Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan Dasar

1. Mencermati ketentuan seragam sekolah

Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada siswa sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam sekolah diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan.
Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya seragam yang dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah). Sementara di Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah), sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat Atas (SMA/MA) berwarna putih (baju/bagian atas) abu-abu (celana atau bagian bawah).
Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada yang menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula yang menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan berseragam sekolah disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan jilbab bagi siswa perempuan, atau bercelana panjang pada siswa laki-laki).
Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management, saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan �seragam standar nasional� masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan.
Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali �memakan korban� bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment).
Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family).
Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan �selingan bisnis� oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi. Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non akademik.
Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa.
Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya. Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagaimana pendapat Anda?
Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/01/14/mencermati-tentang-ketentuan-seragam-sekolah/

2. Pendidikan Dasar dan Dasar Pendidikan

Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anakanaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar.
Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu �pendidikan� dan �dasar�. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah �Pedagogik� yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku.
Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini ? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan.
Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan �dasar pendidikan� karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Sumber : www.rianto.com


3. Budaya Katrol Nilai

Kalau anda, para guru, sempat membaca totto chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol nilai para murid. Sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik.
Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Keboyashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi di halaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik. Bahwa kalau ada anak yang tidak berwatak baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa disekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya.
Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras.
Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang 'hitam' sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya 'merah', orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh.
'Penyakit' ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut guru ( yang tidak mau dianggap sebagai guru gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ), sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru. Orang tua, kita (para guru), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris.
Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam 'kunci' untuk keluar dari ermasalahan-permasalahan yang dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka.
Kalau kita, para guru, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka.
Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka.
Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat guru dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan guru. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai 'fantastis' di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur.
Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita.
Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Thukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa katrol nilai itu katrok.
Oleh : Eko wurianto (Guru SMPN Kebon Agung, Pacitan - Jawa Timur)
Sumber : Pendidikan.net


4. Pendidikan dasar untuk semua

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia.
Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.
http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html

5. Rumah Pintar

Rumah Pintar diharapkan Kurangi Buta Aksara
Pendirian sejumlah rumah pintar di beberapa daerah di Indonesia yang sudah mencapai 185 unit diharapkan dapat mengurangi jumlah buta aksara di Tanah Air.
"Program rumah pintar beserta mobil pintar, motor pintar, dan perahu pintar mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Tentunya kami berharap program dalam payung Indonesia Pintar ini bisa mengurangi jumlah buta aksara di masyarakat," kata Ibu Ani Yudhoyono saat meresmikan rumah pintar Bhara Cendekia I di Kompleks Markas Komando Brimob Polri Kelapa II Depok, Senin (21/7).
Menurut Ibu Negara, sampai saat ini jumlah penyandang buta aksara di Indonesia mencapai 8,7% dari jumlah penduduk yang 45% di antaranya adalah kaum wanita.
Dijelaskannya, program Indonesia Pintar yang diluncurkan 18 Mei 2005 berawal dari keprihatinan atas terbatasnya jumlah buku dan perpustakaan yang berada di sekitar anak - anak sehingga dengan program ini diharapkan ribuan buku bisa dikumpulkan untuk diberikan dan dipinjamkan kepada anak - anak.
"Kami sudah berhasil mengumpulkan sekitar 3.500 - 4.000 buku sehingga diharapkan bisa membantu upaya pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.
Menurut Ani Yudhoyono, hingga saat ini sudah dibagikan 50 unit mobil pintar, 185 rumah pintar, 350 motor pintar, dan tiga perahu pintar. Ibu Negara mengajak semua pihak untuk membantu program ini bukan saja dengan memberikan dana tapi juga menyumbangkan buku.
Dalam kesempatan itu Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengatakan rumah pintar di lingkungan markas Brimob ini diharapkan dapat menjadi daya pikat anak - anak untuk belajar dan mengubah perilaku dalam kebiasaan belajar, yang biasanya menjemukan menjadi menyenangkan.
"Pendirian rumah pintar ini juga sesuai dengan tugas Polri untuk mengurangi sumber - sumber kerawanan sosial di masyarakat seperti ketidakmampuan untuk membiayai sekolah," katanya.
Menurut Kapolri, rumah pintar merupakan proyek contoh yang akan dikembangkan di semua polda.
Dalam kesempatan itu Ibu Negara secara simbolis membagikan satu unit mobil pintar dan 125 motor pintar kepada kapolda dari seluruh Tanah Air . (Ant/OL-01)
Sumber: Media Indonesia Online

Pendidikan Menengah

1. Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua

Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai �anak emas� dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter �withdrawal� atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama �SMK, MAN dan SMA�. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja. Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja � menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa �Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini�. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).
Oleh: Marjohan (guru SMA Negeri 3 Batusangkar)

2. IPA dan IPS Terpadu

Pembelajaran IPA Terpadu
Menurut Prawiradilaga (2004), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung yang menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka pada saat ini maupun mendatang.
Karakteristik pembelajaran terpadu meliputi:
1. Pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat (centre of interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, baik yang berasal dari bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda.
2. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan anak secara simultan
3. Menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak
4. Menggabungkan sejumlah konsep kepada beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.
Uraian di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan pembelajaran IPA Terpadu di SMP, yaitu pembelajaran yang menghubungkan pelajaran fisika, kimia, dan biologi, menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara simultan (karakteristik nomor 3). Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh ketua BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Bambang Suhendro dalam Harian Suara Pembaharuan, Senin 9/1/06:
�...untuk mata pelajaran IPS terpadu di tingkat SMP, seringkali kompetensi akademik guru kurang memadai. Guru yang mempunyai latar belakang sejarah lebih banyak mengajarkan sejarah. Padahal kompetensi IPS terpadu tidak hanya sejarah, tetapi ada sosiologi, antropologi dan geografi. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA terpadu yang mencakup pelajaran fisika, kimia dan biologi�.
Pernyataan ketua BSNP tersebut menyiratkan bahwa seorang guru mata pelajaran IPA di SMP dituntut untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, terlepas dari latar belakang pendidikannya. Begitu juga untuk guru IPS, mereka diharapkan untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPS, yaitu sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi.
Suatu pembelajaran terpadu menawarkan beberapa kelebihan (Lipson, 1993), yaitu:
 lebih fokus pada tema, karena satu tema dibahas dari berbagai sudut pandang
 memungkinkan transfer of learning, misalnya penerapan konsep fisika dalam biologi
 memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara satu disiplin ilmu dengan lainnya
Di samping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah, kendala, atau konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran terpadu (Druger, 1999), yaitu :
 guru dan sekolah sudah terbiasa dengan pola lama
 hampir semua guru tidak memiliki pengalaman penelitian di luar latar belakang pendidikannya
 guru �kehilangan� otoritas pada latar belakang bidang studinya
 memerlukan komitmen dari para guru untuk bekerja sama
 ketika menggunakan metode team teaching, muncul banyak persoalan seperti perbedaan karakter pribagi guru, kontribusi yang tidak jelas, perbedaan gaya mengajar, dan kesulitan mengatur jadwal
Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.


