sebagai polisi. Hedonisme, permisifisme dan perubahan nilai sosial lain, kasus narkoba, pendidikan seks dan problematika lainnya termasuk nasionalisme (yang saat ini makin luntur dan menjadi penyebab utama perpecahan bangsa) harus secara proaktif disosialisikan kepada siswa. BP dapat berperan sebagai agen ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan bagi siswa.
Lembaga lain seperti guru wali juga harus mampu memposisikan diri sebagai orang tua kedua bagi siswa atau lebih tepatnya sahabat tua. Dan seorang sahabat akan berdiri dalam posisi sejajar bukan lebih tinggi, dia akan berperan sebagai pendengar bukan instruktor. Sebagian besar remaja menghabiskan waktunya di sekolah, interaksi dengan anggota keluarga dan orang tua yang sibuk bekerja menjadi sangat kurang sehingga hambatan komunikasi sangat mungkin terjadi. Untuk itu guru wali harus menjalankan peran mengganti yang mengakomodir permasalahan siswa selama berada di lingkungan sekolah.
Guru wali harus mampu melakukan pendekatan personal dengan memberikan penilaian serta pelaporan perkembangan individual dari aspek non akademis. Rapor misalnya, seharusnya tidak hanya berisi penilaian akademis namun juga hasil pengamatan psikologis individual, laporan prestasi non akademis (contoh : ekstra kurikuler), catatan reward and punishment berkaitan dengan peraturan sekolah bahkan bila perlu medical record dari UKS atau dokter sekolah termasuk resume perkembangan psikologis dari BP.
Sudah tidak jamannya lagi rapor yang hanya berisi penilaian akademik dan hasil pengamatan berbasis kelompok (misalnya rata-rata kelas) semata. Sebab apabila tidak dilaksanakan, bagaimana para orang tua dan wali siswa dapat mengamati perkembangan putra putrinya secara komprehensif ? Bagaimana kita semua dapat menilai dan memahami potensi setiap individu ? Apabila kita tidak dapat mendeteksi potensi dan gangguan dalam diri generasi muda / remaja, bagaimana pula kita dapat menyalurkan, mengembangkan, memfasilitasi, memberi solusi bahkan akhirnya menanggulangi segala permasalahan yang mereka hadapi ? Apabila seperti ini kondisinya mungkinkah kita memberdayakan potensi SDM bangsa ini secara maksimal agar akselerasi kesejahteraan banga bisa segera tercapai. Bagaimana pula dengan kesiapan bangsa ini menghadapi persaingan global dengan modal ‘generasi muda yang cacat’ ?
Apabila sekolah telah mampu menjadi lembaga pendidikan utama maka akan tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Bila iklim ini dapat terbentuk maka tidak perlu lagi ada program wajib belajar yang cenderung bersifat memaksakan dan lebih mengejar target kuantitas ketimbang kualitas. Dengan sendirinya masyarakat menginginkan pendidikan, karena mereka tahu bahwa ada sekolah yang menjadi pusat pendidikan dan sumber Iptek yang dibutuhkan oleh masyarakat di lingkungannya. Di tempat inilah SDM bangsa ini dicetak untuk mengasah potensi sehingga unggul dan percaya diri karena memilki identitas pribadi sebagai individu yang diakui eksistensinya.
Sekolah, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Sekolah dituntut untuk mentransfer Iptek yang sesuai dengan harapan serta kebutuhan masyarakat di lingkungannya melalui anak didiknya. Link and match adalah konsep yang sangat bagus, jangan sampai peserta didik (siswa) tercerabut dari realitas sosial masyarakatnya karena adanya kontradiksi antara nilai-nilai yang dipelajari di sekolah dengan kenyataan di lingkungannya.
Proses link and match sudah harus berlangsung sejak sekolah menengah. Pola pendidikan normatif seharusnya sudah tidak diperlukan lagi di tingkat menengah, karena psikologis remaja berada dalam fase pengembangan dan pencarian identitas. Pendidikan normatif sudah tidak diperlukan dalam fase ini, cukup di tingkat dasar dimana secara psikologis nilai-nilai sosial dan moral dasar ditanamkan.
Dalam konsep ini pendidikan kejuruan seharusnya lebih berperan ketimbang sekolah menengah umum. Karena profil kebutuhan masyarakat kita saat ini, adalah mendapatkan pengetahuan praktis dari sekolah untuk bekal bekerja. Dari level inilah seharusnya kebutuhan dunia kerja terhadap kelas pekerja menengah dipenuhi. Selama ini, kebutuhan itu didapatkan dari sektor informal, tentu saja penghargaan terhadap kelas pekerja menengah menjadi sangat kurang karena tidak ada keterampilan formal.
Otomatis kesejahteraan masyarakat kelas menengah pun rendah. Padahal masyarakat kelas menengah yang mature jelas diperlukan bagi pembangunan masyarakat madani yang adil dan demokratis.
