tag:blogger.com,1999:blog-32498093577688697502024-03-05T00:16:15.977-08:00Amalina Imadarty's BlogAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.comBlogger39125tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-83729707116632697982009-05-27T04:55:00.000-07:002009-05-27T05:05:49.034-07:00Menjadi Guru Profesional,menciptakan Pembelajaran yang kreatif dan menyenangkanJudul buku : Menjadi Guru Profesional,Menciptakan Pembelajaran yang Kreatif dan <br /> Menyenangkan<br />Penulis : Dr.E.Mulyasa, M.Pd<br />Penerbit : PT. Remaja Rosdakarya <br /><br /><br />Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan professional guru terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik efektif dan efisien. Guru adalah perencana, pelaksana, dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulumyang terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreativitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena di sini guru diberi kebebasan untuk memilih dan dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah. <br />Pengembangan kualitas guru merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai factor yang saling terkait. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak hanya menuntut ketrampilan teknis, dari para ahli terhadap pengembangan kompetensi guru, tetapi harus pula dipahami berbagai factor yang mempengaruhinya. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru dalam mengembangkan berbagai aspek pendidikan dan pembelajaran. Hal tersebut lebih terfokus lagi dalam implementasi kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, dengan manajemen berbasis sekolah, dalam konteks desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara benar dan transparan, dapat meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. <br />Guru dituntut untuk menjadi ahli penyebar informasi yang baik, karena tugas utamanya antara lain menyampaikan informasi kepada peserta didik. Guru juga berperan sebagai perencana, pelaksana, dan penilai pembelajaran. Apabila pembelajaran diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadi para peserta didik dengan penyediaan ilmu yang tepat dan latihan ketrampilan yang mereka perlukan, haruslah ada ketergantungan tehadap materi standar yang efektif dan terorganisasi. Untuk itu diperlukan peran baru dari para guru, meteka dituntut untuk memiliki ketrampilan-ketrampilan teknis yang memungkinkan untuk mengorganisasikan materi standar serta mengelolanya dalam pembelajaran dan pembentukan komptensi peserta didik. <br />Dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, guru terutama berperan dalam mengembangkan materi standar dan membentuk kompetensi peserta didik. Sehubungan dengan itu, guru harus kreatif dalam memilah dan memilih, serta mengembangkan materi standar sebagai bahan untuk membentuk komptensi peserta ndengan karakteristik individual masing-masing. Guru juga harus menyenangkan, tidak saja bagi peserta didik, tetapi juga bagi dirinya. Artinya, belajar dan pembelajaran harus menjadi makanan pokok guru sehari-hari, harus dicintai, agar dapat membentuk dan membangkitkan rasa cinta dan nafsu belajar peserta didik. Dalam kondisi dan perubahan yang bagaimanapun dahsyatnya, guru harus tetap guru, jangan terpengaruh oleh isu, dan jangan bertindak terburu-buru. <br />Tujuh Kesalahan yang Sering dilakukan Guru<br />A. Mengambil Jalan Pintas Dalam Pembelajaran<br />Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian informasi kepada peserta didik. Sesuai kemajuan dan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemapuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai keunikannya agar mampu membantu mereka dalam menghadapi kesulitan belajar. Dalam pada itu, guru dituntut memahami berbagai model pembelajaran yang efektif agar dapat membimbing peserta didik secara optimal.<br />Dalam kaitannya dengan prencanaan, guru dituntut untuk membuat persiapan mengajar yang efektif dn efisien. Namun dalam kenyataannya, dengan berbagai alasan, banyak guru yang mengambil jalan pintas dengan tidak membuat persiapan ketika mau melakukan pembelajaran, sehingga guru mengajar tanpa persiapan, di samping merugikan guru sebagai tenaga professional juga akan sangat mengganggu perkembangan peserta didik. Banyak perilaku guru yang negative dan menghambat perekembangan peserta didik yang diakubatka oleh perilaku guru yang suka mengambil jalan pintas dalam pembelajaran. <br /><br />B. Menunggu Peserta Didik Berperilaku Negatif<br /> Biasanya guru baru memberikan perhatian kepada peserta didik ketika ribut, tidak memperhatikan atau mengantuk di kelas, sehingga menunggu peserta didik berperilaku buruk. Kondisi tersebut seringkali mendapat tanggapan yang saalah dari peseta didik, mereka beranggapanus bahwa jika ingin mendapat perhatian atau diperhatikan guru, maka harus berbuat salah, berbuat gaduh, mengganggu dan melakukan tindakan indisiplin lainnya. Sering kali terjadi perkelahian pelajar, hanya karena mereka kurang mendapa perhatian, dan meluapkannya melalui perkelahiaten. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebnaykan peserta didik tidak tahu bagaimana cara yang tepat mendapat perhatian dari guru, orang tua, dan masyarakat di sekitarnya, tetapi mereka tahu cara menggangu teman dan cara membuat keributan serta perkelahian, dan ini kemudian yang mereka gunakan untuk mendapatkan perhatian. <br /> Di sisi lain, guru harus memperhatikan perilaku-perilaku peserta didik yang negative, dan mengeliminasi perilaku-perilaku tersebut agar tidak terulang kembali. Guru bisa mencontohkan berbagai perilaku peserta didik yang negative, misalnya melalui cerita atau illustrasi, dan memberikan pujian-pujian kepada mereka karena tidak melakukan perilaku negative tersebut. Sekali lagi, jangan menunggu peserta didik berperilaku negative.<br /><br />C. Menggunakan Destruktive Discipline<br />Seperti alat pendidikan lain, jika guru tidak memilki rencana tindakan yang benar, maka dapat melakukan kesalahan yang tidak perlu. Seringkali guru memberikan hukuman kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kesalahan yang dilakukannya, tidak jarang guru yang memberika hukuman melampaui batas kewajaran pendidikan, dan banyak guru yang memberikan hukuman kepada peserta didik tidak sesuai dengan jenis kesalahan. Dalam pada itu, sering kali guru memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik di luar kelas(pekerjaan rumah), namun jarang sekali guru yang mengoreksi pekerjaan peserta didik dan mengembalikannya dengan berbagai komentar, kritik, dan saran untuk kemajuan peserta didik. Yang serink dialami peserta didik adalah bahwa guru sering memberikan tugas, tetapi tidak pernah memberikan umpan balik terhadap tugas-tugas yang dikerjakan. Tindakan tersebut merupakan upaya pembelajaran dan penegakan disiplin yang destructive, yang sangat merugikan perkembangan peserta didik. Bahkan tidak jarang tindakan destructive discipline yang dilakukan oleh guru menimbulkan masalah yang sangat fatal, yang tidak saja mengancam perkembangan perserta didik, tetapi juga mengancam keselamatan guru. Untuk kepentingan tersebut, guru harus mengarahkan apa yang baik, serta menjadi contoh, sabar dan penuh pengertian. <br /><br />D. Mengabaikan Perbedaan Peserta Didik<br />Setiap peserta didik memiliki perbedaan yang unik, mereka memiliki kekuatan, kelemahan, minat, danlakang perhatian yang berbeda-beda. Latar belakanng keluarga, latar belakang social ekonomi, dan lingkungan, membuat peserta didik berbeda dalam aktivitas , kreativitas, intelegensi, dan kompetensinya. Guru seharusnya dapat menidentifikasi perbedaan individual peserta didik, dan menetapkan karakteristik umum yang menjadi cirri kelasnya, dari cirri-ciri individual yang menjadi karakteristik umumlah seharusnya guru memulai pembelajaran. Dalam hal ini, guru juuga harus memahami ciri-ciri peserta didik yang harus dikembangkan dan yang harus diarahkan kembali. <br />Sehubungan dengan uraian di atas, aspek-aspek peserta didik yang perlu dipahami guru anatara lain : kemampuan, potensi, minat, kebiasil belajsaan, hobi, sikap, kepribadian, hasil belajar, catatan kesehatan, latar belakang keluarga, dan kegiatannya di sekolah. Aspek-aspek tesebut dapat dipelajari dari laporan dan catatan sekolah, informasi dari peserta didik lain (teman dekatnya), observasi langsung dalam situasi kelas, serta informasi dari peserta didik itu sendiri, berdasarkan wawancara, percakapan dan autobiografi<br /><br />E. Merasa Paling Pandai<br />Kesalahan lain yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran adalah merasa paling pandai di kelasnya. Kesalahan didikini berangkat dari kondisi bahwa pada umumnya para peserta didik di sekolah usianya relative lebih muda dari gurunya, sehingga guru merasa bahwa peserta didik tersebut lebih bodoh disbanding dirinya, peserta didik dipandang sebagai gelas yang perlu diisi air ke dalamnya. Perasaan ini sangat menyesatkan, karena dalam kondisi seperti sekarang ini dapat belajar melaui internet mdan berbagai media massa, yang mungkin guru belum menikmatinya. <br /><br />F. Tidak Adil (Diskriminatif)<br />Sebagai guru, tentu saja harus mampu menghindarkan hal-hal yang dapat merugikan perkembangan peserta didik. Tidak ada yang melarang seorang guru “mencintai” peserta didiknya, tetapi bagaimana menempatkan cintanya secara proporsional, dan jangan mencampuradukan antara urusan pribadi dengan urusan professional. Usaha yang dapat dilakukan uuntuk menghindarinya antara lain denghan cara menyimpan “perasaan” sampdicintaiai peserta didik yang dicintai menyelesaikan program pendidikannya, tentu saja harus ikhlas dan jangan diambil orang. <br /><br />G. Memaksa Hak Peserta Didik <br />Memaksa hak peserta didik merupakan kesalahan yang sering dilakukan guru, sebagai akibat dari kebiasaan guru berbisnis dalam pembelajaran, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Guru boleh saja memiliki pekerjaan sampingan, memperoleh penghasilan tambahan, itu sudah menjadi haknya, tetapi tindakan memaksa bahkan mewajibkan peserta didik untuk membeli buku tertentu sangat fatal serta kurang bisa ditiru. <br /><br />Peran Guru Dalam Pembelajaran. <br />A. Guru sebagai Pendidik<br />Guru dalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. <br />Guru juga harus mampu mengambil keputusan secara mandiri, terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentuan ru komptetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan lingkungan. Guru harus mampu bertindak dan mengambil keputusan secara cepat, tepat waktu, dan tepat sasaran, terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan masalah pembejaran dan peserta didik, tidak menunggu perintah atasan atau kepala sekolah. <br /><br />B. Guru sebagai Pengajar<br />Sejak adanya kehidupan sejak itu pula guru telah melaksanakan pembelajaran, dan memang hal tersebut merupakan tugas dan tanggung jawabnya yamg pertama dan utama. Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang dipelajari. Berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi yang begitu pesat perkembangannya belunm mamapu menggantikan peran dan fungsi guru, hanya sedikit menggeser atau mengubah fungsinya, itupun terjadi di kota-kota besar saja, ketika para peserta didik memiliki berbagai sumber belajar di rumahnya.<br /><br />C. Guru sebagai Pembimbing <br />Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan(journey),yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannyaberanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral, dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemapuan peserta didik. Semua itu dilakukan berdasarka kerja sama yang baik dengan peserta didik,tetapi guru memberikan pengaruh utama dalam setiap aspek perjalanan.Sebagai pembimbing, guru memiliki berbagai hak dan tanggung jawab dalam setiap perjalanan yang di rencanakan dan dilaksanakannya.<br /><br />D. Guru sebagai Pelatih<br />Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan dan ketrampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tampa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak mahir dalam berbagai ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru harus berperan sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukkan kompetensi dasar, sesuai dengan potensi masing-masing. <br /><br />E. Guru sebagai Penasehat<br />Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Banyak guru cendrung menganggap bahwa konseling terlalu banyak membicarakan klien, seakan-akan berusaha mengatur kehidupan orang, dan oleh karenanya mereka tidak senang melaksanakan fungsi ini. Padahal menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasihat dan menjadi orang kepercayaan, kegiatan pembelajaranpun meletakkannya pada posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan, dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Peserta didik akan menemukan sendiri dan secara mengherankan, bahkan mungkin menyalahkan apa yang ditemukannya, serta akan mengadu kepada guru sebagai orang kepercayaannya. Makin efektif guru menangani setiap permasalahan makin banyak kemungkinan peserta didik berpaling kepadanya untuk nasihat dan kepercayaann diri.<br /><br /><br />F. Guru sebagai Pembaharu (Inovator)<br />Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus.dipahami, dicerna diwujudkan dalam pendidikan. Guru harus menjembatani jurang ini bagi peserta didik , jika tidak maka hal ini dapat mengambil bagian daladm proses belajar yang berakibat tidak menggunakan potensi yang dimiliinya. Tugas guru adalah memahami bagaimana keadaan jurang pemisah ini, dan bagimana menjembatinnya secara efektif. Jadi yang menjadi dasar adalah pikiran-pikiran tersebut, dan cara yang dipergunakan untuk mengekspresikan dibentuk oleh corak waktu ketika cara-cara tadi dipergunakan. Bahasa memang merupakan alat untuk berpikir, melalui pengamatan yang dilakukan dan menyusun kata-kata serta menyimpan dalam otak, terjadilah pemahaman sebagai hasil belajar. Hal tersebut selalu mengalami perubahan dalam setiap generasi, dan perubahan yang dilakukan melalui pendidikan akan memberikan hasil yang positif. <br /><br />G. Guru sebagai Model dan Teladan<br /> Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang menganggap dia sebagai guru. Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu. Pertanyaan yang timbul adalah apakah guru harus menjadi teladan baik di dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam seluruh kehidupannya? Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus bisa menjadi teladan di kedua posisi itu, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadikan guru tidak memiliki kebebasan sama sekali. Dalam batas-batas tertentu, sebagai manusia biasa tentu saja guru memiliki berbagai kelemahan, kekurangan. <br /><br />H. Guru sebagai Pribadi <br />Ujian berat bagi guru dalam hal hal kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Guru yang mudah marah akan membuat peserta didik takut dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena ketakutan menimbulkan kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini membelokkan konsentrasi peserta didik. Sebagai pribadin yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu juga memiliki kemapuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemapuannya, antara lain melalui kegiatan olahraga, keagamaan dan kepemudaan, keluwesan bergaul harus dimilki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat. <br /><br />I. Guru sebagai Peneliti <br />Pembelajaran merupakan seni yang dalam pelaksanannya memerlukan penyesuian-penyesuian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Menyadari akan kekurangannya, guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Bagaimana menemukan apa yang tidak diketahuinya? Sebagaim orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian. <br /><br />J. Guru sebagai Pendorong Kreativitas . <br />Guru adalah seorang creator dan motivator, yang berada di pusat proses pendidikan. Akibat dari fungsi ini, guru senatiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilainya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. <br /><br /><br /><br />K. Guru sebagai Pembagkit Pandangan<br />Guru tahu bahwa ia tidak dapat membangkitkan pandangaan tentang kebesaran kepada peserta didik jika ia sendiri tidak memikinya. Oleh karena itu , para guru perlu dibekali dengan ajaran tentang hakekat manusia dan setelah mengenalnya akan mengenal pula kebesaran Allah yang menciptakannya. <br /><br />L. Guru sebagai Pekerja Rutin<br />Guru bekerja dengan ketrampilan, dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan sering kali memberatubahkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannyaran. Di samping itu, jika kegiatan rutin tersebut tidak disukai, bisa merusak dan mengubah sikap umumnya terhadap pembelajaran. Sebagai contoh, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus membuat persiapan tertulis, jika guru membenci atau tidak menyenangi tugas ini maka akan merusak keetifan pembellajaran. <br /><br />M. Guru sebagai Pemindah Kemah<br />Hidup ini selalu berubah, dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-mindahkan, dan membantu peserta didik meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan, dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhi dan meninggalkannya unruk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. Guru dan peserta didik bekerja sama mempelajari cara baru, dan meninggalkan kepribadian yang telah membantunya mencapai tujuan dan menggantinya sesuai dengan tuntutan masa kini. Proses ini menjadi suatu transaksi bagi guru dan peserta didik dalam pembelajaran. <br /><br /><br /><br /><br />N. Guru sebagai Pembawa Cerita<br />Salah satiu karakteristtik pembawa cerita yang baik adalah mengetahui bagaimana mengguanakan pengalaman dan gagasan para pendengarnya, sehingga mampu menggunakan kejadian di masa lalu untuk menginterpretasikan kejadian sekarang dan yang akan datang . Jadi guru diharapkan mampu membawa peserta didik mengikuti jalannya cerita dengan berusaha membuat peserta didik memiliki pandangan yang rasional terhadap sesuatu. <br /><br />O. Guru Sebagai Aktor <br />Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton.Penampilan yang bagus dari seorang aktor akan mengakibatkan para penonton tertawa,mengikuti dengan sungguh-singguh,dan bisa pula menangis terbawa oleh penampilan sang aktor.Untuk bisa berperan sesuai dengan tuntutan naskah , dia harus menganalisis dan melihat kemampuannya sendiri,persiapannya,memperbaiki kelemahan,menyempurnakan aspek aspek baru dari setiap penampilan,mempergunakan pakaian,tat arias sebagaimana yang di minta,dan kondisinya sendiri utuk menghadapi ketegangan emosinya dari malam ke malam serta mekanisme fisik yang harus di tampilkan. <br /><br />P. Guru Sebagai Emansipator<br />Karena benda yang di garap bukan benda mati sebagaimana yang digarap oleh pemahat,maka guru berkawajiban mengembangkan potensi peserta didik sedemikian rupa sehingga menjadi pribadi yang kreatif.Untuk itu dia memberikan kesempatan kepada peserts didik untuk mengajukan pertanyaan,memberikan balikan,memberikan kritik dan sebagainya,sehingga mereka merasa memperoleh kebebasan yang wajar.<br /><br /><br /><br />Q. Guru Sebagai Evaluator<br />Selain menilai hasil belajar peserta didik ,guru hrus pula menilai dirinya sendiri ,baik sebaga perencana,pelaksana,maupun penilai program pembelajaran.Oleh karena itu,dia harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang penilaian program sebagaimana memahami penilaian hasil belajar .Sebagai perancang dan pelaksana program, dia memerlukan balikan tentang efektifitas programnya agar bisa menentukan apakah program yang direncanakan dapat dilaksanakan sebaik-baiknya .Perlu diingat bahwa penilaian bukan merupakan tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan.<br /><br />R. Guru Sebagai Pengawet<br />Sebagai pengawet ,guru harus berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya,dalam arti guru harus berusaha menguasai materi standar yang akan di sajikan kepada peserta didik .Oleh karena itu , setiap guru dibekali pengetahuan sesuai dangan bidang yang dipilihnya.<br /><br />S. Guru Sebagai Kulminator<br />Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi) . Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi ,suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya.Disini peran sebagai kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator. <br /><br />Menciptakan Pembelajaran yang Kreatif dan Menyenangkan <br />A. Menggunakan Ketrampilan Bertanya<br />Ketrampilan bertanya sangat perlu dikuasai guru untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenagkan, karena hampir dalam setiap tahap pembelajaran guru dituntut untuk mengajukan pertanyaan, dan kualitas pertanyaan yang diajukan guru akan menentukan kualitas jawaban peserta didik. <br /><br /><br />B. Memberi Penguatan <br />Penguatan merupakan respon terhadap suatu perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali perilaku tersebut.Penguatan dapat dilakukan secara verbal dan nonverbal, dengan prinsip kehangatan, keantusiasan, dan menghindari penggunaan respon yang negative. <br /><br />C. Mengadakan Variasi<br />Mengadakan variasi merupakan ketrampilan yang harus dikuasai guru dalam pembelajaran, untuk mengaytasi kebosanan, peserta didik, agar selalu antusias, tekun, dan penuh partisipasi. Variasi dalam pembelajaran adalah perubahan dalam proses kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik, serta mengurangi kejenuhan dan kebosanan. <br />Variasi dalam pembelajaran bertujuan<br />1. Meningkatkan perhatian peserta didik terhadap materi standar yang relevan<br />2. Memberikan kesempatan bagi perkembangan bakat peserta didik terhadap berbagai hal baru dalam pembelajaran.<br />3. Memupuk perilaku positif peserta didik terhadap pembelajaran. <br />4. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuannya. <br /><br />D. Menjelaskan <br />Menjelaskan adalah mendeskripsikan secara lisan tentang sesuatu benda, keadaan, fakta, dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang berlaku. Menjelaskan merupakan suatu aspek penting yang harus dimiliki guru, mengingat sebagian besar pembelajaran menuntut guru untuk memberikan penjelasan. Oleh sebab itu, ketrampilan menjelaskan perlu ditingkatkan agar dapat mencapai hasil yang optimal. <br /><br />E. Membuka dan Menutup Pelajaran<br />Membuka dan mentup pelajaran merupakan dua kegiatan rutin yang dilakukan guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran. Agar kegiatan tersebut memberikan sumbangan yang berarti terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, perlu dilakukan secara professional. <br /><br />F. Membimbing Diskusi Kelompok Kecil<br />Diskusi kelompok adalah adalah suatu proses yang teratur dan melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka untuk mengambil kesimpulan dan memecahkan masalah. <br /><br />G. Mengelola Kelas<br />Pengelolaan kelas merupakan ketrampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. <br /><br />H. Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan<br />Pengajaran kelompok kecil dan perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik, dan menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik maupun antara peserta didik dengan peserta didik. <br /><br />Pendekatan dan Metode Pembelajaran <br />A. Mengembangkan Pendekatan Pembelajaran.<br />1) Pendekatan Kompetensi<br />Kompetensi menunjukkan kepada kemampuan melaksanakn sesuatu yang diperoleh melalui pembelajaran dan latihan, mulai dari menggosok gigi sampai dengan melakukan operasi jantung. Dalam hubungannya dengan proses pembelajaran, kompetensi menunjukkan kepada perbuatan (performance) yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. <br />2) Pendekatan Ketrampilan Proses<br />Pendekatan ketrampilan proses merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proases belajar, aktivitas, dan kreattivitas peserta didik dalam memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian tersebut, termasuk diantaranya keterlibatan fisik, mental, dan social peserta didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan. <br />3) Pendekatan Lingkungan<br />Pendekatan Lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik melaui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiata pembelajaran akan menarik perhatian peserta didik jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, sehingga apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungannya. <br />4) Pendekatan Kontekstual<br />Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang dapat digunakan untuk menefekifkan dan menyukseskan implementasi Kurikulum 2004. <br />5) Pendekatan Tematik<br />Pendekatan Tematik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam implementasi Kurikulum 2004, terutama di Taman Kanak-Kanak dan raudatul Athfal serta pada kelas rendah di Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah. Pendekatan tematik merupakan pendekatan pembelajaran untuk mengadakan hubungan yang erat dan serasi antara berbagai aspek yang mempengaruhi peserta didik dalam proses belajar. Oleh karena itu, pendekatan tematik sering juga disebut pendekatan terpadu (integrated).<br /><br />Memilih Metode Pembelajaran yang Efektif<br />1) Metode Demonstrasi.<br />Melalui metode demonsrasi guru memperlihatkan suatu proses, peristiwa, atau cara kerja suatu alat kepada peserta didik. Demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang sekedar memberikan pengetahuan yang sudah begitu saja oleh peserta didik, sampai pada cara agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah. <br />2) Metode Inquiri <br />Metode inquiri merupakan metode penyelidikan yang melibatkan proses mental dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :<br />a) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena alam<br />b) Merumuskan masalah-masalah yang ditemukan <br />c) Merumuska hipotesis<br />d) Merancang dan merumuskan eksperimen<br />e) Mengumpulkan dan menganalisis data<br />f) Menarik kesimpulan mengembangkan sikap ilmiah.<br /><br />3) Metode Penemuan<br />Penemuan (discovery) merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan metode penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar. <br /><br />4) Metode Eksperimen<br />Metode eksperimen merupakan suatu bentuk pembelajaran yang melibatkan peserta didik bekerja dengan benda-benda, bahan-bahan, dan peralatan laboratorium, baik secara perorangan maupun kelompok. Eksperimen merupakan situasi pemecahan masalah yang di dalamnya berlangsung pengujian suatu hipotesis, dan terdapat variable-variabel yang dikontrol secara ketat. <br /><br />5) Metode Pemecahan Masalah <br />Pembelajaran dengan metode pemecahan masalah akan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :<br />a) Merasakan adanya masalah-masalah yang potensial <br />b) Merumuskan masalah<br />c) Mencari jalan keluar<br />d) Melaksanakan pemecahan masalah <br />e) Menilai apakah pemecahan masalah yang dilakukan sudah tepat atau belum<br />6) Metode Karyawisata<br />Karyawisata merupakan suatu perjalanan atau pesiar yang dilakukan oleh peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar, terutama pengalaman langsung dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah. Meskipun karyawisata memiliki banyak hal yang bersifat nonakademis, tujuan umum pendidikan dapat segera dicapai, terutama berkaitan dengan pengembangan wawasan pengalaman tentang dunia luar. <br /><br />7) Metode Perolehan Konsep<br />Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan, konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk memasukkan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Oleh karena itu, untuk memechkann masalah, seorang peserta didik harus mematuhi aturan-aturan antara yang selaras dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolenya. <br /><br />8) Metode Penugasan <br />Metode Penugasan merupakan cara penyajian bahan pelajaran. Pada metode ini guru memberikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan peserta didik, baik secara individual maupun secara kelompok. <br /><br />9) Metode Ceramah<br />Ceramah merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pembelajaran. Pada metode ini, guru menyajikan bahan melalui penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap peserta didik. <br /><br />10) Metode Tanya Jawab<br />Metode Tanya jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan. Pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa juga dari peserta didik, demikian halnya jawaban yang muncul bisa dari guru maupun dari peserta didik. <br /><br />11) Metode Diskusi<br />Diskusi dapat diartikan sebagai percakapan responsive yang djalin oleh pertanyaan-pertanyaan problematic yang diarahkan untuk memperoleh pemecahan masalah. <br /><br />Membimbing Keberhasilan peserta Didik <br />A. Membimbing Peserta Didik yang Lamban<br />Peserta didik yang lamban belajar akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran, menganilisa apa yang dipelajari dan mengalami kesulitan dalam memahami isi pelajaran, serta sulit membentuk kompetensi, dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. <br />1. Memahami Latar Belakang Peserta Didik Lambat Belajar<br />a) Studi Dokumentasi, mempelajari catatan pribadi melalui buku catatan pribadi, dokumen perkembangan pribadi, catatan kesehatan. <br />b) Mengumpulkan data baru sebagai pelengkap. <br />2. Usaha-usaha Bimbingan <br />a) Pemberian informasi tentang cara-cara belajar yang efektif, baik cara belajar di sekolah, maupun di rumah. <br />b) Bantuan penempaan, yakni menempatkan peserta didik dalam kelompok-kelompoktan kegiatan yang sesuai.<br />c) Mengadakan pertemuan dengan orang tua untuk melakukan konsultasi.<br /><br />B. Membimbing Peserta Didik yang Cerdas<br />Peserta didik yang tergolong cerdas adalah mereka yang memiliki IQ di atas normal. Sistem pendidikan di Indonesia telah menyentuh anak-anak luar biasa melalui sekolah-sekolah luar biasa atau sekolah khusus. <br />• Ciri-ciri anak ltuar bisa di atas normal<br />a) Belajar berjalan dan bicara lebih awal dan cepat menguasai kosa kata dalam jumlah yang banyak. <br />b) Pertumbuhan jasmani lebih baik, otot-otot kuat, motoriknya gesit, lincah, ebergik.<br />c) Cepat dalam menerima, mengolah, memahami, dan menguasai pembelajaran<br />d) Cepat mengerjakan tugas dengan hasil baik. <br />e) Cepat dan tepat dalam bertindak. <br />• Prinsip Dasar Membimbing Peserta diodik yang Cerdas<br />a) Perlu diupayakan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar memperoleh perkembangan yang optimal, sehingga dapat dicapai suatu kebahagiaan. <br />b) Bimbingan yang diberikan harus sesuai dengan cirri-ciri khusus serta kebutuhan peserta didik yang cepat belajar.<br />c) Setiap sekolah harus diatur sedemukian rupa, sehingga tercipata suasana yang aman dan nyaman, dan memungkinkan peserta didik cepat belajar mengembagkan seluruh aspek pribadinya. <br />• Reaksi Negatif <br />Jika peserta didik cerdas yang secarawajar juga membutuhkan perhatian, tetapi tidak diperhatikan oleh pendidik, maka kan timbul beberapa reksi sbb:<br />a) Melarikan diri, pendiam, dan bersifat introvert.<br />b) Mencari perhatian<br />c) Berpura-pura bodoh.<br />• Bimbingan Bagi Peserta Didik cepat Belajar<br />Identifikasi beberapa bentuk layanan yang dapat diberikan guru kepada peserta didik yang cepat belajar sbb :<br />a) Usaha Pencepatan (akselerasi)<br />b) Menyediakan sekolah khusus yang menampung anak-anak cerdas atau berkualitas tinggi, sehingga mereka akan mendapatkan keempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuannya. <br />c) Jika terpaksa anak harus mengikuti sekolah yang terintegrasi dengan anak-anaka normal, maka kepadanya perlu diberi kesempatan untuk memperdalam, dan memprerkaya pengetahuannya.<br /><br />C. Individualisasi Pembelajaran <br /> Individualisasi Pembelajaran dimaksudkan sebagai bentuk pembelajaran yang dapat melayani perbedaan peserta didik, dan sesuai dengan kemampuan, tempo belajar, minat, dan nafsu belajar masing-masing. Berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam rangka individualisasi pembelajaran antara lain mencakup pembelajaran dengan modul, pembelajaran berprogama, dan pembelajaran melalui elecktronik. <br /><br />Penelitian Tindakan Kelas<br />A. Cara melakukan penelitian<br />1) Memulai suatu penelitian <br /> Hal penting yang harus dipahami dalam memulai suatu penelitian adalah memilih topic penelitian yang masuk akal dan bisa menimbulkan motifasi peneliti. Topic yang dipilih dengan kisaran yang tepat, tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar, tetapi sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber-sumber yang tersedia. Hal lain yang tak kala pentingnya adalah memahami semua peraturan tertulis dan tidak tertulis yang sesuai dengan penelitian.<br /> Kita harus memiliki suatu pemahaman tentang bagaimana memfokuskan pemikiran terhadap suatu yang lebih bisa dicapai. Kenalilah pertanyaan penelitian yang mungkin timbul atau pikirkan ipotesis yang ada dalam bayangan kita. Selain itu, kita harus menentukan secara jelas konsep, permasalahan, dan konteks dari proyek penelitian.<br /><br /><br /><br />2) Memilih metode<br />a) Adanya dua kelompok penelitian atau pendekatan umum dalam melakukan penelitian ( yaitu kuantitatif atau kualitatif). <br />b) Adanya empat metode dalam perancangan proyek penelitian ( yaitu penelitian tindakan, studi kasus, eksperimen, survey )<br />c) Adanya empat teknik dalam pengumpulan data (dokumen, wawancara, pengamatan, kuesioner). <br /><br />3) Membaca Untuk Penelitian<br />Membaca dalam proses penelitian merupakan proses selektif. Kita perlu meyadari adanya bacaan kritis yaitu : <br />a) Bacaan yang memberikan suatu hal yang di luar deskripsi yang jelas dengan memberikan opini-opini dan membuat tanggapan pribadi terhada apa yang telah tertulis. <br />b) Bacaan yang mengaitkan bacaan-bacaan berbeda satu sama lain. <br />c) Bacaan yang tidak memperlihatkan apa yang tertulis pada nilai mukanya.<br />d) Bacaan yang diusahakan bersifat eksplisit mengenai nilai dan teori yang meinformasikan dan mewarnai bacaan dan tulisan. <br />e) Bacaan yang memandang tulisan penelitian sebagai suatu bidang yang diperlombakan dimana pemahaman dan posisi alternative juga diperhitungkan. <br /><br />4) Mengatur Proyek Penelitian <br />Pengunaan waktu dalam penelitian meliputi :<br />a) Delegasi : <br />Bisakah kita mendelegasikan atau menyerahkan kepada orang lain beberapa aspek penelitian seperti pembuatan janji, melaksanakan wawancara, atau memasukkan data ke computer. <br />b) Membaca secara efektif :<br /> latihlah diri kita untuk terjun dalam pustaka dan mendapatkan berbagai alasan / pendapat di dalamnya secara cepat.<br />c) Pembagian<br />Kita mungkin perlu membagi-bagi beberapa pekerjaan penelitian ke dalam pekerjaan-pekerjaan kecil yanh bisa dilakukan kapan pun kita punya waktu luang. <br />d) Bersantai<br />Pastikan semua aktivitas waktu istirahat kita memiliki tujuan.<br /><br />5) Mengumpulkan data <br />Bagi beberapa proyek penelitian, focus p;engumpulan data seluruhnya ada pada dokumen yang membahas tentang berbagai hal. Proyek penelitian tersebut bisa berorientasi pada pustaka ataua computer, berfokus pada kebijakan, atau berorientasi pada sejarah. Kehatia-hatian merupakan suatu keahlian penting untuk dikembangkan. Hal ini sangat berlaku selama tahap pengumpulan data seperti halnya juga ketika kita sedang membaca. Ada dua aspek penting untuk memantau proses pengumpulan data yaitu membuat catatan proyek penelitian dan pelacakan (chasing Up).<br /><br />6) Analisis Data<br />Terdapat beberapa teknik pengaturan data : <br />a) Pengkodean. <br />Hal ini digunakan untuk menyerdehanakan dan menstandardisasikan data untuk keperluan analisis.<br />b) Pemberian catatan <br />yaitu penambahan materi-materi tertulis dengan catatan atau komentar.<br />c) Pelabelan. <br />Ketika kita memiliki suatu skema analisis dalam pikiran, kita bisa menjalani materi-materi seperti wawancara atau dokumen-dokumen kebijakan dan melabeli suatu bagian atau kalimat dengan kata-kata yang berarti. <br />d) Seleksi<br />Ini adalah proses kunci dalam manajemen data dengan cara memililih hal-hal yang representative, tidak biasa, tatapi berarti dan menarik. <br />e) Kesimpulan<br />Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kembali sesuatu dari keanekaragaman data mentah yang dikumpulkan. <br /><br />7) Menulis Laporan <br />Tema laporan penelitian terdiri atas permasalahan utama, konsep atau pertanyaan yang dianggap berkaitan dan menarik. Urutan dalam laporan penelitian berkaitan dengan cara menyusun argument-argumen secara bertahap dan bagimana kita memisah-misahkannya menjadi bagian-bagian yang mudah diatur oleh pembaca. <br /><br />8) Mengakhiri Penelitian<br />Mengakhiri penelitian bisa sama sulitnya dengan mengawalinya. Kita menyadari pentingnya tahap penyelesaian dari proyek penelitian yang dilakukan. <br />Alasan untuk mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan telah selesai : <br />a) Beberapa alasan yang benar-benar tak terelakkan, hal tersebut berkaitan dengan kejadian mendadak atau krisis hidup yang tidak bisa dikontrol. <br />b) Beberapa alasan yang bisa saja dihindari jika telah berencana pada awalnya , maka berikan cukup waktu dan ketatlah denganak tere diri kita. <br />c) Beberapa alasan yang terletak antara yang tak terelakkan dan terelakkan, mungkin nasib buruk. <br /><br />B. Penelitian Tindakan (Action Research)<br />Action Research adalah kegiatan penelitibean untuk mendapatkan kebenaran dan manfaat praktis dengan cara melakukan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif. <br /><br />1) Latar Belakang Action Research<br />a) Dirasakannya (oleh para peneliti dan praktisi) bahwa penelitian konvensional (formal riset) bergerak secara berjarak dengan pengalaman sehari-hari.<br />b) Temuan riset formal sering gagal dalam memecahkan masalah yang bersifat kasus dan regional / local.<br />c) Aplikasi temuan riset formal terlalu lama untuk bisa dinikmati oleh subyek. <br /><br />2) Karakteristik Action Research<br />a) Situasional, praktis, dan zsecara langsung relevan dengan situasi nyata dalam dunia kerja. <br />b) Memberikan kerangka kerja yang teratur kepada pemecahan masalah. <br />c) Fleksibel dan Adaptif<br />d) Parisipatori<br />e) Self Evaluatif <br /><br />3) Cara melakukan Penelitian Tindakan Kelas<br />Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu cara memperbaiki esdan meningkatkan profesionalisme guru, karena guru merupakan orang yang paling tahu mengenai segala sesuatu yang terjadi dalam pembelajaran. <br />a) Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tindakan Kelas<br />• Memperbaiki dan meningkatkan kondisi serta kualitas pembelajaran di kelas<br />• Meningkatkan layanan professional dalam konteks pemblajaran di kelas, khususnya layanan kepada peserta didik.<br />• Memberika kesempatan kepada guru untuk melakukan tindakan dalam pembelajaran yang direncanakan di kelas. <br /><br /><br /><br />b) Cara melakukan Penelitian Tindakan Kelas<br />• Mulailah dari hal-hal kecil yang terjadi dalam pembelajaran di kelas. <br />• Kembangkan desain penelitian tindakan secara cermat.<br />• Buatlah jadwal sesuai dengan kemapuan dan waktu yang tersedia secara realistic. <br />• Konsultasikan dan didiskusikanlah hasil penelitian tindakan dengan orang lain.<br />• Carilah dukungan informasi dari pihak lain.<br />• Ciptakanlah sistem umpan balik untuk melakukan koreksi terhadap setiap langkah yang dilakukan.<br />• Buatlah jadwal penulisan laporan penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan baik secara formal maupun informal. <br /><br />c) Menilai Hasil Penelitian Tindakan Kelas<br />• Melihat pemecahan masalah dan perbaikan yang dapat dilakukan dalam sistem pembelajaran. <br />• Membandingkan keadaan serta perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah dilakukan tindakan. <br />• Membandingkan usaha yang dilakukan dengan hasil dan perubahan yanh dapat dicapai. <br /><br />Mendongkrak Kualitas Pembelajaran<br />A. Mengembangkan Kecerdasan Emosi <br />Pembelajaran dapat ditingkatkan kualitasnya dengan mengembangkan kecerdasan emosi, karena ternyata melalui pengembangan intelegensi saja tidak mampu menghasilkan manusia yang utuh seperti yang diharapkan oleh pendidikan Nasional. <br />Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dalam pembelajaran adalah sbb: <br />a) Menyediakan lingkungan yang kondusif<br />b) Menciptakan iklim pembelajran yang demokratis<br />c) Mengembangakan sikap empati dan merasakan apan yang sedang dirasakan oleh peserta didik. <br /><br />B. Mengembangkan Kreativitas dalam Pembelajaran<br />Peserta didik akan lebih kreatif jika :<br />a) Dikembangkan rasa percaya diri pada peserta didik, dan tidak ada perasaan takut.<br />b) Diberi kesempatan untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah. <br />c) Dilibatkan dalam menentukan tujuan dan evaluasi belajar.<br />d) Diberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter. <br />Dilibatkan secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan. <br /><br />C. Mendisiplinkan Peserta Didik dengan Kasih Sayang<br />Dalam pembelajaran, mendisiplinkan peserta didik harus dilakukan dengan kasih sayang, dan harus ditujukan untuk membantu mereka menemukan diri, mengatasi, mencegah timbulnya masalah disiplin, dan berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran, sehingga mereka mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan. <br />a) Pentingnya Disiplin dalam Pembelajaran<br />Dalam menanamkan disiplin, guru bertanggung jawab mengarahkan, dan berbuat baik, menjadi contoh, sabar dan penuh pengertian. Guru harus mampu mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, terutama disiplin diri. <br />b) Upaya mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang <br />Mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang dapat dilakukan secara demokratis, yakni dari, oleh dan untuk peserta didik, sedangkan guru tut wuri handayani. <br />Reisman and Payne (1987: 239-241) mengemukakan strategi umum mendisiplinkan peserta didik sbb: <br />• Konsep Diri.