3. Tips menghadapi UAN

Jika penulis ditanya apa yang harus dilakukan jika karena sesuatu hal siswa atau siswi di manapun mereka berada terpaksa diharuskan untuk menghafal mata pelajaran dengan SKS (sistem kebut semalam)? Tanpa ragu penulis akan berkata, gunakan teknik �encapsulation�. Mudah mudahan teknik ini dapat sedikit menolong siswa siswi yang sebentar lagi akan menghadapi ujian baik ujian nasional atau ujian akhir sekolah.
Penulis akan menyajikan sebuah kisah nyata. Tulisan ini diambil dari tulisan berbahasa Inggris yang diterbitkan di http://www.bocsoft.net/English/article/art_oop.htm.
Seorang anak lelaki duduk di sebuah sofa kira-kira satu jam lamanya, mencoba untuk menghafal tugas sekolah yang terdiri dari satu kalimat panjang, sembilan puluh lima kata dan lima ratus dua puluh tiga huruf.
Anak laki-laki itu yang duduk di kelas tiga SD tidak bisa menahan lagi. Itu tampak sekali dari kegelisahannya bahwa dia tidak dapat mengatasinya.
Untuk mengeluarkan segala kegundahannya, dia menangis begitu keras sehingga terpaksa ayahnya turun tangan menolongnya. Ayahnya membawanya ke ruangan lain dan mencoba menenangkan anak itu. Setelah anak itu berhenti menangis, ayahnya menggambar delapan simbol dan menghubungkan masing-masing simbol dengan kata-kata yang ada dalam kalimat itu.
Seperti sebuah pertunjukan sulap, anak itu begitu mudahnya menghafal kalimat panjang itu hanya dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Ayahnya kemudian berkata, �Lihat, kamu adalah anak yang pintar.� Anak itu berkata dengan rendah hati, � Ah bukan, itu karena Ayah.�
Penulis tidak mempunyai keterangan ilmiah bagaimana otak kita bekerja tetapi saya tahu bahwa otak kita membutuhkan sesuatu untuk menghubungkan satu hal dengan hal-hal yang lain, satu kata dalam bahasa Inggris yang bisa menerangkan itu adalah �encapsulation�. Saya akan memberikan definisi �Encapsulate� dari Oxford Advanced Learner�s Dictionary, "To express the most important parts of something in a few words, a small space or a single object." Untuk mengekspresikan bagian penting dari sesuatu dengan kata yang pendek, ruang kecil atau objek tunggal.
Jika menyimak cerita di atas dengan teliti, penulis sengaja menulis jumlah huruf dari kalimat itu. Misalkan pembaca diharuskan menghafal semua huruf dengan menggabungkan semua kata menjadi hanya satu kata, apakah ada orang yang bisa menghafal kata itu. Itu hal yang sulit dilakukan. Tetapi dengan memisahkan 523 huruf menjadi 95 kata yang mempunyai arti, tugas itu jauh lebih mudah.
Dengan menghubungkan 95 kata-kata itu ke hanya 8 simbol, tugas itu akan jauh lebih mudah. Kata � encapsulation� adalah kata yang penulis dapatkan dari bidang ilmu pemograman berbasis objek. Tetapi kata �encapsulation� tidak hanya berguna di bidang pemrograman berbasis objek tetapi bisa diterapkan untuk menghafal dan belajar di sekolah.
Sebagai percobaan, dapatkah anda menghafal huruf yang terdapat dalam kata ini: iamgoingtobedearlybecauseimustgetupearlyinthemorning? Sekarang coba memecahkan kata ini menjadi beberapa kata: I am going to bed early because I must get up early in the morning.
Sewaktu masih SMA, ada seorang murid yang terkenal nakal dan membuat sebuah singkatan untuk menghafal unsur kimia dengan membuat sebuah kalimat seperti ini : �Beni manggil ca?? suruh Ba?? Rasain.� ca?? tebak sendiri apa kata itu. Ba?? Adalah nama kepala sekolah SMA kami waktu itu. Hanya kolom di daftar unsur kimia itu yang penulis masih ingat.
Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan sedikit informasi agar bisa menerapkan teknik �encapsulation� untuk kepentingan belajar menghadapi ujian akhir nasional. Tetapi mudah-mudahan tulisan ini tidak membuat siswa siswi selalu terbiasa dengan SKS (sistem kebut semalam). Untuk kepentingan jangka panjang teknik yang terbukti ampuh dalam belajar adalah: You do it bit by bit dan Speed Reading.
Akhir kata penulis ingin mengucapkan kepada siswa siswi, orang tua yang anaknya akan menghadapi ujian akhir nasional atau guru-guru pembimbing, �sukses menempuh ujian akhir nasional�.
Sumber : Erlangga.co.id