Sedangkan sekolah umum diperuntukkan bagi mereka yang memang menginginkan untuk berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi secara akademik, bukan praktis. Di tempat inilah kita akan menjumpai lahirnya para ilmuwan dan intelektual. Adalah salah bila mengharapkan mereka yang berada di jalur ini menjadi pekerja kelas menengah. Seharusnya mereka ini menjadi kelas pekerja profesional, suatu level yang akan diperebutkan ketika pasar bebas ASEAN mulai berlaku pada 2003 dan tahap selanjutnya.
Sekalipun ada dikotomi diantara keduanya namun secara substansial baik itu sekolah menengah umum maupun kejuruan, sama-sama mengemban amanat untuk mengkompilasi, mengembangkan dan merumuskan Iptek. Hanya secara praktis dalam hal aplikasi saja yang berbeda. Keduanya tetap berperan sebagai agen Iptek bagi masyarakat dan lingkungannya.
Dalam hal ini diperlukan suatu kurikulum yang progresif dan responsif dalam menanggapi dan menjawab berbagai tantangan dan perubahan yang demikian pesat dalam masyarakat. Maka sesuai dengan semangat otonomi daerah, seharusnya memang permasalahan yang menyangkut perencanaan, susunan, strategi dan penerapan kurikulum dilakukan di tingkat lokal. Dengan demikian kebutuhan lokal lebih terakomodasi dan kurikulum setiap daerah akan lebih fokus kepada tantangan dan potensi yang ada.
Indonesia terlalu luas dan kaya, tingkat keragamannya barangkali yang tertinggi di dunia dalam berbagai aspek, maka sangat naif apabila kebijakan pendidikan termasuk kurikulum harus ditentukan terpusat dan berlaku sama secara nasional. Pemerintah tidak akan pernah mampu untuk melakukan akselerasi dunia pendidikan karena skalanya akan menjadi terlalu luas, berat, kompleks dan membutuhkan pendanaan luar biasa besar. Di sisi lain daerah tidak memiliki kesempatan untuk mengaktulisasikan potensinya, bila ini terus beralngsung akibatnya tentu mereka akan kehilangan kepercayaan diri dan pada akhirnya tidak mampu eksis dalam persaingan global pada saatnya nanti.
Padahal ini baru soal kurikulum saja, belum masalah pendidikan lainnya, ketersediaan SDM misalnya.
Maka tidak ada jalan lain, untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga ilmu pengetahuan maka daerah harus diberi kebebasan yang luas untuk mengatur dan melakukan improvisasi. Dengan cara demikian mereka tidak akan ragu untuk mencoba berbagai pola pendidikan yang dianggap paling sesuai dan berbagai kerjasama yang bisa mendukung proses tersebut. Termasuk membangun kolaborasi dengan pihak swasta (investasi, bantuan, bea siswa, asistensi, magang, penelitian dsb.) dan masyarakat pada umumnya.
Peran Lembaga Siswa
Tidak kalah pentingnya dalam membangun wawasan Iptek dan reorientasi dunia pendidikan adalah peran lembaga siswa. Di masa lalu lembaga siswa itu dikoordinasikan atau lebih tepatnya dikendalikan oleh sekolah. Di era reformasi ini lembaga siswa harus dibebaskan dari kontrol sekolah. Sekolah harus membiarkan organisasi siswa tumbuh dari bawah dan mengikuti siklus hukum alam. Artinya akan ada jika diperlukan dan tidak usah dipaksakan untuk ada apabila memang tidak dikehendaki siswa. Sehingga sekolah hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.
OSIS misalnya, lembaga ini ada karena campur tangan sekolah yang berlebihan terhadap kebebasan berorganisasi siswa. OSIS sebagai kepanjangan tangan indoktrinasi penguasa dengan konsep ‘penyeragamannya’ (organisasi tunggal). OSIS selama ini hanya menjadi tempat sebagian elite siswa yang birokratif sehingga tidak dekat kepada komunitasnya sendiri. Lembaga OSIS menjadi tidak relevan dengan paradigma organisasi siswa saat ini.
Organisasi siswa harus muncul tanpa campur tangan sekolah. Suatu lembaga yang lahir secara alamiah dari tengah siswa dan dikelola sendiri berdasarkan inovasi, kreatifitas dan hasrat berorganisasinya. Lembaga ini tidak hanya menangani masalah ekstra kurikuler namun harus mampu menampung aspirasi siswa secara demokratis, sehingga tidak ada lagi kelompok yang terpinggirkan. Lembaga inilah yang akan menjalankan proses belajar berorganisasi dan berdemokrasi, mengajarkan kepemimpinan, menampung dan menyalurkan kreatifitas yang tujuan akhirnya adalah membentuk jati diri, identitas, kemandirian dan memahami dunia luar serta lingkungan sekitarnya dalam perspektif yang adil dan proporsional serta tidak terkontaminasi hal lain di luar kehendak siswa.