<br />• Ketrampilan berkomunikasi.<br />• Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami. <br /><br />c) Peran Guru dalam Mendisiplinkan Peserta Didik<br />Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian materi pembelajaran, tetapi lebih dari itu, guru harus membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik. Oleh karena itu guru harus senantiasa mengawasi perilaku peserta didik, terutama pada jam-jam sekolah, agar tidak terjadi penyimpangan perilaku atau tindakan yanh indisiplin. Untuk kepentingan tersebut, dalam rangka mendisiplinkan peserta didik guru harus mampu menjadi pembimbing, contoh atau teladan, pengawas, dan pengendali seluruh perilaku peserta didik. <br /><br />D. Membangkitkan Nafsu Belajar<br /> Kebanyakan peserta didik kurang bernafsu untuk belajar, terutama pada mata pelajaran, dan guru yang menurut mereka sulit atau menyulitkan. Untuk kepentingan tersebut guru dituntut membangkitkan nafsu belajar peserta didik. Pembangkitan nafsu atau selera belajar inin sering disebut juga motivasi belajar. <br /> Motivasi merupakan salah satu factor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, karena peserta didik akan belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. <br /><br />E. Mendayagunakan Sumber Belajar<br />Guru dituntut tidak hanya mendayagunakan sumber-sumber belajar ayang ada di sekolah tetapi dituntut untuk mempelajari berbagai sumber belajar, seperti majalah, surat kabar, dan internet. Hal ini penting, agar apa yang dipelajari sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat, sehingga tidak terjadi kesenjangan dalam pola pikir peserta didik.<br />1) Aneka ragam Sumber Belajar<br />Dari berbagai sumber belajar yang ada dan mungkin didayagunakan dalam pembelajaran sedikitnya dapat dikelompokkan sbb:<br />a) Manusia, yaitu orang yang menyampaikan pesan pengajaran secara langsung, seperti guru, konselor, administrator. <br />b) Bahan, yaitu sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran ; baik yang diniati secara khusus seperti film pendidikan, peta, grafik, buku paket,dsb.<br />c) Lingkungan, yaitu runag dan tempat ketika sumber-sumber dapat berinteraksi dengan para peserta didik. <br />d) Alat dan peralatan, yaitu sumber belajar untuk produksi dan memainkan sumber-sumber lain. <br />e) Aktivitas, yaitu sumber belajar yang merupakan kombinasi antara suatu teknik dengan sumber lain untuk memudahkan belajar. <br /><br />2) Kegunaan Sumber Belajar<br />Dalam pemilihan suatu sumber belajar, yang pertama kali harus diperhatikan adalah kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Dengan kata lain bahwa sumber belajar tersebut dipilih dan digunakan dalam pembelajaran hanya apabila sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. <br /><br />3) Cara mendayagunakan sumber belajar<br />a) Buatlah pesiapan yang matang dalam memiih dan menggunakan setiap sumber belajar, agar menunjang efektifitas pembelajaran dan pembentukan kompetensi dasar yang diinginkan. <br />b) Pilihlah sumber belajar yanh sesuai dengan materi standar yang sedang dipelajari dan menunjang terhadap pencapaian tujuan, dan pembentukkan kompetensi<br />c) Janganlah menggunakan sumber belajar hanya sekedar selingan dan hiburan, tetapi harus memiliki tujuan yang terintegrasi dengan materi standar yang sedang dipelajari. <br /><br /><br />Uji Kompetensi Guru<br />A. Pentingnya Uji kompetensi Guru<br />1) Sebagai Alat untuk mengembangkan Standar Komampuan Profesional Guru<br />Uji Kompetensi guru dapat digunakan untuk mengembagkan standar kemamapuan professional guru. Berdasarkan hasil uji dapat diketahui kemampuan rata-rata para guru, aspek mana yang perlu ditingkatkan, dan siapa yang perlu mendapat pembinaan secara kontinu, serta siapa yang telah mencapai standar kemampuan minimal.<br /><br />2) Merupakan Alat seleksi Penerimaan Guru<br />Melalui uji kompetensi guru diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, professional, dan menyenangkan, sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya. <br /><br />3) Untuk Pengelompokan Guru<br />Berdasarkan hasil uji komptensi, guru-guru dapat dikelompokkan berdasarkan hasilnya, misalnya kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok kurang. Untuk kelompok kurang merupakan kelompok yang harus mendapat perhatian dan pembinaan agar dapat meningkatkan konsekuensinya. <br /><br />4) Sebagai bahan Acuan dalam pengembangan Kurikulum<br />Secara khusus,keberhasilan lembaga pendidikan dalam mempersiapkan calon guru ditentukan oleh berbagai komponen dalam lembaga tersebut, antara lain kurikulum. Oleh karena itu kurikulum lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon guru harus dikembangkan berdasarkan kompetensi guru. <br /><br />5) Merupakan Alat Pembinaan Guru<br />Dengan adanya syarat yang menjadi criteria calon guru, maka akan terdapat pedoman bagi para administrator dalam memilih, menyeleksi, dan menempatkan guru sesuai dengan karakteristik dan kondisi, serta jenjang sekolah. Asumsi yang mendasari criteria ini adalah bahwa setiap calon guru yang memenuhi syarat diharapkan berhasil dalam mengemkan ban tugas dan fungsinya, dan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. <br /><br />6) Mendorong Kegiatan dan Hasil Belajar<br />Uji kompetensi guru akan mendorong terciptanya kegiatan dan hasil belajar yamg optimal, karena guru yang teruji kompetensinya akan senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan kebutuhan dan pembelajaran. Sehingga mampu mengembangkan potensi seluruh peserta didiknya secara optimal. <br /><br />B. Materi Uji Kompetensi Guru<br />Materi uji kompetensi guru dijabarkan dari criteria professional. Kriteria professional jabatan guru mencakup fisik, kepribadian, keilmuan, dan ketrampilan. <br /><br />C. Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru<br />Uji kompetensi guru hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, untuk mengetahui perkembangan profesionaliisme guru. Dengan demikian hasil uji kompetensi guru tersebut dapat digunakan setiap saat, baik untuk kenaikan jabatan, penempatan, maupun pemberian penghargaan bagi para guru. <br /><br />Undang-Undang Guru<br />A. Pentingnya Undang-Undang Guru<br />Undang-undang guru penting untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan guru, mereka perlu mendapat perlindungan hukum agar dapat bekerja secara aman, kreatif, professional dan menyenagkan. Lemahnya posisi tawar guru, dan banyaknya permasalahan yang dihadapi ketika melaksanakan tugas dan fungsinya, menunjukkan bahwa guru perlu memperoleh perlindungan hokum atas hak-hak mereka selama tugas. Oleh karena itu RUU yang disusun pemerintah harus segera direalisasikan. <br />B. Undang-Undang Sisdiknas tentang Guru<br />Sebagai bahan kajian, berikut disajikan pengaturan tentang guru dalam Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No. 20 Tahun 2003). Pengaturan tersebut dituangkan dalam Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan; pasal 39 samapai dengan 44, sbb :<br /><br />Pasal 39<br />(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan tugas administrasim pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. <br />(2) Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. <br /><br />Pasal 40<br />(1) Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh<br />a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan social yang pantas dan memadai <br />b. Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja <br />c. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan dan perkembangan kualitas <br />d. Perlindungan hokum dalam melaksankan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual<br />e. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.<br /><br />Pasal 41<br />(1) Pendidik dan Tenaga Kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.<br />(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidiakan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. <br />(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br /><br />Pasal 42<br />(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk meeujudkan tujuan pendidikan nasional. <br />(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.<br />(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br /><br />Pasal 43<br />(1) Promosi dan penghargaan baik pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. <br />(2) Sertifikasi pendidik dilaksanakan oleh pendidikan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. <br />(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br /><br /><br />Pasal 44<br />(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya. <br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. <br /><br />C. Peraturan Pemerintah <br />Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1992, maupun dalam rancangan PP baru (2003) yang segera disahkan, berkaitan dengan perlindungaan hokum terhadap guru dituangkan dalam Bab XII (pasal 60 dalam PP No. 38 Tahun 1992, dan pasal 36 dalam ranvangan PP tentang tenaga kependidikan, 1993). Bab tentag perlindungan hokum dalam kedua peraturan tersebut isinya sama, hanya kalimatnya saja yang sedikit berbeda. Berikut disajikan tentang isi Bab tersebut yang diikutif dari rancangan peraturan pemerintah tentang tenaga kependidikan (2003). <br /><br />BAB XII<br />PERLINDUNGAN HUKUM<br />Pasal 36<br /><br />(1) Tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan baik di jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal berhak mendapatkan perlindungan hokum. <br />(2) Perlindunga hokum sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi : <br />a. Rasa Aman dalam melaksankan baik tugas mengajar maupun tugas lain yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas<br />b. Perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam jiwa baik karena alam maupun perbuatan manusia. <br />c. Perlindungan dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang merugikan tenaga kependidikan.<br />d. Penyelenggaraan usaha kesejahteraan social tenaga n uuntyang sesuai dengan tuntunan tugasnya.<br />e. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan berbagai ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban. <br /><br />D. Guru bantu<br />Guru bantu merupakan guru yang diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kekurangan guru, tetapi bukan pegawai negeri. Sebagaiman dikemukakan dalam keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 007/ U/ 2003, bahwa guru bantu adalah guru bukan Pegawai Negeri (pasal 1, ayat (1), berkeduduakn sebagai pegawai Departemen Pendidikan Nasional yang ditugaskan secara penuh pada sekolah (pasal 2). <br /><br />Kehadiran Undang-Undang Guru merupakan solusi yang harus segera direalisasikan, bahkan dalam pelaksanaannya perlu adanya suatu lembaga yang khusus melaksanakan Undang-Undang tersebut.<br /><br /><span style="font-weight:bold;"><span style="font-weight:bold;"></span></span>Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-77839672980430511532009-05-18T09:24:00.000-07:002009-05-18T09:32:05.695-07:00Pendidikan Dasar,<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Sekolah Gratis Cuma pada Biaya Operasional</span><br /><br />DEPOK, SENIN — Meskipun dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah dinaikkan 50 persen, tetapi kebijakan sekolah gratis tergantung komitmen kabupaten/kota. Kalau pun ada sekolah/pendidikan dasar gratis, yang digratiskan itu biaya operasional, sedangkan biaya di luar itu tetap jadi beban orangtua. Sejauh ini, Departemen Pendidikan Nasional RI tidak punya data daerah-daerah yang sudah melaksanakan sekolah gratis.<br /><br />Demikian terungkap dalam Rembuk Nasional Pendidikan, sebagaimana dipaparkan Mendiknas Bambang Sudibyo di hadapan sekitar 750 peserta dan jumpa pers yang digelar Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto, yang menghadirkan antara lain Kepala Diknas Kabupaten Gowa, Sulsel, Idris Faisal Kadir, dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan Ade Karyana, Senin (23/2) di Depok.<br /><br />Bambang Sudibyo menegaskan, dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS sejak Januari 2009, semua sekolah dasar (SD) dan siswa SMP negeri di Indonesia harus membebaskan siswanya dari biaya operasional pendidikan sekolah, kecuali RSBI dan SBI. "Porsi pendidikan gratis hendaknya diatur oleh masing kabupaten/kota sesuai dengan kemampuan fiskal masing-masing. Artinya, gratis antarprovinsi dan kabupaten/kota tidak sama karena disesuaikan dengan kemampuan fiskal masing-masing," ujarnya.<br /><br />Secara terpisah, Suyanto mengatakan, mulai tahun 2009 pemerintah melakukan perubahan tujuan, pendekatan, dan orientasi dari program BOS. Program BOS ke depan bukan hanya berperan untuk mempertahankan APK, tetapi harus juga berkontribusi besar untuk peningkatan mutu pendidikan dasar. Selain itu, dengan kenaikan biaya satuan BOS yang signifikan, program ini akan menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan dasar.<br /><br />"Peningkatan biaya satuan BOS tahun 2009 yang cukup signifikan harus diikuti oleh peningkatan komitmen pemerintah daerah serta peran serta masyarakat dalam pengawasan program dan pendanaan," kata Suyanto.<br /><br />Dalam Buku Panduan BOS disebutkan, tahun 2009 dana BOS tunai untuk SD/SDLB di kota sebesar Rp 400.000/siswa/tahun, sedangkan di kabupaten Rp 397.000/siswa/tahun. Untuk SMP/SMPLB/SMPT di kota Rp 575.000/siswa/tahun dan kabupaten Rp 570.000/siswa/tahun.<br /><br />Secara khusus program BOS bertujuan untuk menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Kemudian meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.<br /><br />Yang berbeda dari kebijakan nasional adalah kebijakan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan. Kepala Diknas Kabupaten Gowa Idris Faisal Kadir menyebutkan, pendidikan gratis di daerahnya tidak hanya SD dan SMP, tetapi juga SMA/SMK negeri dan swasta. "Sepeser pun sekolah tak boleh memunggut biaya," tandasnya. Lebih dari itu, lulusan SMA/SMK terbaik diberikan beasiswa hingga menyesaikan program S-1.<br /><br />Di Sumatera Selatan, mulai tahun ini SD, SMP, SMA/SMA negeri dan swasta, serta sekolah keagamaan bebas dari biaya pendidikan. Tahun 2002 pendidikan gratis dimulai dari Kabupaten Musi Banyuasin. Alex Nurdin ketika jadi Bupati di Musi Banyuasin sukses dengan pendidikan gratis dari SD sampai SMA. "Ketika sekarang ia jadi Gubernur Sumsel, kebijakan pendidikan gratis berlaku untuk seluruh kabupaten/kota," kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel, Ade Karyana.<br /><br />Ditanya wartawan sudah berapa daerah yang menerapkan pendidikan dasar gratis sebelum kebijakan tahun 2009, Dirjen Manajemen Dikdasmen Suyanto mengaku tak punya data. "Kita tidak punya daya yang spesifik," ujarnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Pemda Harus Wujudkan Pendidikan Dasar Gratis<br /></span><br />YOGYAKARTA, SABTU - Peningkatan anggaran pendidikan dasar gratis harus juga didukung pemerintah daerah. Sebab, pendidikan dasar hingga SMP bagi anak usia 7-15 tahun merupakan amanat konstitusi yang harus dipenuhi negara terhadap warganya. Hal ini dikatakan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo usai peluncuran program Toyota-Technicians Education Program (T-TEP) di SMKN 2 Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/8).<br /><br />Menurut Bambang, 50 persen anggaran pendidikan dari pemerintah pusat terpakai untuk membiayai program pendidikan dasar sembilan tahun yang meliputi perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan. "Jika dana yang besar dari pemerintah pusat itu juga didukung anggaran dari APBD di setiap daerah, pendidikan dasar gratis bisa terwujud." kata Bambang. Peningkatan anggran pendidikan nasional mencapai 20p persen dari APBN tetap diprioritaskan untuk pendidikan dasar. Anggaran pendidikan nasional pada tahun 2009 mencapai Rp 224 Triliun.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />Anggaran Pendidikan Dasar dan Kesejahteraan Guru Diprioritaskan</span><br /><br />JAKARTA, JUMAT - Dalam persoalan terpangkasnya anggaran pendidikan sebesar Rp16,75 triliun pada rancangan APBN 2009, alokasi dana untuk pendidikan dasar dan kesejahteraan guru tetap menjadi prioritas untuk tidak dikurangi. Penghematan anggaran pendidikan akan dilakukan dengan mengorbankan program-program yang dinilai tidak terlalu mendesak.<br /><br />"Besarnya anggaran pendidikan masih terus dibahas. Tapi komitmen Presiden bahwa besarnya dana pendidikan pada 2009 sebesar 20 persen dari APBN itu rasanya tetap. Program-program yang prioritasnya rendah seperti seminar-seminar atau penelitian yang tidak mendesak, misalnya, kan bisa ditunda dulu supaya program utama tetap punya anggaran yang cukup," jelas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di Jakarta, Jumat (17/8).<br /><br />Perubahan nominal anggaran pendidikan ini merupakan dampak otomastis dari menurunnya anggaran belanja negara dalam RAPBN 2009 yang awalnya disepakati panitia anggaran DPR dan pemerintah mencapai Rp1.119,2 triliun menjadi Rp 1.035,46 triliun. Akibatnya, anggaran pendidikan berubah menjadi Rp207,1 triliun atau melorot Rp16.75 triliun.<br /><br />Menurut Bambang, perubahan nominal anggaran pendidikan ini mengakibatkan perlunya penyesuaian program-program yang sudah direncanakan di unit-unit kerja Departemen Pendidikan. Program prioritas utama pemerintah seperti peningkatan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang sudah populer di masyarakat, peningkatan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi dan tunjangan fungsional, serta rehabilitasi gedung-gedung sekolah yang rusak akan tetap dilaksanakan sesuai target.<br /><br />Irwan Prayitno, Ketua Komisi X DPR, mengatakan pemerintah masih terpatok untuk memenuhi amanat konstitusi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Belum terlihat komitmen kuat pemerintah untuk meningkatkan pendidikan, terutama pemerataan dan kualitas pendidikan.<br /><br />"Seharusnya anggaran pendidikan bisa seperti rencana semula Rp 223 triliun supaya kualitas pendidikan bisa semakin ditingkatkan. Tapi pemerintah kan masih berpikir gimana bisa 20 persen dulu saja, jadi ya anggaran pendidikan pun ikut terpengaruh dengan perubahan anggaran belanja yang ditetapkan pemerintah," kata Irwan.<br /><br />Menurut Irwan, perubahan anggaran pendidikan itu belum dibahas di Komisi X. Namun, para wakil rakyat ini berkomitmen untuk mendesak pemerintah mengamankan anggaran pendidikan yang berkaitan dengan amanat konstitusi.<br /><br />"Untuk pendidikan dasar dan kesejahteraan guru, itu nggak bisa diganggu gugat. Program yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan juga harus bisa berjalan terus. Demikian juga dengan dana-dana untuk membantu pendidikan warga miskin, justru harus ditingkatkan," jelas Irwan.<br /><br />Ester Lince Napitupulu <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia<br /></span><br />JAKARTA, KAMIS - Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.<br /><br />Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.<br /><br />Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi. <br />ELN <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Kasus Penjualan Buku Oleh Sekolah, Disdikdas Bentuk Tim<br />/</span><br /><br />Jumat, 18 Juli 2008<br />Laporan Wartawan Kompas, Pingkan E Dundu<br /><br />JAKARTA, KAMIS- Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta akhirnya membentuk tim untuk memeriksa langsung sejumlah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri yang diduga menjual buku pelajaran pada tahun pelajaran 2008-2009. Tim pembinaan aparatur ini mulai diturunkan Kamis (17/7).<br /><br />"Surat perintah kerja tim ini sudah ditandatangani.Tim ini langsung turun ke lapangan dan membuat berita acara pemeriksaan," tegas Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Saefullah, Kamis.<br /><br />Seperti diberitakan, sejumlah orangtua murid mengeluhkan pihak sekolah menjual buku pelajaran di luar buku paket yang diberikan pemerintah melalui koperasi sekolah. Pihak sekolah menyediakan buku paket di perpustakaan, namun mereka menetapkan buku pelajaran lain dari penerbit lain yang akan digunakan pada tahun pelajaran ini. Di antaranya SDN Percontohan IKIP Rawamangun Jakarta dan SMPN 216 Salemba Jakarta Pusat.