4. Tips dan trik memilih jurusan komputer

Perlu kita garis bawahi dulu bahwa �secara konsep� kurikulum bidang komputer di Indonesia sudah cukup baik. Kurikulum Indonesia mengacu dan mengadaptasi Computing Curricula, yaitu panduan kurikulum bidang komputer (computing) yang diterbitkan secara bersama oleh ACM (the Association for Computing Machinery), AIS (the Association for Information System) dan IEEE-CS (the IEEE Computer Society). Beberapa dokumen usulan kurikulum yang diajukan APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) saya lihat juga mengacu ke Computing Curricula 2001 dan 2005. Kalau kemudian ada pertanyaan kok pelaksanaan di lapangan tidak sebagus konsepnya. Ya banyak faktor yang masih menjadi masalah di Indonesia, kualitas SDM pengajar, infrastruktur, minimnya textbook yang baik, dsb. Mari kita perbaiki bersama-sama dan tidak perlu saling menyalahkan
Sekali lagi, Indonesia hanya mengadaptasi dan bukan mengadopsi Computing Curricula, artinya bahwa tidak semua nama jurusan dan nama mata kuliah di Indonesia sama �plek� dengan apa yang ada di Computing Curricula. Computing Curricula memberikan panduan tentang penyelenggaraan, penamaan mata kuliah beserta pembobotannya dan penyusunan kurikulum pada 5 jurusan, yaitu: Computer Engineering (CE, Teknik Komputer), Computer Science (CS, Ilmu Komputer), Information Systems (IS, Sistem Informasi), Information Technology (IT, Teknologi Informasi), Software Engineering (SE, Rekayasa Perangkat Lunak).
Adaptasi dan acuan kurikulum di Indonesia adalah:
1. Computer Science untuk program studi (jurusan) Teknik Informatika atau Ilmu Komputer
2. Computer Engineering untuk program studi (jurusan) Sistem Komputer atau Teknik Komputer
3. Information System untuk Sistem Informasi atau Manajemen Informatika
Sedangkan Software Engineering dan Information Technology, di Indonesia dianggap bukan merupakan program studi (jurusan) karena masih bisa masuk salah satu bagian dari Teknik Informatika atau Ilmu Komputer.
Lha terus dimana letak perbedaan jurusan-jurusan diatas?
Semua jurusan (program studi) sebenarnya memiliki mata kuliah yang boleh dikatakan �sama�, hanya pembobotannya berbeda. Bobot inilah yang nantinya menentukan jalur karier dan bidang kerja lulusan. Kompetensi lulusan setiap jurusan biasanya di desain seperti di bawah:
1. Computer Engineering (CE) (Jurusan Sistem Komputer atau Teknik Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mendesain dan mengimplementasikan sistem yang terintegrasi baik software maupun hardware
2. Computer Science (CS) (Jurusan Teknik Informatika atau Ilmu Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan dengan kemampuan yang cukup luas dimulai dari penguasaan teori (konsep) dan pengembangan software.
3. Information System (IS) (Jurusan Sistem Informasi atau Manajemen Informatika) diharapkan menghasilkan lulusan yag mampu menganalisa kebutuhan (requirement) dan proses bisnis (business process), serta mendesain sistem berdasarkan tujuan dari organisasi
4. Information Technology (IT) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu bekerja secara efektif dalam merencanakan, mengimplementasikan, mengkonfigurasi dan memaintain infrastruktur teknologi informasi dalam organisasi.
5. Software Engineering (SE) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mengelola aktifitas pengembangan software berskala besar dalam tiap tahapannya (software development life cycle).
Computing Curricula membuat suatu komparasi umum dan pembobotan mata kuliah tiap jurusan dengan visualisasi grafis seperti di bawah. Sumbu horizontal menggambarkan arah pengembangan (apakah lebih teoritis atau lebih praktis), sedangkan sumbu vertikal menggambarkan topik dan desain mata kuliah yang diajarkan. Pembobotan ditandai dengan warna abu-abu tua pada visualisasi gambar.
Yang terakhir, perlu diperhatikan bahwa ada beberapa irisan bidang computing dengan bidang lain yang sepertinya mirip tapi sebenarnya beda. Misalnya, bagi yang ingin mendalami desain grafis dan animasi secara mendalam, saya sarankan tidak masuk ke salah satu dari lima jurusan computing diatas. Akan lebih baik apabila masuk ke jurusan desain komunikasi visual (DKV), yang biasanya ada di bawah fakultas seni rupa. Saya jamin lebih pas untuk yang berminat di animasi dan desain grafis. Banyak mahasiswa yang cita-citanya menjadi animator dan graphics designer akhirnya harus melongo dan menyesal karena salah masuk ke jurusan computing. Akan saya bahas tentang DKV di lain kesempatan
Selamat memilih jurusan !
Oleh : Romi Satria Wahono

5. Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU

5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda.
1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini:
range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2.
2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda.
3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif.
4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal.
5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil.
Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias?
Sumber: www.ezinearticles.com

Pendidikan Tinggi

1. Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA), TANTANGAN sekaligus ANCAMAN

Polemik boleh tidaknya perguruan tinggi asing beroperasi di Tanah Air terus berlangsung. Perbedaan pendapat dan sikap itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tapi juga terjadi diantara pengambil kebijakan pemerintah. Kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia, memunculkan sikap yang bermacam-macam. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal "Ical" Bakrie, saat pidato pertama kali seusai pelantikannya, menekankan perlunya liberalisasi pendidikan. Alasannya saat ini kompetisi dilakukan bukan lagi melalui otot atau fisik tapi melalui otak. Saat ini, kata Ical, hidup pada dunia generasi ketiga, yakni high technology, Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuka diri terhadap perkembangan dunia teknologi, termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan, katanya. (harian sindo 12-03-06)

Peningkatan pendidikan dalam negeri, sebagian besar memang masih tertinggal jauh dengan perguruan tinggi asing. Meski, bukan kebetulan pula jika UGM beberapa waktu lalu masuk dalam 100 perguruan tinggi internasional terbaik dalam bidang seni dan humaniora. Sayangnya, prestasi itu belum di ikuti perguruan tinggi lainnya. Perlunya kehadiran PTA, tidak hanya karena faktor mutu pendidikan saja, namun yang tak kalah penting adalah faktor ekonomi, yakni penambahan devisa negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian triliunan rupiah dalam setiap tahunnya akibat larinya para pelajar ke luar negeri. Kehilangan devisa itu ditambah efek domino akibat kehadiran para pelajar tersebut, seperti keuntungan di bidang pariwisata.