Secara ringkas lembaga siswa adalah tempat pendidikan mental dan spiritual yang sangat penting bagi pembentukan SDM bangsa di tingkat sekolah. Yang lebih penting lagi, sekolah, keluarga dan masyarakat harus mau memberikan tempat (ruang gerak) serta bersikap adil, bahwa prestasi di lembaga siswa ini SAMA PENTINGNYA dengan prestasi akademik. Karena disinilah siswa dapat mengekspresikan seluruh potensi yang dimiliki seluas-luasnya.
Lembaga siswa yang demokratis pada akhirnya akan mendorong siswa untuk menjadi masyarakat yang intelek dan ilmiah. Karena kegiatan lembaga siswa adalah sumber Iptek informal yang sangat luas cakrawalanya. Kehidupan lembaga siswa bukanlah sekedar wadah ekspresi, rekreasi dan hura-hura. Lebih dari itu, lembaga siswa dapat menjadi pusat pengembangan intelektual dan ilmu pengetahuan tersendiri. Suatu peran yang sama pentingnya dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan formal.
Kegiatan kepecintaalaman misalnya, sejak awal dikenal sebagai lembaga yang mampu memberi ruang penyaluran bagi energi kreatif ‘yang tidak diakui’. Biasanya mereka ini adalah para siswa marginal yang ‘bermasalah’. Mereka cenderung punya hasrat berpetualang dan berani menghadapi berbagai tantangan, dimana sebenarnya ini adalah cara mereka untuk melakukan eksplorasi diri. Mereka mencoba mencari jati diri dengan cara eksploitasi semua potensi fisik dan mental. Ekspresi yang salah karena tidak adanya akomodasi, baik di sekolah maupun di masyarakat, misalnya dengan kebut-kebutan, terlibat narkoba dan perkelahian.
Kepecintaalaman menyediakan media yang bersifat substitusi untuk menyalurkan hasrat eksploratif negatif tersebut ke dalam bidang yang lebih bermanfaat. Di tempat ini mereka akan merasakan sensasi yang sama, baik itu tantangan, resiko termasuk ‘kegagahan’ sama seperti yang diperoleh dari melakukan kegiatan negatif. Dalam jangka pendek ini dapat bermanfaat sebagai oleh raga rekreatif dan tempat menimba pengalaman. Namun dalam jangka panjang apabila dibina dengan cara yang benar, akan menemukan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan dan penghargaan terhadap nilai kehidupan manusia serta tentu saja pengakuan terhadap kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Pada akhirnya mereka akan mampu memahami potensi yang dimilikinya, tahu bagaimana cara terbaik untuk mengembangkannya serta mengekspresikannya dan kemudian berdamai dengan diri sendiri.
Pengalaman semacam ini jelas tidak mungkin didapatkan dari bangku pendidikan formal. Maka sangat jelas bahwa peran lembaga siswa tidak dapat diremehken. Bahkan dalam banyak hal posisi lembaga siswa tidak dapat tergantikan oleh institusi lain, karena peran dalam proses ini lebih banyak dilakukan oleh teman, sesama mereka (lingkungan sosial sebaya). Lembaga siswa lebih dipercaya berkat kedekatan emosional ini, karena mereka mengalami masalah dan pengalaman yang sama sehingga lebih mudah saling memahami dan akhirnya saling memotivasi.
Peran Keluarga
Keluarga selama ini beranggapan bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Remaja tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin melalui jalur informal. Padahal ilmu pengetahuan yang berbasiskan pengalaman adalah bekal praktis yang paling berguna untuk menjamin sukses tidaknya seseorang di dalam dunia persaingan bebas dalam masyarakat global.
Orientasi keluarga dan orang tua khususnya masih menitikberatkan pada prestasi akademik sehingga prestasi di luar itu tidak mendapatkan penghargaan yang proporsional. Faktanya orang-orang sukses sangat jarang karena kemampuan formal, justru kemampuan informal lebih mengemuka selama ini. Yang ideal orang tua harus bersikap demokratis dan membebaskan pilihan sumber ilmu pengetahuan kepada putera puterinya. Keluarga dan orang tua hanya bersikap sebagai pembimbing, motivator dan memberikan support bilamana diperlukan.
Dalam banyak hal sebenarnya lingkungan keluarga adalah sentral pembentukan karakter sesorang bahkan merupakan benteng terakhir, tempat kembali dan berlindung dari segala macam ‘serangan’. Maka sangatlah penting menciptakan lingkungan keluarga yang kuat, dimana hal ini hanya bisa tercapai apabila ajaran moral dan suasana religius berhasil ditanamkan sebagai landasan. Setiap saat manusia menjumpai kesulitan dan kontradiksi maka dia dapat kembali ke rumah untuk mendapat dukungan dan bisa dengan mudah kembali menemukan jati dirinya. Setiap keluarga harus membina atmosfir lingkungannya.