<br /><br />Selain kedua sekolah tadi, Komisi E membidangi kesejahteraan termasuk pendidikan DPRD DKI Jakarta juga menerima laporan SDN Ciganjur, Jakarta Selatan diduga menjual buku pelajaran yang nota bene harus gratis karena buku paket pelajaran sudah tersedia di setiap sekolah. Pengadaan buku ini sudah dilakukan sejak tahun 2006 sampai 2008.<br /><br />Mengenai sanksi, Saefullah mengatakan, pihaknya baru akan menentukan siakan ditetapkan jika sudah menerima BAP dari tim tersebut.<br /><br />"Sanksinya seperti apa tergantung dari hasil BAP. Kami menggunakan sistem praduga tak bersalah," kata Saefullah.<br /><br />Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat sekaligus anggota Komisi E DPRD DKI Ahmad Husin meminta, Dinas Dikdas harus menindak tegas dengan cara mencopot kepala sekolah yang sengaja mencari keuntungan lewat bisnis buku pelajaran tersebut."Sanksi tegas ini perlu untuk membuat jerah kepala sekolah lain yang diam-diam memanfaatkan tahun pelajaran baru," tandas Ahmad Husin.<br /><br />Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Mansyur Syaerozi mengatakan, dirinya sudah menelepon Kepala Subdinas Standarisasi dan Pengembangan Pendidikan Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Kamaluddin mengenai kasus penjualan buku pelajaran oleh sejumlah sekolah.<br /><br />Menurut Mansyur, sekolah yang memakai dan menjual buku pelajaran selain buku paket dari pemerintah secara jelas telah melanggar kebijakan Pemerintah Provinsi DKI yang mengratiskan buku pelajaran bagi siswa SD dan SMP negeri. "Sekolah-sekolah ini harus ditindak tegas karena merusak dunia pendidikan kita," kata Mansyur.<br /><br />Dikembalikan<br /><br />Mansyur mengatakan, orangtua murid yang sudah telanjur membeli buku peket pelajaran wajib di sekolah atau koperasi sekolah segera mengembalikan. "Orangtua murid harus kompak mengembalikan itu dan menarik lagi uang yang sudah dibayarkan. Jika pihak sekolah atau koperasi sekolah tidak mau laporkan saja ke Dikdas atau ke kami," tambah Mansyur.<br /><br />Saefullah juga menegaskan, orangtua murid harus berani melaporkan ke Dikdas jika ada sekolah yang mengharuskan membeli buku pelajaran wajib. Orangtua juga harus mengembalikan buku yang sudah terlanjur dibeli dan selanjutnya mengambil lagi uangnya.<br /><br />Pingkan E DunduAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-3988419181545338382009-05-18T09:11:00.000-07:002009-05-18T09:23:03.949-07:00Pendidikan Menengah,<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Siswa SMA/SMK Asli Papua Gratis Biaya Pendidikan<br /></span><br /><br />JAYAPURA, SABTU - Warga asli Papua yang duduk di bangku SMA/SMK yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu harus dibebaskan dari biaya pendidikan. Siswa juga dibebaskan dari pungutan sekolah yang direstui Komite Sekolah.<br /><br />"Untuk pendidikan dasar dari SD-SMP harus bebas untuk semua warga. Tetapi untuk pendidikan menengah, warga Papua asli harus digratiskan. Tidak boleh dipungut apapun," kata Gubernur Papua Barnabas Suebu dalam sosialisasi kepada media massa soal kebijakan pendidikan Pemerintah Provinsi Papua di Jayapura, Sabtu (28/2) malam.<br /><br />Kebijakan ini mulai berlaku pada 2 Maret nanti. Pemprov Papua sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pembebasan Biaya Pendidikan Bagi Wajib Belajar Pendidikan Dasar, dan Pengurangan Biaya Pendidikan Bagi Peserta Didik Orang Asli Papua pada Jenjang Pendidikan Menengah.<br /><br />Barnabas menjelaskan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Otonomi Khusus, warga asli Papua disebutkan yang orang tuanya berasal dari ras melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua. Atau orang yang diterima dan diakui orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.<br /><br />Siswa tidak mampu yang orang tuanya antara lain nelayan, petani, buruhkasar, atau tidak memiliki pekerjaan tetap. Selain itu juga, siswa yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil golongan I dan II, TNI/POLRI golongan I dan II, serta pegawai swasta setara PNS golongan I dan II. (ELN)<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Sekolah Pertanian Pembangunan Direvitalisasi<br /></span><br /><br />JAKARTA, KAMIS - Departemen Pendidikan Nasional memberikan bantuan rehabilitasi gedung kepada sebanyak empat Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) masing-masing menerima sebanyak Rp 240 juta. Bantuan tersebut digunakan untuk mengembangkan rintisan sekolah menengah kejuruan pertanian berstandar internasional.<br /><br />Penyelenggaraan SPP bertujuan untuk menghasilkan teknisi pertanian tingkat terampil dalam rangka mengisi kebutuhan tenaga kerja di sektor pertanian.<br /><br />Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo secara simbolis memberikan bantuan tersebut, Kamis (31/7), di Jakarta usai Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Mendiknas dan Menteri Pertanian tentang Pembinaan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Sekolah Pertanian Pembangunan.<br /><br />Sekolah yang mendapatkan bantuan yakni SPP Negeri Sembawa Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, SPP Negeri Banjarbaru Kabupaten Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan, SPP Negeri Kupang Kota Kupang Nusa Tenggara Timur, dan SPP Negeri Pelaihari Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan.<br /><br />Bambang Sudibyo mengatkan kesepakatan bersama antara Depdiknas dan Departemen Pertanian itu sebagai payung kebijakan antar departemen terkait guna meningkatkan kualitas dan memenuhi kuantitas tenaga teknis menengah yang dibutuhkan di bidang pertanian yang handal sebagai ujung tombak pembangunan. "Depdiknas dan Deptan membina bersama-sama sekolah baik di tingkat perguruan tinggi maupun sekolah menengah kejuruan sesuai kewenangan masing-masing termasuk pengembangan kurikulum," katanya.<br /><br />Menteri Pertanian Anton Apriyanto mengatakan, program pendidikan di SPP akan direvitalisasi ke arah pendidikan menengah kejuruan berbasis kompetensi di bidang pertanian guna mendukung pelaksanaan program pembangunan pertanian.<br /><br />Revitalisasi pendidikan menengah pertanian difokuskan pada lima langkah strategis yakni, pengembangan lembaga pendidikan pertanian, peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan, peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan, peningkatan kualitas sarana dan prasarana, dan peningkatan kerja sama dan memperluas pengabdian kepada masyarakat dan jaringan kemitraan.<br /><br />SPP di seluruh Indonesia berjumlah 77 sekolah. Sebanyak 3 SPP Negeri dikelola oleh Departemen Pertanian, 52 SPP dikelola oleh daerah, dan 22 SPP dikelola oleh yayasan.<br /><br />ELN <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />Pegawai Dinas Pendidikan Lampung Dikawal Polisi<br /></span><br />BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com- Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung merasa yakin bahwa dalam Ujian Nasional (UN) 2009 kali ini, tidak akan ada kebocoran kunci jawaban UN SMU. Menurut Kabid Pendidikan Menengah Kota Bandar Lampung, Akhmad MPd, pihaknya bersama Poltabes terus melakukan penjagaan selama 24 jam. "Soal dan kuncinya dikirim dari Kudus dengan pengawalan dua anggota Brimob. Sampai sini (Kantor Dinas Pendidikan), semua masih tersegel, termasuk mobil yang mengangkut soal," katanya kepada Tribun Lampung (Group of Regional Newspaper Kompas Gramedia yang sebentar lagi akan terbit di Bandar Lampung), Minggu (19/4).<br /><br />Soal UN tiba di kantor Dinas Pendidikan, Jumat (17/4) pukul 10.00 WIB dan tidak sembarangan orang diperbolehkan masuk ke ruang penyimpanan. "Hanya sepuluh orang dari Dinas yang dibolehkan masuk. Itu pun harus dikawal polisi dan satpam dari Universitas Lampung," ujar Akhmad.<br /><br />Ditanya mengenai isu bocornya soal di Bandar Lampung, Akhmad tidak percaya dengan kabar burung itu. "Kalau bocor, tidak mungkin. Semua semua soal sampai sekarang masih tersegel dengan rapi dalam sampul aslinya. Saya yakin isu itu hanya dibuat-buat untuk mengacaukan keadaan," tegasnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Mutu Pendidikan Terpengaruh<br /></span><br />Jakarta, Kompas - Pemotongan anggaran pendidikan sebesar 15 persen akan mengganggu pelayanan publik di bidang pendidikan dan berpengaruh terhadap mutu pendidikan yang sudah dicapai. Di sisi lain, tidak ada jaminan anggaran pendidikan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.<br /><br />”Pengurangan anggaran pendidikan berdampak panjang. Kualitas pendidikan kita yang sudah rendah akan bertambah parah,” ujar Ketua Harian Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia yang juga mantan rektor Universitas Negeri Jakarta, Prof Sutjipto, Kamis (28/2).<br /><br />Anggaran Departemen Pendidikan 2008 yang semula Rp 49,70 triliun turun menjadi Rp 42,24 miliar dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2008. Angka itu bahkan lebih kecil dari anggaran tahun 2007 sebesar Rp 44,1 triliun.<br /><br />Dia mengatakan, pemerintah harus sadar betapa pentingnya pendidikan. Selama ini, kesadaran akan arti penting pendidikan baru sebatas wacana, tetapi tidak demikian realitas politik yang sebenarnya.<br /><br />Sebagai gambaran, pada akhir tahun 2007, masih terdapat ruang kelas SD/MI yang rusak sebanyak 91.064. Jumlah ruang kelas SMP yang rusak sebesar 20.223.<br /><br />Perpustakaan yang katanya jantung pendidikan itu hanya dimiliki oleh 27,6 persen sekolah dasar. Ketersediaan tenaga pengajar berkualitas juga menjadi masalah. Jumlah guru berkualifikasi di bawah S-1 dan D-4 masih tinggi, yakni 1.457.000 orang atau sekitar 58,3 persen.<br /><br />Untuk akses pendidikan dasar misalnya, daerah yang angka partisipasi kasar atau APK level SMP masih kurang dari 80 persen sebanyak 111 kabupaten/kota dan tujuh provinsi hingga akhir 2007. Masih terdapat daerah yang pencapaian APK SMP di bawah 50 persen, seperti Kabupaten Te- luk Bintuni di Papua Barat dengan APK SMP sederajat baru 46,92 persen dan Kabupaten Yahukimo di Papua dengan APK 48,32 persen. Data tersebut dipresentasikan dalam acara Rembuk Nasional Departemen Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu.<br /><br />Sangat menyedihkan<br /><br />Menurut Sutjipto, pemerintah tidak bisa lagi memperlambat laju pembangunan pendidikan. Kondisi pendidikan saat ini sudah sangat menyedihkan. Anggaran negara seharusnya untuk menyejahterakan rakyat, dan salah satunya melalui penyelenggaraan pendidikan.<br /><br />Sutjipto menambahkan, pada tataran manajemen, Departemen Pendidikan Nasional masih harus membuktikan prioritas, efektivitas, dan pelaksanaan rencana strategis dari penggunaan anggaran pada tingkat praktis.<br /><br />”Kultur yang melekat itu terkadang kultur lama yang kerap dianggap tidak efisien dan efektif sehingga manajemen harus juga dibenahi,” katanya.<br /><br />Daerah juga bukan mustahil akan terkena dampak dari pemotongan anggaran tersebut. Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta Margani mengatakan, terdapat dana-dana yang bersumber dari pemerintah pusat. Dana itu antara lain bantuan operasional mutu atau BOM, blockgrant seperti untuk buku, dan pelatihan peningkatan kualitas guru.<br /><br />Di DKI Jakarta, komposisi anggaran pendidikan dari pemerintah pusat dan daerah ialah satu banding empat. ”Untuk DKI Jakarta, boleh jadi tidak terlalu berpengaruh karena porsi terbesar anggaran pendidikan bersumber dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, daerah-daerah yang mengandalkan sebagian besar anggaran dari pemerintah pusat akan lebih terpengaruh,” ujarnya. (INE)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Pendidikan Korupsi di Sekolah Menengah Masih Kurang</span><br /><br />YOGYAKARTA, RABU - Pendidikan korupsi di sekolah menengah masih dianggap kurang. Para siswa jarang diajarkan tentang seluk-beluk tindak korupsi, termasuk transparansi dalam penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah. <br /><br />Pendidikan korupsi di sekolah tidak ada. Untuk pelajaran PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) pun hanya disinggung sedikit, kata Rizky Bayu Premana, Koordinator aksi damai Kampanye Simpatik 100 Pelajar se-DIY Peserta Sekolah Antikorupsi Clean Generation, di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta, Rabu (24/9) sore.<br /><br />Aksi damai ini menjadi salah satu bagian dari sekolah anti korupsi (semacam pesantren kilat) yang diikuti oleh pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan kehiatan rohani Islam (rohis) dari 20 sekolah di DIY.<br /><br />Pelatihan yang dimotori oleh Forum Pemuda Anti Korupsi (FPAK) bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat Kemitraan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini berlangsung 23-25 September, dengan pemberian materi seputar korupsi, pembahasan kasus-kasus korupsi, dan diskusi antarpeserta.<br /><br />Ketua FPAK Suraji mengatakan pelatihan ini merupakan rangkaian awal dari program yang direncanakan akan berlangsung selama setahun penuh. " Nantinya, sebanyak seratus siswa SMA di DIY setiap bulan akan mendapat pelatihan antokorupsi ini," katanya.<br /><br />Lebih jauh, Suraji mengatakan pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan informasi secara mendalam seputar korupsi kepada siswa-siwa tersebut. "Kalau mereka sudah paham, maka mereka bisa mengetahui dan ikut mengawasi jika terdapat praktek-praktek korupsi di lingkungan sekitar mereka," katanya.<br /><br />Pasalnya, Suraji melihat sekolah sebagai lembaga pendidikan selama ini menjadi sangat rentan terhadap berbagai praktek korupsi. Hal ini tidak terlepas dari begitu banyaknya dana yang dialokasikan untuk program-program pendidikan oleh pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).<br /><br />Sasaran pelatihan pada anak SMA juga dilandasi pemikiran bahwa remaja merupakan usia paling produktif dan relatif lebih mudah dalam menyerap pengetahuan dibanding kelompok usia lain. Penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini juga dinilai sebagai investasi jangka panjang yang akan menguntungkan di masa depan.<br /><br />Manfaat pelatihan dirasakan langsung oleh peserta. Menurut Rizky dirinya memeroleh banyak pengetahuan, mulai dari posisi Indonesia yang ternyata menduduki peringkat keempat negara paling korup di dunia, hingga bagaimana cara generasi muda ikut serta memberantas korupsi. Ada tiga cara memberantas korupsi, yakni dengan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ujarnya.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-16379074519538504102009-05-18T08:58:00.000-07:002009-05-18T09:11:51.476-07:00Pendidikan Tinggi,<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Penurunan Anggaran Berdampak pada Pendidikan Tinggi</span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com — Penurunan anggaran pendidikan berdampak besar bagi perguruan tinggi yang selama ini mutu dan daya tampungnya masih sangat terbatas. Terutama berpengaruh pada kegiatan penelitian yang ikut menentukan kualitas perguruan tinggi.<br /><br />"Pengembangan ilmu dan penelitian yang umumnya dilakukan di lembaga pendidikan tinggi membutuhkan biaya besar. Jika ilmu pengetahuan tidak berkembang, budaya tidak berkembang," kata Direktur Institute of Education Reforms Utomo Dananjaya, Jumat (1/5). <br /><br />Seperti diwartakan sebelumnya, anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,636 triliun atau berkurang Rp 11,7 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,413 triliun.<br /><br />Dengan anggaran Rp 195,636 triliun, anggaran pendidikan 2010 setara dengan 20,6 persen dari total RAPBN 2010. Anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 21 persen dari APBN. Anggaran tahun depan difokuskan untuk pemulihan perekonomian nasional dan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.<br /><br />Utomo mengatakan, sepanjang pemerintah menghindari memberikan anggaran pendidikan memadai, peningkatan mutu dan akses tetap terhambat. Dia berpandangan, kondisi itu bukan karena pemerintah tidak mempunyai dana, melainkan komitmen terhadap pengembangan ilmu dan budaya sangat rendah.<br /><br />Padahal, tanpa pembangunan pendidikan yang serius, sangat sulit mengejar peradaban yang tinggi. "Paradigma penguasa dan elite politik dalam melihat pendidikan yang mesti diubah," ujarnya.<br /><br />Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistyo mengatakan, Jumat, sangat prihatin dan menyesalkan adanya kemungkinan penurunan anggaran pendidikan tersebut.<br /><br />Menteri Pendidikan Nasional berkewajiban meyakinkan agar seluruh departemen mempunyai niat sama untuk membangun sumber daya manusia melalui pendidikan. PGRI sendiri pernah mengajukan uji material terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang belum memenuhi ketentuan anggaran pendidikan 20 persen ke Mahkamah Konstitusi bersama Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia.<br /><br />"Anggaran pendidikan seharusnya tidak turun, terlebih lagi kebutuhan penggajian dan pendidikan meningkat," ujarnya.<br /><br />Dia berharap pula anggaran untuk kesejahteraan melalui pemberian tunjangan profesi dan fungsional guru tidak terganggu, apalagi kesejahteraan guru, terutama guru honorer dan tidak, tetap masih jauh dari harapan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi<br /></span><br /><br />Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.<br /><br />Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.<br /><br />Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.<br />Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.<br /><br />Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.<br /><br />Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.<br /><br />Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.<br /><br />Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.<br /><br />Sumber: Harian SIB<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />Bappenas: Peran Perguruan Tinggi Penting<br /></span><br /><br />BANDUNG, RABU - Pemerintah optimistis mampu meraih laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tahun 2009 sebesar 5,5 persen kendati berada dalam kondisi krisis global. Dua upaya utama yang dipersiapkan antara lain peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguatan ekonomi domestik.<br /><br />Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) Paskah Suzetta menjelaskan realisasi pencapaian LPE nasional sampai akhir tahun lalu berkisar 6,1 persen . Sementara tingkat pengangguran berada pada posisi 15,4 persen. <br /><br />"Tahun 2009, ditargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen agar tingkat pengangguran bisa berkisar 9,3 persen," kata Paskah di Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (7/1) .<br /><br />Untuk meraih target tersebut, pemerintah telah merencanakan stimulus penguatan yang telah disesuaikan dengan ketentuan presiden dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009. Stimulus yang akan dilakukan pemerintah, jelas Paskah, yakni penguatan ekonomi domestik dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.<br /><br />Pendidikan tinggi pun menjadi salah satu penentu. Alasannya, dalam konteks daya saing global, peranan pendidikan tinggi sangat penting dalam mendorong percepatan kemajuan bangsa.<br /><br />Pemerintah sendiri mengambil strategi pengembangan dinamika pengembangan ekonomi global yang digerakan ilmu pengetahuan. Paskah mengatakan, strategi ini menempatkan pendidikan tinggi pada posisi yang strategis. <br /><br />"Lulusan perguruan tinggi akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Inilah yang disebut knowledge driven economic growth," katanya.<br /><br />Saat ini, pembangunan pendidikan nasional masih belum memadai untuk menghadapi persaingan global. Daya saing masih lemah dibandingkan negara lain. Salah satu indikatornya terlihat dari angka paritisipasi kasar (PT) pada jenjang perguruan tinggi yang pada 2007 hanya berkisar 17,25 persen . Padahal APK Thailand mencapai 42,7 persen, Malaysia 32,5 persen, dan Filipina 28,1 persen .<br /><br />Mengacu pada World Compteitiveness Report 2007-2008, posisi Indonesia di ASEAN berada pada urutan keempat. Singapura berada di posisi pertama, Malaysia kedua, dan Thailand ketiga. <br /><br />"Dalam konteks penguasaan iptek, Indonesia tergolong pada kelompok technology adaptor countries. Dengan kata lain baru bisa mengadopsi teknologi dan belum sampai pada tahapan implementasi. Pendidikan kita masih banyak yang masih harus diperbaiki," paparnya.<br /><br />Paskah menyebutkan, pemerintah telah melakukan komitmen politik untuk memperkuat sektor pendidikan. Salah satunya dengan mengalokasikan 20 persen APBN 2009 untuk kegiatan pendidikan nasional.