Deputi Pendidikan dan Aparatur Negara Menko Kesra Fuad Abdul Hamied mencatat, sedikitnya Rp. 3,7 Triliun habis di Australia akibat banyaknya pelajar Indonesia yang belajar di Negeri Kangguru itu. Sementara itu, di Inggris sudah mencapai Rp. 308 miliar. Uang sebesar itu sebenarnya bisa membuat puluhan perguruan tinggi, katanya dalam diskusi "Internasionalisasi Perguruan Tinggi" di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dari data statistik, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Australia ada sekitar 18 ribu, di Inggris 1.150 dan masih banyak lagi di Amerika, Timur Tengah dan Asia Tenggara sendiri. Saat ini sudah lebih dari dua ribu mahasiswa Indonesia berada di Malaysia dan Singapura. Fuad heran dengan masih kuatnya penolakan perguruan tinggi dalam negeri terhadap kehadiran PTA. Padahal kehadiran PTA bisa memacu kompetisi pendidikan di Indonesia, dan masyarakat memiliki perbandingan untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu perlu digulirkan wacana Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Masyarakat.

Kalangan perguruan tinggi, memang menanggapi kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) secara beragam. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Kehadiran PTA sangat dilematis bagi perguruan tinggi dalam negeri dan pemerintah. Satu sisi kehadirannya diperlukan agar devisa tidak hilang, tetapi disisi lain bisa mengancam perguruan tinggi dalam negeri. Sementara masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, saat ini memilih PTA. Seharusnya kehadiran PTA menjadi tantangan bagi pelaku pendidikan di Indonesia, sehingga memunculkan semangan untuk terus memperbaiki kualitasnya. Bahkan kalangan DPR mengakui kehadiran PTA sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara Pemerintah lambat meresponnya. Selain itu pula mereka mengakui dan bisa memaklumi kualitas PTA dibandingkan perguruan tinggi dalam negeri. Wajar apabila para orangtua berloba-lomba menyekolahkan putra-putrinya ke luar negeri. Hal ini merupakan hak individu masyarakat untuk menentukan masa depan pendidikan putra-putri mereka.

Mengutip pernyataan Managing Director INTI College Indonesia, Sudino Lim SE bahwa keberadaan PTA di Indonesia diharapkan bisa memacu percepatan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, sistem pendidikan, proses pembelajaran dan lain-lain. Sedangkan dilihat dari pangsa pasarnya, hadirnya PTA bukan ancaman bagi perguruan tinggi di dalam negeri, karena PTA sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Pembukaan program PTA di Indonesia justru akan mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Dari segi ekonomi, devisa tidak akan hilang. Apalagi, saat ini jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri cukup besar.

Dibukanya keran perdagangan bebas juga memungkinkan universitas luar negeri membuka cabang di Indonesia. Siap tidak siap, kompetisi tentu saja akan semakin ketat karena tidak hanya bersaing dengan sesama universitas lokal, para pendatang luar juga harus dihadapi. Kerjasama antara PTA dengan perguruan tinggi dalam negeri pada dasarnya merupakan upaya universitas untuk diakui di dunia Internasional dan mensejajarkan diri dengan universitas dari luar negeri. Langkah ini dilakukan agar lulusan perguruan tinggi dalam negeri tersebut memiliki kompetensi yang diperlukan untuk bisa bekerja dan merebut peluang kerja di luar negeri, selain di dalam negeri sendiri. Dengan pola inilah, maka perguruan tinggi dalam negeri dapat menghasilkan Lulusan yang dapat GO International untuk meraih peluang kerja diluar negeri, sehingga akan meningkatkan citra Bangsa Indonesia di mata dunia.
.

2. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang Oleh : Nurkolis
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya �benar-benar� dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan �benar-benar� karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta.

3. Timor Leste Hanya Punya Tiga Perguruan Tinggi

Kamis, 18 September 2008
BANDUNG, KAMIS - Pascakekacauan usai kemerdekaan Timor Leste, hanya ada tiga perguruan tinggi di bekas provinsi Indonesia tersebut. Kualitasnya pun di bawah standar internasional. Maka, tak heran banyak mahasiswa Timor Leste belajar ke Indonesia, termasuk Jawa Barat.
Demikian masalah yang diungkapkan seusai pertemuan Menteri Luar Negeri Timor Leste, Lesea Zacarias Aibano Da Costa dengan Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf di Bandung, Kamis (18/9). Mahasiswa Timor Leste memiliki antusias tinggi untuk belajar di Jawa Barat.
Lesea mengatakan, provinsi tersebut menjadi tujuan mereka karena di ibu kota Jabar yaitu Bandung, banyak perguruan tinggi berkualitas. Terdapat 300 mahasiswa Timor Leste yang belajar di Jabar dengan jenjang S1. Mereka sudah datang sejak tiga tahun lalu.
Sebagian besar mengambil kajian ilmu komunikasi dan teknologi. Para mahasiswa itu ditempatkan antara lain di Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Komputer Indonesia. Dede mengatakan, jumlah mahasiswa Timor Leste di Jabar akan terus ditambah.
Dalam tiga tahun mendatang, lebih dari 300 mahasiswa Timor Leste akan didatangkan lagi ke Jabar. M ahasiswa yang mendaftar di perguruan tidak dipersulit dan dalam proses belajarnya diberi kemudahan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar berniat mendorong perguruan tinggi di Timor Leste.
"Banyak sarjana kita yang siap ke Timor Leste untuk dikirim kesana. Mereka bisa memberi pembinaan terhadap perguruan tinggi di Timor Leste," kata Dede. Sejumlah guru dari Jabar tengah dikaji untuk pergi ke Timor Leste guna memberikan masukan tentang pendidikan.
Selain itu, ada kemungkinan mahasiswa Jabar juga berkunjung ke Timor Leste. Dede mengatakan, Pemprov Jabar bersama pemerintah Timor Leste sedang mencari formulasi terbaik dalam bidang pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan Jabar Dadang Dally mengatakan, mahasiswa Timor Leste ingin belajar lebih baik untuk meningkatkan sumber daya manusia di negaranya.