Peran Masyarakat
Di masa depan masyarakat memandang seseorang berdasarkan kemampuan dalam suatu bidang dan spesialisasi bukan titel. Seseorang tidak lagi dilihat dari segi akademik namun lebih kepada kecakapan intelektual yang nyata dan kepribadian. Dunia saat ini dan di masa datang akan berorientasi pasar alias kebutuhan, siapapun yang fit dan proper untuk kebutuhan tersebut akan dipakai dengan sendirinya. Tidak ada lagi pandangan senioritas, prestasi akademik. Sangat mungkin terjadi generation lap, suatu kejadian dimana generasi yang lebih tua harus rela bersaing dan berebut kesempatan dengan generasi yang lebih muda karena prestasinya.
Sebagai contoh saat ini kita dapat melihat iklan lowongan pekerjaan, semakin jarang yang mencantumkan prasyarat akademik sebagai acuan dasar. Umumnya yang dituntut adalah keterampilan dan pengalaman. Memang demikianlah dunia praktis yang sangat berbeda percepatannya dengan dunia akademis. Di satu sisi mungkin saja teori akademik akan cepat menjadi usang karena perubahan di dunia praktis atau justru muncul teori baru yang berasal dari perkembangan itu. Sehingga ada teori market driven, community push, technology pull.
Kewajiban yang utama bagi masyarakat adalah senantiasa menempatkan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai budaya dasar. Karena hanya dengan cara inilah suatu bangsa dapat hidup secara berkelanjutan. Iklim budaya yang dapat terus mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan akan menjadi kunci kemajuan, sebagaimana yang dijelaskan di awal tulisan ini.
Masyarakat juga harus merubah pandangannya terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini bersifat tertutup dan individualistik. Seseorang yang telah menguasai suatu ilmu pengetahuan tidak dapat lagi bersikap jual mahal dan enggan menularkan pengetahuannya kepada orang lain. Ia harus bersikap terbuka dan menyebarluaskan apa yang diketahuinya kepada lingkungannnya sehingga masyarakat akan terus menerus terdidik dan berubah dari masyarakat yang konvensional menjadi knowledge based society. Bila ini tercapai maka gerakan masyarakat akan terjadi bukan hanya karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi melainkan karena ia juga memiliki pengetahuan yang mendasari sikap dan tindakannya.
Akumulasinya tentu adalah terbentuknya suatu struktur masyarakat rasional.
Terhadap ilmu pengetahuan kita harus terbuka dalam dua sisi, pertama mau menerima ilmu pengetahuan baru dengan pikiran yang terbuka dan yang kedua mau mentransfernya kepada siapapun di lingkungan kita. Karena tidak ada ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, setiap ilmu pengetahuan yang telah dikuasai adalah untuk diamalkan dan disebarkan. Ilmu pengetahuan yang telah disebarkan justru tidak akan pernah berkurang namun akan terus berkembang dan menjadi pengetahuan baru dan dengan sendirinya akan membuat ilmu kita pun bertambah tanpa harus bersusah payah melakukan eksplorasi dan kompilasi sendiri.
Orang yang tidak mau menyebarkan ilmunya kepada masyarakat hanya akan terkucil dari pergaulan masyarakat dan menjadi katak dalam tempurung. Ia mengira dirinya paling berpengetahuan padahal dunia disekelilingnya telah berubah dan bergerak cepat sehingga dalam tempo singkat ia menjadi tertinggal tanpa disadarinya. Mengapa ? Karena ia tidak mendapatkan informasi dari lingkungannya, ia dengan sengaja menarik diri dari peradaban.
Kebiasaan Membaca dan Menulis
Masyarakat yang berpengetahuan mempunyai ciri senantiasa haus akan ilmu. Salah satu parameternya adalah kebiasaan dan kegemaran membaca. Kelemahan utama bangsa kita adalah tidak mampu membaca, dalam arti memahami substansinya dan tidak memahami bahwa kegiatan membaca adalah jendela ilmu.
Pakar pendidikan menyebut situasi yang dialami generasi muda kita saat ini sebagai efek dari komunikasi audio visual. Siswa cenderung menyerap informasi melalui televisi sedangkan kedalaman pengetahuan yang diperoleh dari media ini sebenarnya dangkal karena ia lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Siswa merasa telah belajar, karena mereka merasakan kemudahannya, padahal media tersebut hanyalah sebagai alat bantu.