<br /><br />Alokasi dana pendidikan pada tahun ini berkisar Rp 207,4 triliun. Dalam konteks pendidikan tinggi, penambahan alokasi pendidikan berfokus kepada peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan, serta peningkatan mutu pendidikan dan penelitian untuk memperkuat daya saing bangsa.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Diperbanyak, Pusat Kewirausahaan di Perguruan Tinggi</span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 300 pusat kewirausahaan akan dibangun di perguruan tinggi negeri dan swasta untuk memperkuat implementasi pendidikan kewirausahaan di kalangan mahasiswa. Gencarnya pendidikan kewirausahaan di jenjang perguruan tinggi yang diprogramkan Departemen Pendidikan Nasional ini juga mendapat dukungan penuh dari Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara.<br /><br />"Pusat-pusat kewirausahaan itu dibentuk untuk memperkuat pendidikan kewirausahaan di kampus yang benar-benar implementatif. Tujuannya supaya sebelum tamat dari kampus, mahasiswa sudah punya putaran pelatihan usaha. Ketika lulus, mahasiswa punya pilihan untuk juga menjadi pencipta kerja," kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas dalam acara video conference soal kewirausahaan yang diikuti Kauffman Foundation di Amerika Serikat serta sejumlah perguruan tinggi Indonesia di Jakarta, Kamis (30/4).<br /><br />Sofyan A Djalil, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan, pengembangan entrepreneurship di Indonesia, termasuk di perguruan tinggi, harus dilakukan secara bersama-sama. Dukungan Meneg BUMN itu antara lain dengan menggandeng perusahaan-perusahaan BUMN untuk mensponsori pendidikan kewirausahaan bagi dosen terpilih di Kauffman Foundation di Amerika Serikat serta membuka jalan supaya program kewirausahaan yang dijalankan mahasiswa mendapat dukungan pendanaan dari bank-bank BUMN.<br /><br />Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, munculnya wirausahawan di Indonesia sebenarnya potensial. Sejak dua tahun lalu, Bank Mandiri gencar bersinergi dengan PTN dan PTS lewat program wirausaha muda mandiri untuk mengenalkan kewirausahaan dan kompetisi rencana bisnis yang dijalankan dengan modal dari bank ini.<br /><br />Ciputra, Pendiri Universitas Ciputra Enterpreneurship Center, menyambut baik adanya sinergi dari berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung percepatan jumlah wirausahawan di Indonesia. Tanpa membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menciptakan peluang kerja, pengangguran terdidik dari perguruan tinggi yang saat ini jumlahnya 1,1 juta orang itu bisa semakin membengkak tiap tahunnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Perguruan Tinggi Asing Tawarkan Kerja Sama<br /></span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com — Tawaran kerja sama untuk menyelenggarakan program gelar ganda atau double degree dari perguruan tinggi luar negeri kepada Indonesia semakin meningkat. Peluang kerja sama yang ditawarkan perguruan tinggi asing tersebut tentu saja tetap mengutamakan kualitas dan akreditasi yang baik dari insitusi pendidikan tinggi itu di negaranya sendiri maupun secara internasional. <br /><br />"Perguruan tinggi asing kan tidak boleh membuka cabang di Indonesia. Yang memungkinkan ya kerja sama dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan double degree. Jadi, lulusan perguruan tinggi yang ikut program double degree itu diakui di Indonesia dan juga di negara lain," kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, di Jakarta, Selasa (12/5).<br /><br />Menurut Fasli, perguruan tinggi asing yang boleh membuka cabang hanya untuk politeknik. Namun, itu pun terbatas di lima kota saja, yakni di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Medan.<br /><br />Lewat kerja sama itu, kata Fasli, perguruan tinggi Indonesia diuntungkan, terutama untuk bisa menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional. Program studi dari perguruan tinggi Indonesia akan diakui serta terjadi pertukaran dosen. Program ini banyaknya untuk master dan doktor. "Ada kerja sama yang saling menguntungkan karena perguruan tinggi Indonesia bisa menyerap hal-hal yang baik dari institusi pendidikan tinggi negara lain, terutama dari negara-negara maju," kata Fasli.<br /><br />Sejauh ini, program gelar ganda dengan perguruan tinggi asing sudah dilaksanakan dengan Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis. Selain itu, Austria juga hendak menawarkan kerja sama serupa.<br /><br />Adapun perguruan tinggi negeri Indonesia yang terlibat dalam program double degree, antara lain Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Diponegoro.<br /><br />Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, peluang kerja sama dengan perguruan tinggi asing akan memacu peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan demikian, institusi pendidikan tinggi di Indonesia akan bisa terus bersaing secara global dalam kualitas akademik dan riset-riset unggulan secara global.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-35613064275958212012009-05-18T08:46:00.000-07:002009-05-18T08:57:40.109-07:00Pendidikan Layanan Khusus,<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana</span><br /><br />Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.<br /><br />Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.<br /><br />Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.<br /><br />Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.<br /><br />Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.<br /><br />Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).<br /><br />Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.<br /><br />Guru bantu<br /><br />Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.<br /><br />"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.<br /><br />Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.<br /><br />Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.<br /><br />"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.<br /><br />Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.<br /><br />Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.<br /><br />Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.<br /><br />Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.<br /><br />Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.<br /><br />Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Kala Suara Anak Jalanan Teredam "Live Music"</span><br /><br />JAKARTA, RABU – Bagi kalangan kelas menengah ke atas, menikmati hiburan live music menjelang pergantian tahun merupakan hiburan yang menyenangkan. Namun bagi anak-anak jalanan yang biasa berprofesi sebagai pengamen, hingar bingar live music justru mengurangi pendapatan mereka hari ini.<br /><br />Ketika ditemui di kawasan Tebet Utara Dalam, enam orang anak jalanan yang biasa beroperasi di sejumlah kafe yang memang berjejer di ruas jalan Tebet Utara Dalam sedang bercengkerama di trotoar di pertigaan ujung jalan ini. Hingar bingar live music dari Comic Cafe, Burger and Grill dan sejumlah kafe lainnya memaksa mereka harus diam.<br /><br />“Nggak boleh ngamen. Dimarahin ama penjaganya,” ujar Harupin (9).<br /><br />Teman-temannya, Doni (6), Iwan (10) dan Riswan (11) sibuk mencoba terompet tahun baru yang baru saja mereka peroleh dari penjual terompet di tempat itu dengan cuma-cuma.<br /><br />Sementara itu, teman lainnya Oki (11) dan Doni (10) menyusul kemudian. Doni yang berumur 10 tahun mengaku sering mengamen di daerah ini dengan intensitas tak tentu. Sekali-kali bisa saja pindah ke daerah lain atau justru di kereta rel listrik (KRL) ekonomi. Seharinya, sekitar Rp 10.000-20.000 bisa mereka kantongi. Jika ngamen bertiga, tentu saja uangnya harus dibagi tiga.<br /><br />Menjelang 2009, tak ada satupun dari mereka yang mengungkapkan harapan khusus yang mereka inginkan. Bahkan, Doni yang ayah ibunya tidak akur hingga pisah rumah hanya terdiam ketika ditanya mengenai rencananya di tahun depan.<br /><br />“Apa ya? Nggak tau,” ujarnya lalu diam. Nggak ingin sekolah? “Oh iya, mau,” tandas Doni meralat jawabannya.<br /><br />“Nggak mungkin,” seru Harupin yang memang agak usil.<br /><br />Meski gelap malam menyamarkan senyum simpul Doni, senyumnya melanjutkan tekad yang baru saja diucapkannya. Asal saja, kesempatan pun segera diberikan kepada anak-anak tidak mampu seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan menjadi 20 persen oleh pemerintah.<br />LIN<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />70.000 Penduduk Sulbar Buta Aksara</span><br /><br />MAMUJU, SELASA- Sekitar 70.000 dari sekitar satu juta orang jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Barat masih menyandang status buta aksara. Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulbar Jamil Barambangi di Mamuju, Selasa (30/12), mengatakan, dari 70.000 penduduk Sulbar yang buta aksara tersebut, sekitar 57 persen di antaranya adalah kaum perempuan.<br /><br />Ia mengatakan, tingginya angka buta aksara di wilayah ini akibat banyaknya anak usia sekolah tidak mengecap pendidikan serta terbatasnya kesempatan masyarakat untuk belajar membaca.<br /><br />Menurut dia, banyaknya masyarakat tidak mengecap pendidikan karena masih rendahnya kesadaran atau minat untuk menyekolahkan anaknya, khususnya kalangan masyarakat yang berada di daerah terpencil atau terisolasi.<br /><br />“Selain itu, juga akibat keterbatasan infrastrukrur pendidikan di daerah ini seperti sarana dan prasarana belajar mengajar yang belum memadai,” ujarnya. Oleh karena itu, pihaknya telah memprogramkan tahun 2009 untuk mengembangkan taman baca masyarakat (TBM) pada lokasi yang stratebis untuk menjangkau dan menarik minat baca masyarakat.<br /><br />“TBM tersebut ditempatkan pada lokasi strategis seperti terminal agar seluruh lapisan masyarakat terutama nelayan dan petani yang selama ini kurang berminat membaca, dapat menjangkau tempat bacaan itu,” ujarnya.<br /><br />Jamil menambahkan, khusus untuk wilayah pesisir, pihaknya memprogramkan “kapal pintar” untuk memenuhi kebutuhan membaca msyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan di gugusan Pulau Balak Balakang yang terletak di perairan Selat Makassar.<br /><br />Ia mengatakan, Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sultra terus berupaya membenahi pembangunan infrastruktur pendidikan dengan memanfaatkan anggaran APBN 2009 sekitar Rp 230 miliar dan APBD 2009 sekitar Rp 22 miliar.<br />MSH<br />Sumber : Ant<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus</span><br /><br />Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.<br /><br />Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.<br /><br />Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)<br /><br />Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.<br /><br />Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.<br /><br />(anjar wulandari)<br />www.banjarmasinpost.co.id<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Anak Jadi Korban Terbesar di Sumut</span><br /><br />MEDAN, JUMAT – Sepanjang tahun 2008, anak dibawah umur tercatat sebagai korban kasus penganiayaan dan kekerasan seksual terbesar di Sumatera Utara. Data Yayasan Pusaka Indonesia menyebutkan, sepanjang tahun ini terdapat 59 kasus penganiayaan terhadap anak. Sedangkan dari total 239 kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur, 53 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual.<br /><br />Menurut Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia, Edy Ikhsan, jenis kekerasan yang dialami anak di bawah umur sangat bervariasi. Dari mulai kasus perkosaan, sodomi hingga incest. “Pelaku umumnya orang yang memiliki hubungan sangat dengat dengan korban. Ini yang kemudian menjadi semacam fenomena gunung es, karena angka pasti berapa banyak kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak tak pernah terungkap,” ujar Edy di Medan, Jumat (26/12).<br /><br />Dia mengungkapkan, kekerasan seksual terhadap anak yang bermula dari kasus-kasus p erdagangan manusia (trafficking) juga cukup menonjol di Sumut. Latar belakang ekonomi korban selalu menjadi penyebab terbesar munculnya kasus-kasus trafficking pada anak perempuan di bawah umur.<br /><br />“Sekarang ini mengapa anak terperangkap dalam prostitusi lewat jerat trafficking, lebih banyak disebabkan karena faktor ekonomi. Mereka berasal dari keluarga tidak mampu yang tak bisa menyediakan dana pendidikan atau sekolah bagi anaknya. Di sisi lain ada tawaran menggiurkan, bagi anak untuk mendapatkan income,” katanya.<br /><br />Namun pengaruh lain seperti media yang menjadi soft culture penerus budaya konsumerisme ke anak perempuan, ikut juga menjadi sebab terjadinya kasus-kasus trafficking. “Harus disadari, soft culture dari media berupa iklan dan sebagainya telah membius anak-anak perempuan sekarang ini berperilaku konsumtif. Mereka terjebak dalam dunia prostitusi karena perilaku konsumtif ini,” katanya.<br /><br />Menurut Edy, masyarakat juga sering kali tidak memiliki kesadaran bahwa modus pelaku trafficking sebenarnya mengancam di depan mata. Karena ketidaktahuan masyarakat ini, pelaku traffick ing bisa leluasa menjaring korbannya di berbagai pelosok. “Sering kali masyarakat tidak tahu modus-modus pelaku trafficking. Sementara pemerintah yang sebenarnya berperan dalam mensosialisasikan bahaya perdagangan manusia ini, lebih sering ceramah dan seminar di kota. Padahal pelakunya sudah bergentayangan ke pelosok,” katanya.<br /><br />Data dari Yayasan Pusaka Indonesia juga menyebut Kota Medan menempati urutan pertama banyaknya kasus kekerasan terhadap anak. Dari total 239 kasus kekerasan, 110 kasus di antaranya terjadi di Medan. Pematang Siantar menempati urutan kedua dengan 26 kasus.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-21549158603381723022009-05-17T22:09:00.000-07:002009-05-17T22:33:21.144-07:00Pendidikan Khusus,Artikel 1<br /><br />Resolusi No. 03/ VII/Tap/Munas-VI/Pertuni/2004<br />tentang Pendidikan Khusus<br /><br /><br />Menimbang:<br /><br /> * Bahwa pendidikan bagi para penyandang cacat seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan umum;<br /> * Bahwa mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus akibat kecacatan seyogyanya memperoleh akses ke sekolah umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan khususnya;<br /> * Bahwa sekolah umum dengan orientasi inklusi tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;<br /> * Bahwa sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan;<br /> * Bahwa pengiriman anak secara permanen ke sekolah luar biasa ‑ atau kelas khusus atau bagian khusus di sebuah sekolah umum ‑ seyogyanya merupakan suatu kekecualian, yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di sekolah umum;<br /><br />Mengingat:<br /><br /> * Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;<br /> * Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990);<br /> * Peraturan Standar tentang Persamaan Hak dan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993);<br /> * Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994);<br /> * Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;<br /> * Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 32);<br /><br />Maka dengan ini Musyawarah Nasional Persatuan Tunanetra Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 4-8 Januari 2004, mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia hal-hal sebagai berikut:<br /><br /> * Hendaknya peraturan pemerintah tentang pendidikan khusus (yang seyogyanya dikeluarkan sesuai dengan amanat Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 3) mengakomodasi hak penyandang cacat untuk bersekolah dalam seting inklusi di sekolah umum dengan layanan pendidikan khusus.<br /> * Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, hendaknya pendidikan khusus tidak diartikan sebagai pendidikan di sekolah khusus (atau sekolah luar biasa), melainkan layanan pendidikan khusus yang diberikan kepada para peserta didik penyandang cacat yang diselenggarakan dalam seting segregasi di sekolah khusus maupun dalam seting inklusi di sekolah umum.<br /> * Hendaknya SLB yang ada dikembangkan fungsinya sehingga mencakup fungsi sebagai pusat sumber bagi sekolah umum yang melayani peserta didik penyandang cacat.<br /> * Hendaknya Direktorat Pendidikan Luar Biasa beserta lembaga infrastrukturnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi sistem pendukung pendidikan kebutuhan khusus bagi peserta didik penyandang cacat di berbagai seting pendidikan termasuk di sekolah umum.<br /><br />PERTUNI 2009<br /><br />Artikel 2<br /><br />Tiongkok Percepat Pengembangan Pendidikan Khusus<br />Kantor Berita Xinhua<br /><br />Menurut laporan Kantor Berita Xinhua, kantor Dewan Negara dalam pemberithaunnya baru-baru ini menunjukkan, dewasa ini dan pada masa mendatang, Tiongkok akan mempercepat lebih lanjut pengembangan usaha pendidikan khusus dengan mengambil langkah konkret.<br /><br />Menurut pemberitahuan tersebut, Tiongkok melaksanakan pendidikan wajib gratis untuk pelajar cacat, meningkatkan pembangunan sekolah pendidikan khusus, menyediakan bantuan dana kepada pelajar cacat pada periode pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, meningkatkan alokasi dana, dalam rangka menjamin sekolah pendidikan khusus beroprasi secara normal, memberantas buta huruf orang amgkatan muda yang cacat.<br /><br />Pemberitahuan menyatakan, keuangan pusat akan terus mendirikan dana bantuan khusus untuk pendidikan khsuus. Pemerintah berbagai tingkat daerah perlu menambah dana bantuan khusus untuk pendidikan khusus, meningkatkan pendidikan sesuai dengan kepribadian mental dan kebutuhan khusus pelajar penyandang cacat, mengembangkan sepenuhnya pendidikan vokasional dan mendorong penempatan tenaga kerja penyandang cacat.<br />© China Radio International.CRI. <br /><br />Artikel 3<br /><br />Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus<br /><br />JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.<br /><br />Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.<br /><br />Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.<br /><br />Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.<br /><br />"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.<br /><br />Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.<br /><br />Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.<br /><br />Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.<br /><br />Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.<br /><br />"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.<br /><br />Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.<br /><br />"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.<br /><br />Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004<br /><br /><br />Artikel 4<br /><br />SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS<br /><br />DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR<br /><br />Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.<br /><br />Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.<br /><br />Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.<br /><br />Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.<br /><br /><br />Artikel 5<br /><br />Pendidikan Luar Biasa Hanya Kebagian Anggaran 0,27 Persen<br />Senin, 06 Agustus 2007 | 14:12 WIB<br /><br />TEMPO Interaktif, Solo:Departemen Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat. Pada tahun ini, alokasinya masih sebesar Rp 300 miliar dan tahun depan dipangkas sepauh lebih.<br /><br />"Dalam rapat dengan Sekjen malam minggu kemarin tinggal Rp 130 miliar," kata Kepala Sub Direktorat Pembelajaran Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional, Samino kepada TEMPO, Senin.<br /><br />Samino mengaku belum mengetahui secara pasti detail pemangkasan anggaran yang ditujukan untuk pendidikan khusus penyandang cacat tersebut. Namun dengan alokasi<br />sebesar itu, Pendidikan Luar Biasa hanya mendapat bagian sebesar 0,27 persen dari total anggaran pendidikan nasional yang tahun depan diproyeksikan sebesar Rp 48<br />triliun. "Kami hanya bisa berharap daerah ikut membantu mengalokasikan dana pendidikan luar biasa juga." ujarnya.<br /><br />Menurut Samino, merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 370 ribu anak cacat usia sekolah. Sebagian besar mereka tidak menikmati pendidikan<br />meski konstitusi menjamin hak pengajaran bagi semua warga negaranya.<br /><br />"Yang sudah mendapatkan pendidikan baru sekitar 86 ribu anak. Sebagian besar di SLB yakni 70 ribuan anak dan 16 ribuan di sekolah umum yang menerapkan pendidikan inklusi," kata Samino.<br /><br />Dikatakannya jumlah sekolah luar biasa dalam berbagai jenjang mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas hanya ada 1.400-an unit. Pendidikan luar biasa<br />terbantu dengan sekolah umum inklusi yang tahun ini mencapai 700-an sekolahan.