4. Perguruan Tinggi Perlu Kembangkan Pertukaran Program Internasional

Jumat, 23 Mei 2008
JAKARTA, JUMAT - Perguruan tinggi Indonesia harus mulai mengembangkan pertukaran program internasional dengan perguruan tinggi dari negara-negara lain. Program ini untuk menyiapkan lulusan peguruan tinggi Indonesia siap bersaing masuk di pasar global.
"Kondisi sosial sudah berubah jauh dan perkembangan pengetahuan juga maju pesat. Indonesia harus siap dengan perubahan itu. Dalam bidang pendidikan, kerjasama internasional dengan lembaga pendidikan di belahan negara lain harus dilakukan dalam berbagai bentuk," kata Rektor Bina Nusantara University, Geraldus Pola, dalam seminar menyambut Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di Jakarta, Jumat (23/5).
Menurut Geraldus, pengalaman untuk bisa masuk dalam dunia internasional itu idealnya sudah bisa dirasakan peserta didik saat di bangku kuliah. Perguruan tinggi berkolaborasi dalam riset, seminar, pertukaran pengajar dan pelajar, hingga penyelenggaraan dual degree program."Untuk bisa melaksanakan pertukaran program internasional harus ada banyak yang perlu dibenahi, terutama untuk memenuhi standar internasional. Keuntungan yang diperoleh banyak karena lulusan kita jadi mudah masuk ke pasar global, misalnya mudah untuk bekerja di negara lain secara kompetitif," kata Geraldus.
Untuk internasionalisasi pendidikan ini perlu ada jaminan kualitas, networking, dan alokasi sumber daya yang memenuhi standar nasional. Tujuannya supaya perguruan tinggi di Indonesia bisa juga diakui kurikulumnya di dunia internasional. (ELN)


5. CSR Korporasi Diharapkan Dukung Kemajuan Pendidikan

Kamis, 5 Maret 2009
DEPOK, KAMIS — Kepedulian sejumlah perusahaan untuk memajukan dunia pendidikan melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR) sangat berarti bagi dunia pendidikan. Jika sekarang cenderung CSR diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pemberian beasiswa maka ke depan CSR diharapkan bisa mendongkrak pencapaian angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi, yang sampai sekarang masih rendah.
Direktur Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Ira S, mengemukakan hal itu ketika menjadi pembicara kunci pada acara talkshow bertajuk "Pemanfaatan CSR Korporasi untuk Mendukung Pendidikan Tinggi Berkualitas", Kamis (5/3) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Lima pembicara pada talkshow adalah Gumilar R Somantri, Rektor Universitas Indonesia; Arwin Rasyid, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga; Noke Kiroyan, Ketua Konsorsium CSR & Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Link; Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Kompas; dan Muliaman Hadad, Ketua Iluni FE UI.
Ira menjelaskan, APK perguruan tinggi sampai sekarang masih menjadi masalah. Tahun 2008 lalu APK perguruan tinggi (PT) adalah 17,75 persen. Tahun 2009 diharapkan bisa meningkat menjadi 19 persen. Lima tahun ke depan, APK PT ditargetkan mencapai 25 persen. Untuk mencapai peningkatan APK ini, perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.
Perguruan tinggi melalui fakultas-fakultasnya perlu menjemput bola, memberikan kesempatan lulusan SMA untuk masuk di perguruan tinggi. Jangan sampai ada daftar tunggu, lulusan-lulusan yang seharusnya ada di perguruan tinggi, ujarnya.
Selain untuk calon mahasiswa, CSR korporasi perlu juga diarahkan untuk membantu penelitian dosen. Karena selama ini, untuk menjalani fungsi tridharma perguruan tinggi, khusus bidang penelitian, dosen mengalami kesulitan biaya.
Sementara itu, dalam talkshow dibahas bagaimana korporasi, melalui program CSR, dapat membantu perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas. Sangat disadari, biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas tidaklah murah, terutama apabila diarahkan untuk mencapai taraf daya saing dunia (global competitiveness). Sementara itu, alokasi dana dari pemerintah sendiri maupun yang dihimpun dari penerimaan pendidikan juga terbatas.
Karena itu, perguruan tinggi juga dituntut untuk mampu menggali sumber dana di luar sumber dana konvensional yang terbatas tersebut. Kerja sama dengan dunia usaha diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk menutupi kesenjangan tersebut. Namun, kerja sama tersebut juga harus dilakukan dalam koridor norma yang wajar sehingga juga tidak mengganggu otonomi perguruan tinggi.
Rektor UI Gumilar R Somantri menjelaskan bagaimana status Badan Hukum Pendidikan (BHP) memberikan UI peluang untuk melakukan strategi enterprising tanpa harus mengorbankan otonomi UI. Arwin Rasyid lebih menyoroti pada strategi dan kebijakan CSR yang dilakukan oleh Bank CIMB Niaga, terutama dalam mendukung pendidikan kualitas pendidikan tinggi juga dapat memberikan manfaat positif, di luar aspek corporate image, bagi Bank CIMB Niaga sendiri dengan tetap menjaga profesionalisme tanpa mencampuri otonomi perguruan tinggi.
Muliaman Hadad lebih menyoroti bagaimana Iluni FEUI tetap aktif memberikan dukungan positif bagi almamaternya dengan membantu menjembatani hubungan antara FEUI dan dunia usaha. Noke Kiroyan lebih menyoroti mengenai praktik-praktik CSR yang umum dilakukan di Indonesia dan di negara-negara lain, termasuk dalam kaitannya dengan pendidikan tinggi. Rikard Bagun, selaku wakil media, memberikan tanggapan kritis terhadap praktik-praktik CSR yang dilakukan oleh korporasi.
Seusai talkshow, Bank CIMB Niaga merealisasikan bantuan senilai Rp 17 miliar untuk kegiatan CSR dalam bentuk pembangunan Gedung Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang berlokasi di Depok. Penyerahan bantuan ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) oleh Arwin Rasyid, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk, dan Gumilar R Somantri, Rektor UI.