Sumber pengetahuan sesungguhnya adalah buku, karena didalamnya tedapat alur pengetahuan yang sistematis dan tentu saja konsep pemikiran yang lengkap dari penulisnya. Oleh karena itu harus ditanamkan kesadaran membaca dikalangan siswa sekolah menengah bahkan seharusnya dimulai pada tingkat dasar.
Bahkan untuk mendorong minat membaca dalam setiap tahun ajaran seharusnya ada jenis penghargaan (mungkin dari perpustakaan sekolah) kepada para ‘kutu buku’. Bila perlu per kategori, karena sumber pengetahuan bukan hanya buku, majalah atau jurnal Iptek namun juga dari bidang seni, budaya dan sastra. Bila buku pengetahuan memberikan kecerdasan intelektual maka buku sastra memberi khazanah kekayaan emosional. Jadi, bukan hanya para juara kelas atau mereka yang berprestasi di ekstra kurikuler yang berhak atas penghargaan.
Kebiasaan membaca akan dapat membawa pengaruh yang lebih positif yaitu kemampuan untuk menulis. Menulis adalah keterampilan yang sangat penting karena tulisan adalah salah satu media ekpresi dan produksi ilmu pengetahuan. Melalui tulisan, ilmu pengetahuan dapat disebarkan kepada masyarakat. Tulisan adalah upaya lain untuk menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis. Dengan tulisan, audiens akan mengetahui apa yang kita pikirkan dan sebaliknya mereka menjadi punya kesempatan untuk melakukan kritik dan penyempurnaan serta menyampaikan pendapatnya. Demokrasi akan berjalan santun, rasional serta ilmu pengetahuan semakin banyak lahir dan kaya ide baru, kreatif.
Sinergi kegiatan membaca dan menulis ini bisa ditanamkan sedini mungkin hanya dengan metode yang sangat sederhana. Guru wali pada jam konsultasi akademik atau waktu luang lain bisa mengajak siswanya ke perpustakaan, memberikan tugas membaca dan membuat sinopsis / resensi atau bahkan resume. Di banyak tempat (perpustakaan) suatu sinopsis yang berkualitas dari para pembaca dibundel dengan rapi dan menjadi tambahan kekayaan tersendiri bagi perpustakaan. Dan ini seharusnya bisa jadi poin akademik yang menunjang nilai akademik lain secara formal.
Kebiasaan membaca akan membuat seseorang terbiasa menangkap dan mencerna persoalan serta pengalaman secara bijak. Apa yang sudah dibaca akan mengendap dalam ingatan dan suatu ketika akan bertemu dan berinteraksi dengan hal baru lainnya yang bersesuaian. Bila hal ini digabungkan dengan kegiatan berlatih menulis maka lambat laun kita akan mampu melakukan kompilasi terhadap berbagai pengetahuan dalam nalar kita sehingga tampil kembali dalam bentuk yang baru. Dan bagi pembaca atau orang lain itu adalah pengetahuan baru.
Pada akhirnya kebiasaan membaca dan menulis ini akan mendorong budaya masyarakat yang kondusif serta kritis terhadap rekonstruksi dan kompilasi ilmu pengetahuan. Sehingga sikap untuk melakukan belajar secara berkelanjutan akan menjadi suatu proses yang membudaya dalam masyarakat kita. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh bangsa ini akan terus mengalami pembaharuan, pengembangan dan pengujian. Akan lahir dengan deras ide, kreatifitas serta ekspresi baru di berbagai bidang.
Penguasaan Bahasa dan Budaya Asing
Salah satu hal yang harus menjadi prioritas di tengah kecenderungan global saat ini adalah kemampuan berkomunikasi. Secara mendasar wujud konkritnya adalah penguasaan bahasa asing. Minimal salah satu bahasa internasional yang paling sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni. Perlu diperhatikan pula bahwa pemilihan penguasaan bahasa asing ditentukan oleh sasaran lingkungan pemakaian. Seorang TKW di wilayah timur tengah akan lebih bernilai bila menguasai bahasa arab, beragama Islam dan memahami budaya arab.
Pemahaman keterampilan SDM dipandang bukan saja dari segi kemampuan teknis melainkan juga memandang faktor kepribadian. Salah satu media untuk mengekspresikan kepribadian adalah kemampuan teknis berbahasa asing. Penguasaan ini akan sangat berguna untuk mempelajari dan memahami peradaban serta budaya bangsa lain di dunia. Sehingga tidak ada kecanggungan pada saatnya kita harus bergaul dengan manusia dari berbagai bangsa lain sebagai konsekuensi logis kecenderungan global.
Pengajaran bahasa asing seharusnya ditekankan kepada ‘bagaimana cara memfungsikan bahasa’ alias ‘bagaimana cara menggunakannya’, bukan mempertanyakan bagaimana kebenaran gramatikalnya. Hal ini hanya bisa dicapai dengan pola stimulasi interaktif seperti kegiatan ‘english day’ atau hal lain seperti lomba menulis, pidato bahkan ‘porseni in english’. Bila perlu, sekolah pun bisa menugaskan kebiasaan berbahasa asing ini di rumah (dalam lingkungan keluarga).