<br /><br />Menurut Samino, banyaknya anak penyandang cacat yang tidak mendapatkan pendidikan antara lain disebabkan SLB yang ada pada umumnya berada di perkotaan. "Sikap masyarakat yang masih menganggap anak cacat sebagai aib dan menyembunyikanjuga faktor yang membuat anak cacat tidak mendapatkan pendidikan," katanya.<br /><br />Di era otonomi, masih banyak pemerintah daerah yang tidak mengalokasikan anggaran untuk pendidikan luar biasa, terutama di luar Jawa. Kalaupun menganggarkan, besarannya sedikit sekali. Imron RosyidAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-44415287664848860242009-05-17T09:34:00.000-07:002009-05-17T09:49:43.940-07:00Pendidikan Keagamaan<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Madura Tetap Islami Meskipun ada Suramadu<br /></span><br /><br />BANGKALAN,KOMPAS.com-Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyatakan, masyarakat Madura akan tetap menjadi masyarakat Islami, meski Madura nantinya akan menjadi daerah industri pasca dioperasikannya jembatan Suramadu.<br /><br />"Di Madura ini banyak ulama dan pondok pesantren sebagai benteng pertahanan moral masyarakat. Jadi saya yakin masyarakat Madura akan tetap Islami meskipun industri dan banyak budaya asing yang masuk ke Madura," kata Hidayat di Bangkalan, Minggu (5/4).<br /><br />Lembaga pondok pesantren, kata Hidayat, merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang selama ini dikenal mampu mengarahkan santri-santri dalam pendidikan moral. Keberadaan pondok pesantren jelas akan sangat membantu menjaga citra positif warga Madura dalam hal memilter masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.<br /><br />Mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lebih lanjut menyatakan, persoalan yang akan terjadi di Madura, terutama terkait pembinaan memang bukan hanya murni tanggungjawab para ulama, tapi dengan adanya para ulama dan lembaga pendidikan pondok pesantren, maka hal itu akan lebih mudah diatasi. "Jadi meski industrialisasi nantinya masuk ke Madura, maka itu akan menjadi industrialisasi yang Islami karena dikontrol secara langsung oleh para ulama," katanya.<br /><br />Yang terpenting, kata Hidayat Nur Wahid dan perlu dipersiapkan sejak saat ini, ialah peningkatan keterampilan warga Madura. Sehingga setelah Madura menjadi daerah industri, mereka bisa ikut andil di dalamnya dan bukan menjadi orang asing di daerahnya sendiri.<br /><br />Pemkab di Madura juga perlu duduk bersama membicarakan penataan dan pembangunan Madura ke depan, sehingga antara satu kabupaten dengan kabupaten lain saling mengisi.<br /><br />Sementara dalam acara silaturahim dengan para santri dan ulama pengasuh pondok pesantren se-Madura yang digelar di pondok pesantren Al-Muhajirin, Dusun Pasarean Bawah, Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Minggu itu, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengingatkan agar para ulama dan santri hendaknya menggunakan hak pilihnya pada pemilu 9 April 2009.<br /><br />Sebab, kata dia, pilihan mereka nanti akan sangat menentukan perjalanan nasib bangsa 5 tahun ke depan. Ia juga meminta masyarakat lebih selektif dalam memilih partai ataupun calon pemimpin. Karena nasib bangsa juga akan ditentukan oleh para pemimpin dan orang yang menjadi wakilnya di DPR nantinya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Mendiknas Canangkan Pendidikan Gratis di Sulsel</span><br /><br /><br />MAKASSAR, JUMAT - Menindaklanjuti janji-janji kampanye Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Jumat (6/6), di Makassar mencanangkan pendidikan gratis untuki provinsi tersebut.<br /><br />Pencanangan ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Mendiknas di Rumah Jabatan Gubernur, disaksikan Syahrul Yasin Limpo. "Inilah provinsi pertama yang serius melaksanakan pendidikan gratis," ujar Mendiknas Bambang Sudibyo.<br /><br />Semula, pencanangan hanya dirancang sebagai uji coba pada 11 kabuapten/kota. Namun, kemarin sudah tercakup langsung 23 Kabupaten/kota se-Sulsel. Mendiknas mengharapkan pelaksanaannya berjalan dengan baik dan berhasil sehingga Sulsel kelak dijadikan model secara nasional.<br /><br />Komponen-komponen pembiyaan yang digratiskan yaitu pembayaran seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru; pembelian buku teks pelajaran buku referensi lainnya; pembelian bahan-bahan habis pakai; pembiayaan kegiataan kesiswaan; pembiayaan ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah; pengembangan profesi guru; pembiayaan perawatan sekolah; pembiayaan langganan daya dan jasa (listrik,air,telepon); pembiayaan honorarium bulanan guru honorer dan tenaga pendidikan honorer sekolah; pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin dari dan ke sekolah.<br /><br />Khusus untuk pesantren dan sekolah keagamaan nonmuslim, pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan peralatan ibadah; pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis: alat tulis kantor, penggandaan, surat menyurat dan lain-lain; insentif bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.<br /><br />Bila terdapat sisa dana dan mencukupi, akan digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran dan mobiler. Pada kesempatan tersebut Mendiknas menyerahkan bantuan mobil Taman Bacaan Tahap Pertama kepada 7 kabupaten di Sulsel yaitu Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, Wajo, Bone, dan Pangkep.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />Menag: Pendidikan Islam Belum Kondusif</span><br /><br />SEMARANG, KAMIS - Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum kondusif. Hal ini karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif.<br /><br />Demikian disampaikan Menteri Agama Maftuh Basyuni melalui sambutannya dalam Seminar Nasional Membangun Pendidikan Islam Berbasis ICT (Information and Communication Technology), di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/2).<br /><br />Menurut Menteri Agama, ketidaksiapan tersebut dapat terlihat dari kondisi budaya dan keagamaan yang masih rapuh, taraf pendidikan umat yang masih rendah, kelembagaan pendidikan yang hanya meniru sistem dari luar, pembelajaran yang tidak inovatif karena hanya melestarikan yang sudah ada, dan orientasi pendidikan yang lebih banyak untuk menjadi pekerja dibandingkan menciptakan lapangan pekerjaan.<br /><br />"Apa yang saya paparkan bukan untuk memupuk pesimisme, melainkan menjadikan landasan berpikir membangun pendidikan Islam yang cocok dengan perkembangan zaman saat ini," ujar Maftuh.<br /><br />Untuk itu, Maftuh mengemukakan tiga langkah yang bisa ditempuh agar pendidikan Islam dapat berkesinambungan dengan dinamika masyarakat. Pertama, umat Islam harus berani melakukan lompatan kuantum dengan keluar dari kebiasaan atau pola hidup bermalas-malasan, kurang percaya diri, tidak disiplin, dan produktivitas kerja rendah. Kedua, melakukan transformasi kelembagaan pendidikan. Ketiga, memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi dengan ICT.<br /><br />"Sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tak ragu lagi, teknologi telah mengubah cara pandang masyarakat," ucapnya.<br /><br />Rektor IAIN Walisongo Abdul Djamil mengatakan, dalam pendidikan berbasis ICT, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan melainkan sebagai penuntun muridnya dalam mengakses informasi yang tak terbatas.<br /><br />Maftuh mengungkapkan, terdapat 28 perguruan tinggi Islam yang terdiri dari 14 IAIN, 6 UIN, dan 8 STAIN yang akan menerapkan pendidikan Islam berbasis ICT ini. Perusahaan yang digandeng sebagai penyedia teknologi dalam hal ini adalah PT Telkom.<br /><br />Maftuh menambahkan, penerapan ICT dalam lembaga pendidikan Islam juga memungkinkan perguruan tinggi Islam untuk bersaing dengan perguruan tinggi negeri.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />2009, Depag Rehabilitasi 24.650 Ruang Kelas Madrasah</span><br /><br />JAKARTA, KAMIS — Untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal harus didukung sarana dan prasarana pendidikan yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Departemen Agama (Depag) akan merehabilitasi semua ruang kelas belajar yang rusak pada Madrasah Ibtidaiyah yang jumlahnya mencapai 24.650 ruang kelas, dengan unit cost per ruangan Rp 92,5 juta.<br /><br />Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan, pihaknya tidak hanya memperbaiki ruang kelas yang rusak, tetapi juga akan membangun madrasah bertaraf internasional minimal satu unit pada setiap provinsi mulai tahun ini. "Bahkan, untuk memacu prestasi belajar anak didik, Depag akan alokasikan beasiswa bagi 1.198.000 siswa dan 66.700 mahasiswa," ujarnya, Kamis (15/1) di Jakarta.<br /><br />Maftuh menjelaskan, untuk beasiswa unit cost-nya berbeda-beda. Siswa miskin MI mendapat beasiswa Rp 360.000. Siswa miskin Mts Rp 720.000. Siswa MI anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 250.000. Unit cost siswa Mts PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 350.000. Unit cost siswa miskin MA Rp 760.000, sedangkan bagi siswa MA anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 700.000.<br /><br />Sementara unit cost siswa MA daerah terpencil/tertinggal Rp 1,2 juta. Unit cost untuk mahasiswa Rp 1,2 juta, santri berprestasi Rp 3 juta, dan unit cost untuk mahasiswa di luar negeri Rp 15 juta.<br /><br />Depag, lanjut Maftuh, akan meningkatkan kualifikasi guru melalui tiga skema. Pertama, bantuan bagi guru yang mengikuti program S1 secara mandiri. Kedua, beasiswa bagi guru untuk mengikuti pendidikan S1 secara penuh melalui pendidikan reguler, dan ketiga, memberikan beasiswa bagi guru dalam jabatan melalui program dual mode system, yang mengombinasikan kegiatan tatap muka dan pembelajaran melalui modul. "Kepada guru yang sudah lulus sertifikasi, tunjangan profesi guru akan dibayarkan mulai tahun 2009 sebesar satu kali gaji pokok," tandasnya.<br /><br />Menurut Maftuh, kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan nasional mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, APK MI/Salafiyah Ula mencapai 16 persen, APL MTs/Salafiyah Wustha mencapai 23 persen, dan APK MA mencapai 7,51 persen. "Jumlah total lembaga pendidikan Islam mulai jenjang pendidikan anak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi pada tahun 2008 mencapai 85.911 lembaga, dengan total peserta didik 11.531.028 orang," jelas Menteri Agama itu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Kualitas UN Madrasah Diharapkan Tak Alami Degradasi</span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com - Dirjen Pendidikan Islam Muhammad Ali mengharapkan kualitas ujian nasional madrasah tidak mengalami degradasi, minimal prestasi yang diraih para murid sama seperti tahun lalu. Raihan prestasi murid, baik yang berasal dari madrasah swasta dan negeri , diharapkan tak mengalami degradasi<br /><br />Demikian siaran pers yang diterima Kompas di Jakarta, Senin (20/4) dari humas Departemen Agama di Jakarta.<br /><br />Muhammad Ali mengaku optimis bahwa kualitas murid pada ujian tahun 2008/2009 akan meningkat jika dilihat dari persiapan yang dilakukan di setiap madrasah dan para gurunya. Data tingkat kelulusan pada 2007/2008 untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) 99,60 persen, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 94,39 persen dan Madrasah Aliyah 89,16 persen. Mata pelajaran yang diuji meliputi Bahasa Indonesia, Inggris, Matematika dan IPA .<br /><br />Terkait dengan pelaksanaan ujian nasional yang dimulai secara serentak pada Senin (20/4) ini, Muhammad Ali menyebutkan, UN tahun 2008/2009 ini diikuti 1.599.670 siswa dengan rincian untuk Ujian akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) MI 522.875 siswa, Ujian Nasional MTs 776.434 siswa, Ujian Nasional MA 300.361 siswa.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-34372949940165905992009-05-17T09:03:00.000-07:002009-05-17T09:23:25.578-07:00Pendidikan Non Formal<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan</span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.<br /><br />"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).<br /><br />Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.<br /><br />Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.<br /><br />Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2<br /><br />Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal<br /></span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.<br /><br />Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.<br /><br />Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.<br /><br />Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.<br /><br />"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya. <br /><br />Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.<br /><br />"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3<br /><br />Pemerintah Bangun Sekolah untuk Anak TKI Di Malaysia</span><br /><br /><br />JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.<br /><br />Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.<br /><br />Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.<br /><br />Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.<br /><br />Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.<br /><br />Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.<br /><br />Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.<br /><br />Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Mereka yang Berinovasi di Bidang Pendidikan<br /></span><br /><br />JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan, sejatinya, diyakini siapa pun sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.<br /><br />Lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu - individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan hidup.<br /><br />Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan para pendiri negeri ini begitu kuat. Pendidikan dirasakan belum ”keluar” dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.<br /><br />Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya.<br /><br />Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional.<br /><br />Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya Ujian Nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan, bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.<br /><br />Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli, apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.<br /><br />Mandiri, Kreatif, Kritis<br /><br />Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.<br /><br />Sujono Samba dalam bukunya berjudul 'Lebih Baik Tidak Sekolah' yang diterbitkan LKiS mengatakan, sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.<br /><br />Lebih lanjut, guru Sujono ini mengatakan, kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing.<br /><br />Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.<br /><br />Mereka yang Berbuat<br /><br />Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah justru lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar.<br /><br />Lendo Novo, alumnus Institut Teknologi Bandung, menggagas lahirnya sekolah alam karena rasa gemas pada sistem pendidikan yang tidak berangkat dari potensi yang dimiliki bangsa ini, yakni alam Indonesia yang kaya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Pendidikan yang dialami siswa adalah yang membekali kehidupan saat menjadi apa pun pilihan mereka nantinya.<br /><br />Sulthon Amien, Ketua Badan Pembina Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya, merasa resah dengan persekolahan yang berubah jadi ”neraka” buat anak-anak yang seharusnya bergairah untuk mengeksplorasi banyak hal dalam kehidupan. Berangkat dari pengalaman anak-anaknya yang justru stres saat berada di sekolah, Sulthon dan istrinya terinsipirasi mendirikan sekolah yang bersahabat dengan anak-anak.<br /><br />Pendidikan pun tak dimaknai Sulthon dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Yang penting, anak-anak menikmati belajar dan bisa berkembang. Keyakinan ini dibuktikan dari dibebaskannya anak-anaknya untuk bersekolah formal atau tidak. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak bisa berhasil menjadi apa yang diinginkan.<br /><br />Lakukan Terobosan<br /><br />Jika berbicara soal anak-anak jenius, salah satu nama yang diingat adalah Profesor Yohanes Surya. Fisikawan berkaliber internasional ini meyakini Indonesia memiliki anak-anak jenius yang tidak kalah dibandingkan dengan negara lain dan suatu saat ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel.<br /><br />Daripada berpangku tangan melihat negara yang masih abai pada pendidikan anak-anak berpotensi itu, Yohanes melakukan banyak terobosan untuk bisa membuka mata pemerintah dan kita semua bahwa Indonesia harusnya percaya diri untuk bisa maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya yang tiada henti setidaknya melahirkan komitmen pemerintah yang mulai memfasilitasi beasiswa pendidikan anak-anak cerdas istimewa.<br /><br />Upaya untuk membuat anak-anak Indonesia tidak alergi terhadap pelajaran sains di sekolah menjadi mimpi Sanny Djohan dan timnya dengan melahirkan komik sains Kuark. Penjelasan sains dengan komik dimaksudkan supaya belajar sains tidak lagi dicitrakan hanya untuk anak-anak yang berotak cemerlang.<br /><br />Sanny yang pengusaha dan ibu rumah tangga ini ketika kembali lagi ke Indonesia setelah lama di luar negeri merasa kaget dengan pendidikan di negeri ini. Anak-anaknya tidak menikmati pendidikan yang dijalani sampai akhirnya bergabung lagi dengan salah satu sekolah internasional.<br /><br />Keresahannya terhadap kondisi pendidikan membawanya pada upaya untuk menemukan cara yang pas berkontribusi di bidang ini. Dengan menggandeng orang-orang yang juga punya kepedulian sama bagi masa depan generasi bangsa, tercetuslah membuat komik sains yang bisa disukai semua anak, terutama di jenjang pendidikan dasar. Dan, kegiatan Olimpiade Sains Kuark yang boleh diikuti siapa saja itu mulai menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu.<br /><br />Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Komunitas ini bergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif dengan Ketua Umum Seto Mulyadi.<br /><br />Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi.<br /><br />Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita. Dan, telah ada banyak individu dan kelompok yang mulai berbuat.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />Pendidikan untuk Anak TKI Masih Diabaikan<br /></span><br /><br />JAKARTA, SABTU - Pendidikan untuk anak-anak tenaga kerja Indonesia di Sabah, Malaysia, yang jumlahnya lebih dari 36.000 anak masih diabaikan. Peran dan dukungan pemerintah terhadap persoalan ini pun dianggap yayasan penyelenggara pendidikan masih kurang.<br /><br />Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Pendidikan Anak Indonesia (YPPAI) Sabah Leonardus Gigo Atawuwur mengungkapkan hal itu dalam jumpa pers, Jumat (21/11). YPPAI merupakan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, khususnya anak- anak warga Indonesia di Sabah. Mereka menyelenggarakan pendidikan nonformal dengan kurikulum seluruhnya dari Indonesia.<br /><br />Yayasan tersebut semula bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia dan telah menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Keningau, Malaysia, sejak satu setengah tahun lalu. Kini, dibuka pula PKBM di Lahad Dato. Jumlah peserta belajar di kedua PKBM tersebut sebanyak 746 anak berusia 6-15 tahun.<br /><br />Dia mengatakan, penyelenggara pendidikan nonformal tersebut masih membutuhkan dukungan pemerintah. Bantuan yang mendesak, antara lain, surat izin formal dari Departemen Pendidikan Nasional.<br /><br />”Permintaan izin resmi itu sudah dimasukkan sejak Agus- tus lalu, tetapi belum ada kabarnya. Walaupun secara lisan, Departemen Pendidikan Nasional memperkenankan. Sedangkan dari Pemerintah Negara Bagian Sabah Malaysia, izin resmi tidak sampai satu jam prosesnya,” ujarnya.<br /><br />Leonardus mengatakan bahwa yayasan tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah kedua negara atau donatur. Oleh karena itu, untuk operasionalnya, mereka mengandalkan iuran dari orangtua. Uang pendaftaran masuk ke PKBM 150 ringgit Malaysia dan iuran bulanan sekitar 15 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 40.000. Iuran tersebut sebelumnya dibicarakan dahulu dengan orangtua siswa.<br /><br />Bagi pengelola perkebunan, sarana pendidikan diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi para TKI. Direktur Eksekutif Felda Plantations SDN.Bhd, Mohd.Nor Bin Omar, yang mengelola perkebunan sawit, mengatakan, perusahaan hanya menyediakan tenaga instruktur dan fasilitas sekadarnya.<br /><br />Sumber : Kompas CetakAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-45265893244631304922009-05-17T08:24:00.000-07:002009-05-18T09:34:23.705-07:00Pendidikan Anak Usia Dini<span style="font-weight:bold;">Artikel 1<br /><br />Fokuskan Pendidikan Usia Dini ke Anak Usia 0-6 Tahun!