Pendidikan Non Formal

1. Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Sasaran
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat

Fungsi
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.


2. Peran Strategi Pendidikan Non Formal

Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing.
Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun
Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.


3. Pemanfaatan Jaringan Perguruan Tinggi Untuk Peningkatan Akses dan Mutu Layanan PAUD Non Formal

Perguruan Tinggi seyogyanya adalah tempat persemaian ilmu pengetahuan, di mana buah dari ilmu pengetahuan dapat dipetik berupa hasil karya dan manfaat nyata bagi masyarakat. Selama ini perguruan tinggi masih dipandang sebagai menara gading yang menjulang jauh dan tidak menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat di sekitarnya.

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi terhadap kondisi yang terjadi di perguruan tinggi, tempat di mana saya bekerja. Sebagai salah seorang staf perempuan, saya merasakan adanya kebutuhan akan pentingnya suatu wadah non-formal untuk memenuhi kebutuhan dari perempuan bekerja yang ingin menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga. Sebagai perempuan bekerja, terdapat kekhawatiran di mana dia harus dapat membagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk karir dan keluarga.

Pada tahun 2006 Indonesia mengalami kemajuan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 0,711 dan berada di urutan 108, mengalahkan Vietnam yang mempunyai nilai 0,709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik (0,677 pada tahun1999 ; 0,697 pada tahun 2005; dan 0,711 pada tahun 2006) (http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_pembangunan_manusia). Peran perguruan tinggi sangat diharapkan dapat mewujudkan kemajuan bangsa ke arah yang lebih baik. Walaupun pendidikan anak usia dini bukanlah prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), namun pendidikan dini (usia 0-6 tahun) amat penting dalam rangka mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di level internasional.

Menurut Balitbang Depdiknas, dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sejauh ini perguruan tinggi di Indonesia belum ada yang menyediakan fasilitas Taman Penitipan Anak (TPA)/Child Care untuk anak-anak staf yang bekerja di institusi tersebut dan juga anak-anak masyarakat sekitar. Hal ini mengakibatkan banyak staf perempuan perguruan tinggi tersebut yang tidak optimal dalam menjalankan profesinya. Beberapa di antara mereka banyak yang mengambil cuti berkepanjangan, ada pula yang akhirnya meninggalkan profesinya di perguruan tinggi demi mengurus buah hati tercinta. Padahal, apabila terdapat TPA/Child Care di lingkungan Perguruan Tinggi yang dikelola secara profesional oleh fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak, seperti fakultas psikologi, fakultas kedokteran, fakultas kedokteran gigi, fakultas kesehatan masyarakat, sampai fakultas sastra untuk mengembangkan kemampuan linguistik bagi anak-anak. Berikut adalah sederet manfaat yang bisa didapat :

.Peningkatkan produktifitas staf dan dosen perguruan tinggi.

Produktivitas staf maupun dosen dapat meningkat karena secara psikologis mereka bekerja dalam keadaan tenang, tidak khawatir sebab pada waktu istirahat, mereka dapat melihat dan bermain bersama anak mereka di TPA/Child Care yang ada di lingkungan perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Jadi, waktu yang dihabiskan oleh orang tua bersama anaknya menjadi lebih banyak, di samping itu kemampuan sosialisasi anak pun berkembang karena memiliki teman sebaya yang diawasi oleh pengasuh profesional.

.Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD di tengah masyarakat.

Masyarakat di sekitar kampus dapat juga menitipkan anak-anak mereka di TPA/Child Care yang dikelola oleh perguruan tinggi. Untuk masalah pembiayaan, pihak perguruan tinggi bisa menggunakan pola subsidi silang untuk masyarakat yang tidak mampu, juga dapat diupayakan pengadaan sponsor dari perusahaan-perusahaan yang peduli dengan Pendidikan Anak Usia Dini, dalam hal ini dapat dimanfaatkan jaringan alumni. Dengan pelayanan yang profesional, diharapkan masyarakat dapat merasakan secara langsung kontribusi positif dari perguruan tinggi tersebut.

.Pengembangan ilmu pengetahuan

TPA/Child Care di lingkungan perguruan tinggi dapat dijadikan sebagai laboratorium bayi dan balita sebagai unit pendukung penyelenggara kegiatan pendidikan, khususnya di bidang perkembangan aspek biopsikososial bayi dan balita dalam bentuk pengajaran dan penelitian. Adapun penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian program kesehatan, gizi, dan psikososial terpadu, penelitian perkembangan motorik halus pada usia dini, dan penelitian bermain simbolik dalam interaksi ibu dan anak maupun dalam proses belajar. Para dosen dan mahasiswa dari fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak pun dapat mengaktualisasikan dan mengeksplorasi kemampuan akademik yang selama ini dipelajari di ruang kuliah.

Dengan memanfaatkan jalur perguruan tinggi yang jumlahnya ribuan yang tersebar di Indonesia, maka akses Pendidikan Anak Usia Dini jalur non-formal diharapkan dapat meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.


4. Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun
Oleh:
Muh. Syukur Salman

Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia. Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan "tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.

Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.

Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar, tetapi telah lebih dulu dibina diPAUD tersebut, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu jalur terselenggaranya PAUD adalah jalur pendidikan nonformal. PAUD jalur pendidikan nonformal adalah pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel sebagai upaya pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilaksanakan melalui Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, dan bentuk lain yang sederajat. Taman Penitipan Anak selanjutnya disingkat TPA adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program kesejahteraan sosial, program pengasuhan anak, dan program pendidikan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun. Bentuk lain yang sederajat dengan TPA dan KB, antara lain Taman Bermain, Taman Balita, dan Taman Pendidikan Anak Sholeh (TAPAS), dan PAUD yang diintegrasikan dengan progam layanan yang telah ada seperti Posyandu, dan Bina Keluarga Balita.