Atau dengan memperbanyak program pertukaran pelajar asing, dimana siswa dapat saling memahami aspek budaya asing. Bahkan tidak mustahil dilakukan kerjasama dengan lembaga internasional seperti PBB, kedutaan, lembaga pendidikan asing atau kursus bahasa asing. Berbagai program bantuan, kerjasama internasional sebenarnya banyak ditawarkan di negara dunia ketiga, melalui Internet dan perguruan tinggi.
Kreatifitas semacam ini bila dilakukan di sekolah atau di rumah bahkan dalam banyak segi justru bisa bersifat rekreatif. Sangat penting bagi sekolah untuk mencoba bekerjasama dengan pihak lain untuk menghadirkan orang asing sebagai native speaker yang membantu siswa untuk berani berbahasa asing dalam berbagai event. Cukup banyak perusahaan yang punya tenaga expatriat, mereka bersedia menjadi volunteer dalam program semacam ini. Bahkan sejumlah lembaga perwakilan negara asing akan sangat tertarik dan bukan tidak mungkin mereka justru menyediakan fasilitas seperti perpustakaan, film dokumenter bahkan mungkin asistensi dan sponsorship.
Penguasaan Informasi
Di era pasar bebas semua orang akan memiliki sarana dan prasarana yang sama sehingga peluang meraih kesempatan juga akan berimbang. Hanya sedikit orang yang mampu bertahan karena memiliki kelebihan dan ciri khas dari lainnya. Namun walaupun ia memiliki suatu keunggulan maka itu tidak akan berlangsung lama, bukan jaminan. Karena dengan paradigma continous learning, fenomena generation lap dsb. dengan singkat sejumlah pesaing akan mengikuti langkahnya. Bahkan ketika seseorang setiap hari terus mengasah pengetahuan dan keterampilannya serta mungkin telah mengeluarkan semua kreatifitas, pesaing tetap akan bermunculan.
Ini bisa terjadi karena semua resource akan dengan mudah diakses oleh siapapun dan ilmu pengetahuan apapun lambat laun menjadi milik bersama, bukan sesuatu yang eksklusif. Maka dalam situasi semacam itu kunci untuk memenangkan persaingan hanyalah penguasaan terhadap informasi dan kemampuan untuk memanfaatkannya secara tepat dan cepat. Siapa yang memiliki informasi lebih dulu dalam jumlah besar dan mampu menjadi produsen jelas memiliki peluang lebih besar untuk senantiasa di depan.
Kunci keunggulan lainnya adalah pengalaman, oleh karena itu pelajar tidak boleh ragu untuk sejak dini melakukan aktualisasi diri, tampil mengekspresikan potensi dan menunjukkan identitasnya sebagai pengalaman. Ini semua harus terakomodasi, diberi apresiasi dan ruang gerak yang cukup serta tidak hanya didorong dengan motivasi namun juga dalam bentuk insentif serta stimulasi. Hal yang penting dalam penguasaan informasi adalah kemampuan untuk melakukan filter, memilah yang penting dan mana yang sampah. Kemudian bagaimana cara mengolah dan mendayagunakan informasi yang dimiliki secara tepat sehingga menjadi potensi yang bisa dijadikan modal bersaing.
Wawasan Teknologi
Pada uraian sebelumnya telah jelas bagi kita bahwa budaya berperan penting bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri muaranya adalah teknologi, yaitu segala hal yang diciptakan manusia dan menjadi sarana bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Teknologi sendiri akan membantu manusia untuk menemukan, menciptakan dan mengembangkan ilmu dan pengetahuan baru. Sehingga kedua hal ini menjadi suatu siklus yang tidak pernah berakhir dan menjadi pendorong peradaban.
Masyarakat yang memiliki kebudayaan tinggi tentu memiliki pengetahuan tinggi dengan sendirinya akan mampu melahirkan berbagai macam teknologi baru yang makin baik. Namun kenyataannya tidak demikian, bangsa kita dikenal memiliki budaya yang luhur dan tinggi. Namun karena kesalahan manajemen penguasa yang memanfaatkan budaya tersebut hanya untuk kepentingannya sendiri, maka budaya luhur tersebut tidak mampu mendorong masyarakat untuk memiliki pengetahuan tinggi bahkan justru menghambatnya. Tentu saja pada akhirnya bangsa ini tidak mampu memproduksi teknologi tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal kita memiliki modal besar berupa kekayaan alam yang melimpah baik sebagai bahan baku maupun komoditas.