<br /></span><br /><br />JAKARTA,KOMPAS.com - Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di daerah-daerah masih banyak berfokus pada usia 5-6 tahun atau anak-anak yang bersekolah di Taman Kanak-kanak. Akibatnya, empat tahun pertama di masa emas anak-anak tersebut menjadi kurang diperhatikan, padahal di usia tersebut mereka juga perlu dimaksimalkan potensi dan tumbuh kembangnya.<br /><br />"Pendidikan anak usia dini atau PAUD itu penting mulai anak usia 0-6 tahun. Tetapi pemerintah daerah belum banyak yang mendukung karena tidak wajib seperti pendidikan dasar sembilan tahun," kata Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, Hamid Muhammad, di Jakarta, Jumat (15/5).<br /><br />Program PAUD merupakan salah satu program prioritas Depdiknas. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD tahun 2008 baru mencapai 50,03 persen dari 29,8 juta anak. Target APK PAUD formal maupun PAUD nonformal akhir tahun ini adalah 53,9 persen, baik yang dikelola Depdiknas maupun Departemen Agama.<br /><br />Hamid mengatakan, upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dilakukan terutama untuk perintisan PAUD di daerah terpencil, yaitu di 50 kabupaten dari 21 provinsi di Indonesia. Intinya, kata dia, pertama adalah untuk pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan pada pengelola PAUD di desa. Kedua, untuk para pembina di provinsi dan kabupaten. Ketiga, yang paling besar jumlahnya, adalah untuk pendirian lembaga PAUD. "Total 783 ribu anak yang bisa masuk program ini," katanya.<br /><br />Hamid mengungkapkan, kendala yang dihadapi untuk mendongkrak APK PAUD adalah tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya PAUD. Anggota masyarakat, kata dia, terutama di daerah pedesaan kurang peduli terhadap PAUD. "Bagi mereka yang penting masuk sekolah dasar. Padahal betapa pentingnya PAUD sebagai landasan wajib belajar sembilan tahun," katanya.<br /><br />Pemerintah, kata Hamid, juga memberikan perhatian terhadap tutor PAUD. Dia menjelaskan, tutor PAUD tidak seperti guru pada taman kanak-kanak yang diwajibkan berkualifikasi S1 ditambah pendidikan profesi. Tutor PAUD, kata dia, dilihat dari kompetensinya.<br /><br />"Belum ada standardisasi kualifikasi, tetapi secara bertahap akan kita lakukan beberapa standardisasi. Sementara ini yang kita lakukan dengan pelatihan," katanya.<br /><br />Direktur PAUD Depdiknas Sudjarwo Singowidjojo menyampaikan, upaya lain yang ditempuh untuk meningkatkan APK PAUD adalah diversifikasi bentuk-bentuk PAUD, yakni kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis. Dia mencontohkan, melalui PAUD sejenis yaitu dengan membina di antaranya posyandu dan taman pendidikan Alquran.<br /><br />"Kemudian dengan melakukan kemitraan dengan organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Muslimat NU, dan PKK. Diharapkan, APK PAUD dapat mencapai 72,6 persen pada 2014," katanya.<br /><br />Hamid mengatakan, progam PAUD didukung melalui APBN dan grant dari pemerintah Belanda. Beberapa tahun belakangan ini, kata dia, program ini juga dibantu oleh UNICEF khususnya di kawasan Indonesia bagian timur. "Oleh karena itu, pada tahun ini, bersamaan dengan program reguler, APBN, dan pihak donor, kita akan melakukan kegiatan publikasi dan sosialisasi berupa sejumlah lomba," katanya.<br /><br />Sumber : KOMPAS<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 2:<br /><br />Pendidikan Lalu Lintas Dini</span><br /><br />Makin rawannya tingkat keselamatan di jalan raya yang ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka kecelakaan yang terjadi dari tahun ke tahun menyebabkan perlunya digalakkan kembali pendidikan dan etika berlalu lintas sejak usia dini.<br /><br />Untuk itu, Shell Indonesia meluncurkan program Road Safety: Think Safety, Act Safely yang akan melibatkan sekitar 1.200 siswa-siswi kelas 4 dan 5 dari sepuluh sekolah dasar di Jakarta hingga akhir tahun 2008. "Program perubahan seperti ini, perlu early wins yaitu kemenangan-kemenagan untuk ke depannya," ujar Presiden Direktur PT Shell Indonesia Darwin Silalahi dalam acara peluncuran program ini di Jakarta, Rabu (28/5).<br /><br />Darwin mencontohkan anaknya yang merengek minta dibelikan handphone padahal umurnya baru lima tahun. Meski kurang setuju, Darwin akhirnya membelikan juga karena sebagian besar teman anaknya ternyata memiliki handphone. Dalam dua hari anaknya sudah mampu menghapal banyak nomor telepon orang-orang terdekatnya.<br /><br />"Kemampuan menghapal dan meniru sesuatu itu sangat tinggi di tingkat SD. Nanti kami akan kembangkan lagi tapi kami mulai dari SD untuk memasyarakatkan perilaku sopan di jalanan, meski mulai dengan jumlah sangat kecil," tandasnya.<br /><br />Menurut Social Investment Manager PT Shell Indonesia Sri Endah program yang akan dikemas dalam roleplay dan simulasi ini nantinya akan diselenggarakan langsung di Taman Lalu Lintas (Traffic Park) Cibubur. "Kami akan ajarkan basic skill saja misalnya menyeberang jalan, atau pakai seat belt, paling tidak mereka nanti bisa ingatkan ayah ibunya ketika hendak mengendarai mobil untuk memakai seat belt," tukas Endah.<br /><br />Program ini akan dimulai pada 5 Juni mendatang dimulai untuk SDN 01 Menteng Atas dan disusul sembilan SD lainnya hingga akhir 2008, seperti SDN Klender 12, SDN Duren Sawit, SDN 02 Menteng Atas, SDN 04 Menteng Atas, SDN 19 Menteng Atas, SDN Gondangdia 03 Pagi, SDN Gondangdia 05 Pagi, SDN Cikini 02 pagi, dan SDN Cikini 04 pagi.<br /><br />Nantinya, pendidikan yang akan diadakan satu hari penuh untuk setiap SD akan memuat pengetahuan dasar tentang lalu lintas yang dikemas dengan interaktif dan fun serta memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk berkendaraan langsung dengan menggunakan alat-alat peraga, seperti kendaraan-kendaraan kecil dan perlengkapannya serta rambu-rambu lalu lintas.<br /><br />Shell melalui program CSR-nya ini berharap program ini menjadi investasi jangka panjang terhadap mental generasi muda di jalanan.Menurut catatan Direktorat Lalu Lintas Polri, angka kecelakaan di Jakarta pada tahun 2007 tercatat 5.154 kejadian yang menyebabkan 999 orang meninggal dunia. Angka ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 3:<br /><br />Kurikulum untuk anak usia dini, perlukah?</span><br /><br />Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka. Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan kemampuan dan minat anak.<br /><br />Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum berminat.<br /><br />Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.<br /><br />Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.<br /><br />Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang, ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.<br /><br />Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.<br /><br />Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.<br /><br />Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner, yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal, intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam kegiatan belajar-bermain di rumah.<br /><br />Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam konteks belajar anak usia dini di rumah.<br /><br />Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak<br /><br />Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut: perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial, emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)<br /><br />Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:<br /><br />Perkembangan fisik motorik<br /><br /> * Motorik Kasar : Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.<br /> * Motorik Halus : Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat jahit tiruan, dll.<br /> * Organ Sensoris : Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau, mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll. <br /><br />Perkembangan Kognitif<br /><br />Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung, menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat); mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.<br /><br />Perkembangan Moral dan sosial<br /><br />Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman, mampu bergantian atau antre, dll.<br /><br />Perkembangan Emosional<br /><br />Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya; menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.<br /><br />Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)<br /><br />Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).<br /><br />Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.<br /><br />Salam Pendidikan!<br />Penulis : Maya A Pujiati<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 4<br /><br />Gencarkan Pendidikan Anak Usia Dini<br /></span><br /><br />Sambas,- Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.<br /><br />Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.<br /><br />Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.<br /><br />Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.<br /><br />Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.<br /><br />Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.<br /><br />Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.(mur)<br /><br />< Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.<br /><br />Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.<br /><br />Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.<br /><br />Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.<br /><br />Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.<br /><br />Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.<br /><br />Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.(mur)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Artikel 5<br /><br />850 Guru Ikuti Senam Massal PAUD Ceria</span><br /><br />LAMONGAN, KOMPAS.com — Sekitar 850 ibu-ibu guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kabupaten Lamongan, Kamis (23/4), memeragakan senam massal PAUD Ceria dan lomba senam PAUD Ceria.<br /><br />Lomba Senam PAUD Ceria di Lamongan dinilai tiga juri pencipta Senam PAUD Ceria, yakni Putut Purnawirawan, Yuniar Ari Riswati, dan Tirta Buringsih. Lomba tersebut diikuti perwakilan guru PAUD dari 27 kecamatan di Kabupaten Lamongan, di mana setiap kecamatan mengirimkan enam perwakilan.<br /><br />Senam PAUD Ceria secara spesifik diperuntukkan bagi anak usia dini. Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Lamongan Arif Supono menyatakan, gerakan senam dibuat sederhana secara teknik tetapi tetap menyehatkan. Gerakan senam disisipi gerakan unsur fun (menyenangkan) dengan gerakan seperti berenang. Dalam iringan musik untuk senam itu disertai lantunan syair sebagai petunjuk masing-masing gerakan.<br /><br />Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur Puji Astuti menyatakan, kegiatan senam massal PAUD Ceria yang digelar Dinas Pendidikan Lamongan akan dijadikan referensi karena berhasil mengumpulkan hampir 1.000 guru PAUD dalam senam massal.<br /><br />"Ini sangat bagus sebagai pemicu semangat bagi para pendidik dalam menjalankan tugas mulianya. Senam massal sekaligus sebagai satu bentuk publikasi pada masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini," kata Puji.<br /><br />Menurut Puji, di masa lalu ada banyak anggapan pendidikan anak usia dini tidak terlalu penting, tetapi sekarang pendidikan pada anak usia dini sudah tidak bisa lagi dikesampingkan. Pendidikan ketika anak berada di usia dini sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak, baik pendidikan maupun kesehatannya. <br /><br />"Di usia dinilah masa-masa keemasan perkembangan anak. Saya percaya ibu-ibu guru PAUD mampu menjalankan amanat ini, karena guru PAUD adalah ibu bagi anak-anak masa depan Indonesia," tuturnya.<br /><br />Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Mustofa Nur menambahkan, suatu bangsa hanya bisa maju jika didukung sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Anak-anak yang berada di lembaga PAUD nanti akan menjadi SDM penentu kemajuan bangsa. "Di sinilah peran penting guru PAUD sebagai penentu kualitas SDM bangsa ini," ujarnya.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-62076027647545463982009-05-16T09:50:00.000-07:002009-05-18T09:36:12.208-07:00Pendidikan InformalArtikel 1<br />Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua<br /><br />Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik.<br /><br />Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.<br /><br />Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.<br /><br />Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.<br /><br />Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.<br /><br />Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak.<br /><br />Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.<br /><br />Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.<br /><br />Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.<br /><br />Artikel 2<br /><br />Pendidikan Informal:Berantas Buta Huruf,Intensifkan Kerja Sama Dinas<br /><br />BANDARLAMPUNG (Lampost): Untuk mengentaskan penyandang buta aksara perlu kerja sama yang intensif antara pemerintah daerah (pemda), Dinas Pendidikan, dan beragam lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi atau universitas.<br />Demikian dikatakan Ketua Pimpiman Wilayah (PW) Muslimat NU Provinsi Lampung Hj. Hariyanti Syafrin saat pelatihan keaksaraan fungsional (KF) yang digelar PW Muslimat NU Lampung di Wisma Bandar Lampung, Jumat (8-6). Pelatihan yang berlangsung tiga hari (7--9) itu diikuti 30 peserta baik tutor, penyelengara KF, dan sebagainya.<br />Misal saja, lanjut Hariyanti, Dinas Pendidikan dan Pemda Lampung dan Kota Bandar Lampung bisa meningkatkan kerja samanya dengan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Lampung (Unila) yang memiliki jurusan pendidikan luar sekolah. Yakni dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan, antara lain dengan mendirikan sejumlah kelas malam untuk orang dewasa. Karena, orang yang buta aksara biasanya adalah warga miskin yang pada siang hari disibukkan dengan mencari nafkah untuk penghidupannya.<br />Sedangkan untuk anak-anak buta aksara yang tidak mendapat kesempatan mengenyam bangku sekolah maka pemerintah dengan institusi pendidikan bisa membuat semacam rumah singgah yang di dalamnya terdapat beragam bacaan yang menarik anak-anak untuk belajar membaca.<br />Selain itu, ia juga meminta Dinas Pendidikan membuat program lanjutan sekaligus mengedrop bahan bacaan ke daerah-daerah kantung rawan buta huruf sehingga dapat meningkatkan minat baca penduduk.<br />Sementara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi baru-baru ini mengemukakan tahun ini, pemerintah menyiapkan anggaran Rp1,25 triliun untuk mengurangi angka buta aksara yang mencapai 2,2 juta orang di seluruh Tanah Air. Sebanyak 81 persen lebih penduduk buta aksara terkonsentrasi di di sembilan provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Sedangkan sisanya dibagi rata di 22 provinsi lain.<br />Sedang di Provinsi Lampung terdapat 393.952 jiwa penyandang buta huruf, usianya si atas 15 tahun. Data Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyebutkan jumlah tertinggi penduduk yang buta huruf berada di Kabupaten Lampung Timur 79.633 jiwa dan terendah di Kota Metro 6.725 jiwa. Sementara lima kabupaten yang menjadi kantung rawan buta aksara adalah Lampung Timur, Lampung Selatan (77.482), Lampung Tengah (62.045), Tulangbawang (53.504), dan Tanggamus (46.566).<br /><br />Artikel 3<br /><br />Pendidikan Formal dan Informal NTT : Masyarakat Awam Belum Paham <br /><br />Sebagian besar masyarakat awam di NTT ternyata belum paham tentang apa itu pendidikan nonformal. Padahal dana miliaran rupiah setiap tahun telah digelontorkan untuk menanggulangi masalah pendidikan yang satu ini. Hal ini menjadi salah satu nada minor untuk sukses pendidikan di NTT. Menghadapi tantangan globalisasi, sumberdaya manusia NTT hingga pelosok-pelosok desa harus terus ditingkatkan. Apalagi kualifikasi dan kompetensi tenaga pendidik pun masih jauh dari standar. Lalu salahnya dimana?<br />Kupang, Aktualita NTT <br />Demikian penegasan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Thobias Uly, M.Si dalam rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur 2009, Selasa, (10/03/09) di Aula UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur.<br />Uly mengatakan, menghadapi kenyataan ini, mestinya semangat dan kerja keras terus dipacu untuk mensosialisasikan berbagai program pendidikan nonformal tersebut. Sehingga program pendidikan nonformal benar-benar berdampak pada peningkatan pengetahuan, taraf hidup dan perbaikan ekonomi masyarakat.<br />Upaya mewujudkan program tersebut kata Uly, dilakukan secara bertahap melalui berbagai kegiatan. Antara lain, peningkatan Sumber Daya Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nonformal dan Informal, melalui kegiatan pendidikan dan latihan; Pendidikan penjenjangan, kursus dan magang. Serta pengembangan berbagai program berbasis masyarakat melalui pembentukan berbagai program seperti : program Anak usia Dini, program kesetaraan (Paket A, B dan C setara), program keaksaraan (pemberantasan buta aksara), kelompok belajar usaha, life skill (keterampilan) dan sebagainya. <br />Lebih lanjut dia menambahkan, dengan telah dibukanya berbagai program pendidikan anak usia dini (kelompok bermain, tempat penitipan anak dan satuan PAUD sejenis), program kesetaraan ( paket A, B, dan C setara ), program life skill seperti: kursus komputer, laboratorium bahasa, Informasi Teknologi, kursus menjahit dan kursus kecantikan di kampus UPT2PNI ini, diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat NTT yang membutuhkan pendidikan nonformal dan informal. <br />Pada tempat yang terpisah Kepala UPT Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dra. Maria Patricia Sumarni mengatakan, upaya pemerintah melaksanakan rapat perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal dan informal, dengan maksud untuk menyamakan presepsi dan membangun komitmen bersama dengan jajaran PNF di wilayah NTT, Subdin PLS Kabupaten/Kota, UPT PPNFI, Subdin Bina PLS Provinsi dan UPTD SKB termasuk mitra terkait, untuk dapat merumuskan suatu perencanaan pelaksanaan dan evaluasi program PNF yang terpadu dan sinergis. <br />Sinergitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, diyakini akan mampu menjadikan program-program PNF yang efektif, efisien dan berkualitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan serta bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dan yang paling utama sebagai sasaran program PNF adalah peningkatan harkat, martabat dan kualitas kehidupan masyarakat.<br />Dikatakannya, tujuan dari kegiatan perencanaan dan penyusunan program PNF di UPT PPNFI Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni menyampaikan strategi Kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Disamping menyamakan presepsi, gerak dan langkah dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Program PNF terpadu dan sesuai Tupoksi masing-masing. Untuk itu harus selalu ada komitmen bersama jajaran PNF dalam pelaksanaan program PNF di lapangan.<br />Peserta rapat dalam kegiatan perencanaan dan penyusunan program pendidikan nonformal terdiri dari, Kepala Bidang PLS Kabupaten/Kota, Kepala SKB Kabupaten/Kota dan Kepala Bidang yang membidangi Pendidikan pada Bappeda Kabupaten/Kota serta Pamong Belajar SKB Kabupaten/Kota.<br />Hasil yang diharapkan dalam Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) yakni: tersosialisasi kebijakan Pemerintah Provinsi NTT dalam bidang Pendidikan dan adanya komitmen, presepsi yang sama untuk pelaksanaan program PNF di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan masing-masing.<br />Kegiatan perencanaan dan Penyusunan Program Pendidikan Nonformal tahun ini (2009) merupakan langkah strategis bagi peningkatan kualitas program PNF di masa mendatang. “Melalui kegiatan ini kita harapkan terwujudnya sebuah kerjasama dan sinergitas seluruh jajaran PNF yang ada di Nusa Tenggara Timur. Pedoman ini juga diharapkan agar mampu memberikan arah yang baik bagi pelaksana kegiatan dimaksud, sehingga komitmen yang kuat dijajaran PNF dapat memupuk pondasi bagi aksesnya penyelenggaran program PNF di lapangan,” tutur Sumarni.<br /><br /><br />Artikel 4<br /><br />Homeschooling, haruskah eksklusif?<br /><br />Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.<br /><br />Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.<br /><br />Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.<br /><br />Tak Perlu Mahal<br />Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.