Penyelenggaraan PAUD nonformal tentu saja mempunyai arti dan manfaat yang tidak sedikit. Suatu konsep pendidikan yang dilaksanakan oleh sebagian besarnya adalah masyarakat dan diperuntukkan bagi anak usia sebelum pendidikan dasar, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Oleh karena itu usaha untuk mendorong bentuk-bentuk PAUD non formal harus terus menjadi perhatian kita semua, khususnya pemerintah. Penyaluran dana pendidikan yang terus bergerak naik di APBN, harus pula menyentuh PAUD nonformal ini. Meski kegiatan ini telah ada sekian lama, namun tetap harus mendapat perhatian serius sehingga semakin berkembang. Untuk lebih menggairahkan tumbuh berkembangnya PAUD nonformal ini, akan lebih baik jika pengangkatan guru PAUD lebih ditingkatkan. Selama ini, pengelolaan PAUD nonformal masih kurang profesional, terutama pada pembina atau gurunya, sehingga sangat dibutuhkan guru yang mempunyai kompetensi dan sertifikasi sebagai guru PAUD nonformal. Demikian pula terhadap kepedulian masyarakat terhadap keberadaan PAUD nonformal, harus mendapat dukungan yang tinggi dari pemerintah. Keterbatasan pemerintah dalam mengadakan PAUD formal semacam Taman Kanak-kanak dan Raodatul Atfal, tentu sangat terbantu dengan adanya PAUD nonformal. Selain itu, sosialisasi tentang PAUD non formal harus terus digiatkan sehingga masyarakat Indonesia tidak awam dengan hal tersebut.

Konsep manfaat PAUD diberdayakan tak lain adalah semakin siapnya anak-anak kita memasuki jenjang pendidikan dasar (sekolah dasar). Selama ini, sangat terasa anak-anak yang masuk SD tanpa melalui PAUD dalam hal ini Taman Kanak-kanak (TK), pada umumnya tertinggal prestasinya. Meskipun demikian, hampir tak ada grafik naik masyarakat untuk terlebih dahulu memasukkan anaknya ke TK. Hal inilah yang menjadikan PAUD nonformal menjadi urgen. Taman Kanak-kanak dan Raudathul Atfal sebagai bentuk PAUD formal masih sangat kurang, sehingga sebagian masyarakat tidak memasukkan anaknya di TK atau RA, sebagian masyarakat lainnya menginginkan anaknya untuk dibina pada suatu "institusi pendidikan" yang tidak berkesan formal (nonformal) sebelum masuk SD.

Taman Penitipan Anak dan Taman Bermain adalah dua bentuk PAUD non formal yang memang jauh dari nuansa formal. Orangtua dapat lebih kreatif dalam melihat perkembangan anaknya melalui PAUD nonformal, apalagi jika PAUD berbasis keluarga dapat terealisasi dengan baik. Kesan santai dan fleksibel adalah merupakan ciri khusus PAUD nonformal. Meskipun demikian PAUD nonformal tidak sekedar sebagai tempat anak dititip oleh orangtuanya atau tempat bermain anak saja. Perkembangan anak menuju suatu penguasaan ilmu atau keterampilan tetap menjadi tujuan utama, hanya saja "gaya" dalam mencapai hal tersebut, berbeda. Bermain adalah salah satu bentuk kegiatan yang mendominasi PAUD non formal. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh. Pendapat ini kurang begitu tepat dan bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Konsep inilah yang terus dikembangkan sehingga perkembangan jiwa anak semakin baik. Anak tidak menjadi tertekan, penakut, minder, dan jahat. Diharapkan anak akan menjadi kreatif, pemberani, percaya diri, dan rendah hati.

Anak-anak yang telah melalui PAUD termasuk PAUD nonformal tentu mempunyai gairah yang tinggi untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan PAUD nonformal mengisi kekosongan PAUD formal tentu semakin membuka akses bagi masyarakat dalam memasukkan anaknya ke PAUD sebelum ke SD, oleh karena itu akan lebih baik jika pendirian atau pengadaan PAUD Nonformal dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia, jika dapat setiap kelurahan mempunyai PAUD Nonformal. Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang dicanangkan oleh pemerintah akan semakin nyata dapat tercapai berkat dukungan PAUD nonformal. Hal ini dimungkinkan dengan semakin meningkatnya pengenalan terhadap pentingnya pendidikan sejak dini dan semakin luasnya jaringan PAUD dengan adanya PAUD nonformal sebagai bentuk wahana pengenalan pendidikan tersebut kepada masyarakat. Semakin luasnya akses untuk menemukan pendidikan sejak dini dan semakin mengertinya masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tentu merupakan indikator utama atas semakin nyatanya keberhasilan wajar pandas 9 tahun. Tak terlalu berlebihan jika kita memandang PAUD Nonformal adalah merupakan semangat atau spirit terhadap keberhasilan Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun. SEKIAN

PENULIS
GURU SD NEG. 17 PAREPARE

5. PENDIDIKAN JARAK JAUH

Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi :

1. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;
2. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular;
3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan;
4. Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan.

Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan.

Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi.

Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai.

Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun.

Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang.

Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran.

Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu.

Pendidikan Informal

1. Dewan Anggap Home Schooling Liar

Senin, 24 September 2007
TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Munawar Soleh menganggap pendidikan sekolah rumah / home schooling liar.

"Mereka itu mau kemana, tujuannya apa tidak jelas," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional, Senin.

Ia menyarankan perlunya pengawasan terhadap praktek pendidikan model ini, karena dianggap sudah keluar jalur dan tidak mengindahkan peraturan.

Sudigdo Adi dari Fraksi PDI-P menyatakan dalam sekolah rumah tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. "Indonesia mau jadi apa? Pendidikan pada dasarnya harus menjaga kelangsungan bangsa. Tapi sekolah rumah malah membuat ciri Indonesia hilang," jelasnya.