Singkatnya selama ini negara (atau tepatnya penguasa), bukannya memberi kebebasan namun justru telah membelenggu warganya sehingga tertinggal dari bangsa lain, ini yang harus kita kejar. Alam reformasi telah berhasil melepaskan belenggu tersebut, sekaranglah saatnya untuk mengejar ketertinggalan. Untuk itu yang kita perlukan adalah menyerap sebanyak mungkin ilmu pengetahuan untuk kemudian kita pergunakan untuk menciptakan teknologi tepat guna yang mampu mensejahterakan rakyat.
Saat ini sebenarnya kita mampu mendapatkan segala macam ilmu pengetahuan berkat adanya Teknologi Informasi. Teknologi Informasi ini telah menyebar luas bahkan memainkan peran penting dalam proses reformasi selama ini. Globalisasi dunia pun terlahir karena gelombang Teknologi Informasi, tahun 2000 dipandang sebagai awal abad Teknologi Informasi. Siapa yang mampu menguasai teknologi ini maka ia mempunyai akses ilmu pengetahuan yang sangat luas, apabila ia berkat pengetahuannya tersebut mampu menjadi produsen informasi maka berpeluang besar untuk dapat memenangkan persaingan dan menjadi pemain utama. Wacana inilah yang hendak kita tanamkan sejak dini.
Namun sayang sekali, sekalipun teknologi ini telah ada disekitar kita, namun justru cara mensikapinya salah. Kita masih belum mampu memanfaatkan teknologi ini sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan terhadap bangsa lain. Mengapa ini terjadi ? Karena perspektif budaya kita pun ternyata keliru bersikap. Salah satu wujud konkrit Teknologi Informasi adalah Internet, masyarakat kita masih memandang Internet sebagai alat rekreatif ketimbang sebagai sumber pengetahuan.
Ketakutan yang berlebihan terhadap dampak negatif teknologi ini juga terus mengemuka, lebih parah lagi pemerintah kita yang awam tentang teknologi Internet juga menjadi lambat serta salah bersikap. Kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung kepada kepentingan sekelompok pengusaha dan BUMN yang ingin menguasai bisnis informasi. Sehingga hal ini justru mematikan inisiatif dan usaha mandiri masyarakat luas yang ingin menguasai Teknologi Informasi tanpa membebani pemerintah. Tidak heran apabila menurut berbagai hasil penelitian disebutkan kendala terbesar perkembangan Teknologi Informasi Indonesia untuk kepentingan publik adalah justru regulasi pemerintah.
Di negara lain (ASEAN), pemerintahnya justru sangat berkepentingan dan terus mendorong masyarakatnya memanfaatkan Internet untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara cepat, praktis dan murah. Pemerintah berlomba untuk mempermudah bahkan memberikan subsidi bagi Internet. Dan segala kebijakan yang berkaitan dengan Teknologi Informasi senantiasa disosialisasikan dan diberlakukan berdasarkan permintaan komunitas paling bawah. Apalagi mereka menyadari bahwa Internet telah menjadi kegiatan ekonomi yang terus meningkat pertumbuhannya melebihi perekonomian konvensional.
Di negara kita Internet masih dipandang sebelah mata, dianggap barang mahal dan tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur masa depannya. Bahkan komputer pun dianggap sebagai barang mewah sehingga dikenai PPnBM, sementara di negara lain komputer justru dibebaskan dari pajak karena dianggap sebagai sarana produksi yang akan meningkatkan efisiensi dan kinerja masyarakat. Bahkan secara strategis komputer dan Internet dipandang sebagai sarana vital untuk mencerdaskan bangsa.
Sehingga ketika bangsa lain di kawasan ASEAN telah mampu memproduksi informasi berkat kemudahan regulasi dan dukungan pemerintah, bangsa kita yang sebenarnya telah lebih dahulu mendapatkan teknologi ini, dengan segala potensi yang ada, justru saat ini hanya menjadi konsumen.
Semua kemajuan bangsa lain tersebut berasal dari pergaulan dan pengetahuan yang diperoleh melalui Internet. Sedangkan kita gagal merebut peluang dan harus menerima kekalahan dalam bersaing dengan bangsa lain. Namun apakah kita akan tinggal diam ? Tentunya tidak.
Sekolah menengah sesuai uraian di atas sesungguhnya adalah basis terkuat untuk memulai proses memasyarakatkan ilmu pengetahuan. Maka tentu sangat tepat apabila mulai saat ini siswa sekolah menengah diperkenalkan dan didorong untuk memanfaatkan teknologi Internet sebagai upaya mengejar ketertinggalan Iptek dengan bangsa lainnya. Dengan cara demikian maka cita-cita membangun knowledge based society tidak hanya menjadi omong kosong. Demikian pula menjadi masyarakat yang well informed dan mampu memproduksi informasi dan teknologinya sendiri. Lebih ekonomis ketimbang membeli dari orang lain.