Pendidikan sekolah rumah, tambahnya, mendidik anak menjadi individualis. Pendidikan ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa aturan. "Harus ada peraturan yang membatasi," katanya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan sekolah rumah bukan pendidikan nonformal, tapi pendidikan informal. Artinya, untuk mencapai kesetaraan, peserta didik harus mengkuti ujian persamaan. "Ada paket A, paket B dan paket C, tergantung tingkatan pendidikan," katanya.
Reh Atemalem Susanti

2. Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga

Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.

HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.

HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.

Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.

Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.

Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.

Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.

Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.

Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.

Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.

Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.

Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.

Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.

Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.

Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.

Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.

Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.

3. Perbanyak Sekolah Informal

Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.

Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.

Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.

Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.

Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.

Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya!

4. PENDIDIKAN INFORMAL: Puluhan Ibu Dididik Daur Ulang Kertas Bekas

SURABAYA (Ant/Lampost): Lembaga Manajemen Infak (LMI) akan mendidik 60 ibu dan remaja putri dari berbagai daerah di Jatim agar memiliki keterampilan mendaur ulang kertas bekas menjadi barang bernilai ekonomis.
"Pelatihan daur ulang kertas bekas ini akan dilaksanakan di Surabaya, 24 hingga 25 Januari 2009. Pesertanya berasal dari Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar dan Pasuruan," kata Direktur Eksekutif LMI, Wahyu Novyan di Surabaya, Kamis
Ia menjelaskan puluhan perempuan dengan kondisi ekonomi tidak mampu itu akan dididik mendaur ulang kertas menjadi hiasan buku, kotak pensil, celengan, hiasan bunga, kontak antaran, kotak tisu, dan lainnya.
Menurut dia, lewat pelatihan ini, diharapkan para peserta memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonominya di daerahnya masing-masing.
Mereka akan dilatih oleh anak-anak binaan LMI yang sudah lama menggeluti dan memiliki keterampilan daur ulang kertas. Saat ini, ada enam anak usia SD dan SMP di LMI yang memiliki keterampilan dan siap membagikan ilmunya kepada masyarakat.
"Ada keuntungan ganda bagi anak-anak yang menjadi instruktur dalam pelatihan daur ulang kertas ini. Selain menguasai ilmu daur ulang, mereka juga belajar berbagi ilmu dengan orang lain," kata dia.
Meskipun mereka menguasai keterampilan daur ulang, karya mereka belum sepenuhnya bisa dijual secara luas. Hal itu karena terkendala waktu, antara sekolah formal dan memproduksi barang-barang bernilai seni itu.
"Kami memang tidak mengorientasikan anak-anak untuk menjual karyanya secara luas karena yang kami utamakan adalah pendidikan mereka dulu. Tapi yang jelas, mereka telah memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk masa depan," kata dia.
Didampingi Manajer Komunikasi LMI, Nurul Rahmawati, Wahyu mengemukakan pihaknya terus berupaya melakukan pemberdayaan terhadap orang-orang tidak mampu, termasuk memberikan beasiswa untuk anak-anak putus sekolah.
"Saat ini, ada sekitar 500 anak di Surabaya yang mendapatkan beasiswa dari LMI. Selain itu, kami juga melakukan pembinaan kepada anak-anak di luar pendidikan formal, seperti menjahit, bahasa Inggris dan lainnya," ujar dia.

5. Media Massa sebagai Pelaku Pendidikan Informal Terbesar

Pemerintah berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negara. Selama ini peran tersebut diurusi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag) melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Di sisi lain, pada pendidikan jalur informal pemeran utamanya adalah masyarakat sendiri dan yang paling besar pelakunya adalah media massa.
" Ada pendidikan yang tidak diregulasi. Dilakukan oleh keluarga ataupun oleh masyarakat secara mandiri tanpa ada dukungan dana dari APBN. Pendidikan informal yang terbesar melakukan adalah justru media massa," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara silaturahmi Mendiknas dengan para pimpinan media massa di Hotel Sultan, Jakarta.
Hadir dalam acara Editor In Chief Harian Indo Pos Imam Syafi'i, Direktur Utama ANTARA Ahmad Muklis Yusuf, Director of Product Radio Smartfm Budi Setiawan, President Director TVRI I.G.N. Arsana, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, Chief Editor The Jakarta Post Endy M. Bayuni, dan Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV Makroen Sanjaya. Turut hadir mendampingi Mendiknas para pejabat eselon I Depdiknas.
Mendiknas menyampaikan, paradigma pendidikan untuk semua (Education for All) adalah membangun manusia seutuhnya bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Pendidikan ini, kata Mendiknas, bersifat inklusif dan dilakukan sepanjang hayat. Untuk itu pemerintah harus memberikan pelayanan yang memungkinkan setiap warga negara untuk setiap saat menjadi pembelajar.
Meski demikian, lanjut Mendiknas, tidak mungkin kalau tugas pelayanan pendidikan seluruhnya diserahkan kepada Depdiknas maupun Depag. " Ada porsi besar yang diambil masyarakat sendiri. Di sinilah betapa besarnya peran media massa," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas memaparkan hasil-hasil pembangunan pendidikan nasional periode 2005-2007. Mendiknas menyampaikan kerangka hukum reformasi pendidikan di Indonesia dimulai sejak amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003.
Setelah itu disusul UU Guru dan Dosen Tahun 2005 dan UU Perpustakaan Tahun 2007 dan sedang dalam proses adalah UU Badan Hukum Pendidikan. " Ini perlu saya paparkan untuk menjadi jawaban saya terhadap keluhan masyarakat tentang ganti menteri maka ganti kebijakan. Ini tidak akan bisa terjadi kalau sudah dipatri dalam undang-undang," kata Mendiknas.
Mendiknas mengajak kepada semua media massa untuk bekerjasama memajukan pendidikan dan upaya yang dilakukan bersama tidak saling meniadakan. " Jangan sampai yang dilakukan oleh media itu kemudian dianulir oleh Mendiknas atau yang dilakukan oleh Mendiknas itu dianulir oleh media massa di dalam kehidupan sehari-hari," kata Mendiknas.