Kendala terbesar selama ini adalah kendala budaya. Orang harus diberi pengertian bahwa Internet bukanlah tempat rekreasi saja, bahwa poin terpenting di Internet adalah informasi dan Iptek. Yang kedua adalah dana, suatu hal yang sangat mudah diselesaikan apabila kita mau memakai paradigma manfaat, bukan biaya. Yang kemudian harus dipahami adalah biaya yang dikeluarkan itu sebenarnya tidaklah berarti apa-apa bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh. Akses Internet individual memang mahal, namun bila itu dilakukan secara massal justru menjadi sangat murah.
Ini adalah rumus elastisitas bisnis sederhana. Ketika permintaan tinggi (banyak) maka otomatis harga akan turun. Tarif jasa Internet yang mahal akan terasa murah apabila cost rationya dibagi oleh banyaknya pengguna. Dan teknologi Internet memungkinkan kita untuk berbagi pakai akses secara massal, tentu dengan trade off berupa penurunan standar kenyamanan dan kualitas akses. Namun praktek semacam ini, masih tetap wajar, bahkan di negara maju pun masih dilakukan dengan alasan efisiensi. Dengan cara ini, sebenarnya kita bisa menunjukkan bahwa biaya akses Internet untuk seorang siswa setiap bulannya, tidaklah lebih besar dari 2 (dua) - 3 (tiga) bungkus sigaret kretek yang dihisap oleh orang tuanya.
Namun memang pada kenyataannya tidaklah mudah untuk meyakinkan orang tua siswa misalnya, untuk membiayai akses Internet putera puterinya. Bukan hanya karena kekhawatiran dampak negatif, melainkan kerancuan paradigma, dimana semua ‘investasi’ yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya selalu dipandang secara fisik. Seperti dipaparkan sebelumnya, orang tua lebih percaya kepada nilai rapor, suatu fakta fisik. Oleh karena itu tentu saja menjadi sangat relevan bahkan sudah saatnya apabila Teknologi Informasi dan Internet menjadi bagian yang integral dalam kurikulum sekolah. Atau paling tidak, masuk ke dalam ko kurikuler prasyarat wajib, sehingga ada ‘nilai rapor’ yang bisa dipresentasikan untuk meyakinkan orang tua, bahwa ‘investasinya’ memberikan ‘hasil nyata’. Sebab tidak mungkin kita mengirimkan rekapitulasi karya-karya desain personal web, blog dan diskusi-diskusi milis siswa di Internet kepada setiap orang tua.
Di sisi lain diperlukan sosialisasi dan bila perlu workshop tersendiri bagi para orang tua untuk mulai belajar dan memahami bahkan menguasai keberadaan Teknologi Informasi dan Internet. Sehingga mereka tidak canggung lagi berhadapan dengan putera puterinya dan secara proaktif mampu memberikan pengawasan dan bimbingan. Selanjutnya pada gilirannya, berkat berbagai wacana yang terus berkembang, paradigma Iptek akan tumbuh berkembang di lingkungan orang tua. Tentu saja hal ini baru akan berhasil apabila para orang tua dengan sadar mau melibatkan diri dan meluangkan waktu dalam program semacam ini. Semata-mata demi kesejahteraan dan kemajuan putera-puterinya yang tidak lain adalah generasi muda yang akan menjamin kejayaan masa depan bangsa.
Di negara lain, terutama di negara maju, adalah hal yang lazim apabila pihak sekolah juga memberikan training dan workshop tentang Internet kepada para orang tua siswa.
Apabila akses ilmu pengetahuan bagi masyarakat kita telah sinergis, baik itu secara formal, informal ditambah dengan penguasaan Teknologi Informasi maka perkara penciptaan teknologi untuk mensejahterakan rakyat adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
Penguasaan informasi menyebabkan suatu bangsa mampu melakukan penjajahan dan menguasai bangsa lain tanpa kekuatan militer. Bergerilya melalu pergerakan saham, nilai tukar mata uang, lobi politik internasional, kerjasama raksasa swasta multinasional dan penguasaan media. Sebagai contoh media bisa melakukan character assasination dan trial by press yang bisa mengklaim mayoritas masyarakat. Semua bisa terjadi karena peran Teknologi Informasi. Artinya, mereka bisa melakukan itu karena menguasai informasi.
Penguasaan informasi juga menciptakan berbagai peluang. Mulai dari kerjasama, bantuan, program dan akses ilmu pengetahuan. Investasi di otak yang tidak dapat dinilai dengan uang. Kerjasama dengan PT – LSM – Swasta (vendor, ISP). Guru bisa mendapatkan insentif dari kegiatan ilmiah melalui kerjasama dengan lembaga ilmiah lain, swasta (misalnya penerbit), media massa (tulisan) dll. Sedangkan pihak sekolah mendapatkan keuntungan image atau kondite bagi para pengelolanya.