<br />Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.<br /><br />Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.<br /><br />Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.<br /><br />Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.<br /><br />Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.<br />HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.<br /><br />Hindari Dokotomi<br />Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.<br /><br />HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.<br /><br />Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.<br /><br />Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.<br /><br />Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.<br /><br />Referensi<br />Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.<br /><br />Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.<br />Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.<br /> <br /><br />Artikel 5<br /><br />Homeschooling Solusi, atau Kerugian<br /><br />Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan? <br /><br />Homeschooling dan Legalitas <br /><br />Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini. <br /><br />Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008). <br /><br />Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. <br /><br />Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling <br /><br />Keuntungan dan Kerugian <br /><br />Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka. <br /><br />Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu. <br /><br />Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya <br /><br />Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum. <br /><br />Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia <br /><br />Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ?� buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. <br /><br />Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah. <br /><br />Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. <br /><br />Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah andaAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-29457291831461700402009-05-13T07:17:00.000-07:002009-05-13T07:19:20.881-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAHDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor<br />19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu<br />menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang<br />Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar<br />dan Menengah;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar<br />Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4496);<br />4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,<br />Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah<br />beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden<br />Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;<br />5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun<br />2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan<br />Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun<br />2005;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK<br />INDONESIA TENTANG STANDAR PENGELOLAAN<br />PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN<br />MENENGAH.<br />.<br />Pasal 1<br />(1) Setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pengelolaan pendidikan<br />yang berlaku secara nasional<br />(2) Standar pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 Mei 2007<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional,<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan<br />Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-5087883810108764882009-05-13T07:16:00.002-07:002009-05-13T07:17:35.658-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKANDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /><br /><br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br /><br /><br />Menimbang : bahwa dalam rangka mengendalikan mutu hasil pendidikan <br />sesuai standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh <br />Badan Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Standar <br />Penilaian Pendidikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan <br />Nasional; <br /><br />Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar <br />Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia <br />Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara <br />Republik Indonesia Nomor 4496); <br /><br />2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, <br />Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja <br />Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah <br />beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden <br />Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006; <br />3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M PERATURANAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-44737746802153336132009-05-13T07:16:00.001-07:002009-05-13T07:16:44.873-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 24 TAHUN 2007<br />TENTANG<br />STANDAR SARANA DAN PRASARANA<br />UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI),<br />SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH<br />(SMP/MTs), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH<br />ALIYAH (SMA/MA)<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48<br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang<br />Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan<br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar<br />Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah<br />Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah<br />Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan<br />Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik<br />Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang<br />Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);<br />2<br />3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang<br />Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan<br />Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia<br />sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden<br />Nomor 62 Tahun 2005;<br />4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004<br />mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir<br />dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA<br />UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH<br />IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH<br />PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs),<br />DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH<br />ALIYAH (SMA/MA).<br />Pasal 1<br />(1) Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah<br />ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah<br />tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah<br />aliyah (SMA/MA) mencakup kriteria minimum sarana dan kriteria<br />minimum prasarana.<br />(2) Standar Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat<br />(1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen<br />dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 (seribu) jiwa dan<br />yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak<br />tempuh 3 (tiga) kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak<br />membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana<br />sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.<br />3<br />Pasal 3<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 28 Juni 2007<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional.<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I.<br />Muslikh, S.H.<br />NIP.131479478Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-13388652514538093642009-05-13T07:15:00.001-07:002009-05-13T07:15:56.820-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2006PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 22 TAHUN 2006<br />TENTANG<br />STANDAR ISI<br />UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat<br />(3), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2),<br />dan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19<br />Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu<br />menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang<br />Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik<br />Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang<br />Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik<br />Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Nomor 4496);<br />3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang<br />Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan<br />Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia<br />sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden<br />Nomor 62 Tahun 2005;<br />2<br />4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004<br />mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan<br />Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor<br />0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006 dan Nomor<br />0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN<br />PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.<br />Pasal 1<br />(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang<br />selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan<br />tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan<br />minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.<br />(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada<br />Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 Mei 2006<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYOAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-34003772546873442152009-05-13T07:12:00.000-07:002009-05-13T07:13:39.447-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 23 TAHUN 2006<br />TENTANG<br />STANDAR KOMPETENSI LULUSAN<br />UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (1)<br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar<br />Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri<br />Pendidikan Nasional tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk<br />Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar<br />Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4496);<br />3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,<br />Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja<br />Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah<br />diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;<br />4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun<br />2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan<br />Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;<br />2<br />Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor<br />0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006, Nomor<br />0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei, dan Nomor<br />0225/BSNP/V/2006 tanggal 10 Mei 2006;<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK<br />SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.<br />Pasal 1<br />(1) Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan<br />menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan<br />kelulusan peserta didik.<br />(2) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan<br />menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran,<br />dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.<br />(3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 Mei 2003<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYOAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-10001540142313616962009-05-13T07:06:00.002-07:002009-05-13T07:12:23.295-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2008SALINAN<br />PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 24 TAHUN 2008<br />TENTANG<br />STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/ Madrasah;<br />Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);<br />2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;<br />3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2005;<br />1<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH.<br />Pasal 1<br />(1) Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah mencakup kepala tenaga administrasi, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus sekolah/madrasah.<br />(2) Untuk dapat diangkat sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar tenaga administrasi sekolah/madrasah yang berlaku secara nasional.<br />(3) Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Penyelenggara sekolah/madrasah dapat menetapkan perangkapan jabatan tenaga administrasi pada sekolah/madrasah yang diselenggarakannya.<br />Pasal 3<br />Penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan standar tenaga administrasi sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, selambat-lambat 5 (lima) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan.<br />Pasal 4<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 11 Juni 2008<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional,<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478<br />2<br />SALINAN<br />LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />NOMOR 24 TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008<br />STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH<br />A. KUALIFIKASI<br />Tenaga administrasi sekolah/madrasah terdiri atas kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus.<br />1. Kepala Tenaga Administrasi SD/MI/SDLB<br />Kepala tenaga administrasi SD/MI/SDLB dapat diangkat apabila sekolah/ madrasah memiliki lebih dari 6 (enam) rombongan belajar. Kualifikasi kepala tenaga administrasi SD/MI/SDLB adalah sebagai berikut:<br />a. Berpendidikan minimal lulusan SMK atau yang sederajat, program studi yang relevan dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 4 (empat) tahun.<br />b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.<br />2. Kepala Tenaga Administrasi SMP/MTs/SMPLB<br />Kepala tenaga administrasi SMP/MTs/SMPLB berkualifikasi sebagai berikut:<br />a. Berpendidikan minimal lulusan D3 atau yang sederajat, program studi yang relevan, dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/ madrasah minimal 4 (empat) tahun.<br />b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.<br />3. Kepala Tenaga Administrasi SMA/MA/SMK/MAK/SMALB<br />Kepala tenaga administrasi SMA/MA/SMK/MAK/SMALB berkualifikasi sebagai berikut:<br />a. Berpendidikan S1 program studi yang relevan dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 4 (empat) tahun, atau D3 dan yang sederajat, program studi yang relevan, dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 8 (delapan) tahun.<br />b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.<br />3<br />4. Pelaksana Urusan Administrasi Kepegawaian<br />Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat, dan dapat diangkat apabila jumlah pendidik dan tenaga kependidikan minimal 50 orang.<br />5. Pelaksana Urusan Administrasi Keuangan<br />Berpendidikan minimal lulusan SMK/MAK, program studi yang relevan, atau SMA/MA dan memiliki sertfikat yang relevan.<br />6. Pelaksana Urusan Administrasi Sarana dan Prasarana<br />Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat.<br />7. Pelaksana Urusan Administrasi Hubungan Sekolah dengan Masyarakat<br />Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat, dan dapat diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 9 (sembilan) rombongan belajar.<br />8. Pelaksana Urusan Administrasi Persuratan dan Pengarsipan<br />Berpendidikan minimal lulusan SMK/MAK, program studi yang relevan.<br />9. Pelaksana Urusan Administrasi Kesiswaan<br />Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat dan dapat diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 9 (sembilan) rombongan belajar.<br />10. Pelaksana Urusan Administrasi Kurikulum<br />Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat dan diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 12 rombongan belajar.<br />11. Pelaksana Urusan Administrasi Umum untuk SD/MI/SDLB<br />Berpendidikan minimal SMK/MAK/SMA/MA atau yang sederajat.<br />4<br />12. Petugas Layanan Khusus<br />a. Penjaga Sekolah/Madrasah<br />Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.<br />b. Tukang Kebun<br />Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat dan diangkat apabila luas lahan kebun sekolah/madrasah minimal 500 m2 .<br />c. Tenaga Kebersihan<br />Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.<br />d. Pengemudi<br />Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat, memiliki SIM yang sesuai, dan diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki kendaraan roda empat.<br />e. Pesuruh<br />Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.<br />B. KOMPETENSI<br />1. Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah<br />Kompetensi kepribadian, sosial, teknis, dan manajerial bagi kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah adalah sebagai berikut.<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik<br />1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya<br />1.1.3 Berperilaku jujur<br />1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia<br />1.1.4 Menunjukkan komitmen terhadap tugas<br />1.2.1 Mengikuti prosedur kerja<br />1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu<br />1.2.3 Bertindak secara tepat<br />1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan<br />1.2.5 Meningkatkan kinerja<br />1.2 Memiliki etos kerja<br />1.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />1. Kompetensi Kepribadian<br />1.3 Mengendalikan diri<br />1.3.1 Mengendalikan emosi<br />5<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik<br />1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya<br />1.1.3 Berperilaku jujur<br />1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia<br />1.1.4 Menunjukkan komitmen terhadap tugas<br />1.2.1 Mengikuti prosedur kerja<br />1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu<br />1.2.3 Bertindak secara tepat<br />1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan<br />1.2.5 Meningkatkan kinerja<br />1.2 Memiliki etos kerja<br />1.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />1. Kompetensi Kepribadian<br />1.3 Mengendalikan diri<br />1.3.1 Mengendalikan emosi<br />5<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.3.2 Bersikap tenang<br />1.3.3 Mengendalikan stres<br />1.3.4 Berpikir positif<br />1.4.1 Memahami diri sendiri<br />1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri<br />1.4.3 Bertanggung jawab<br />1.4 Memiliki rasa percaya diri<br />1.4.4 Belajar dari kesalahan<br />1.5.1 Mengupayakan keterbukaan<br />1.5.2 Menghargai pendapat orang lain<br />1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain<br />1.5 Memiliki fleksibilitas<br />1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain<br />1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya<br />1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas<br />1.6 Memiliki ketelitian<br />1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja<br />1.7.1 Mengatur waktu<br />1.7.2 Menaati aturan yang berlaku<br />1.7 Memiliki kedisiplinan<br />1.7.3 Menaati azas yang berlaku<br />1.8.1 Berpikir alternatif<br />1.8.2 Kaya ide/gagasan baru<br />1.8.3 Memanfaatkan peluang<br />1.8.4 Mengikuti perkembangan Ipteks<br />1.8 Memiliki kreativitas dan inovasi<br />1.8.5 Melakukan perubahan<br />1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan<br />1.9.2 Berani mengambil resiko<br />1.9 Memiliki tanggung jawab<br />1.9.3 Tidak melimpahkan kesalahan kepada pihak lain<br />2.1.1. Berpartisipasi dalam kelompok<br />2. Kompetensi Sosial<br />2.1 Bekerja sama dalam tim<br />2.1.2. Menghargai pendapat orang<br />6<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />lain<br />2.1.3. Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim<br />2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan<br />2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar<br />2.2.3 Berempati kepada pelanggan<br />2.2.4 Berpenampilan prima<br />2.2.5 Menepati janji<br />2.2.6 Bersikap ramah dan sopan<br />2.2.7 Mudah dihubungi<br />2.2 Memberikan layanan prima<br />2.2.8 Komunikatif<br />2.3.1. Memahami struktur organisasi sekolah/madrasah<br />2.3.2. Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif<br />2.3.3. Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota<br />2.3.4. Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi<br />2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi<br />2.3.5. Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah<br />2.4.1 Menjadi pendengar yang baik<br />2.4.2 Memahami pesan orang lain<br />2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas<br />2.4 Berkomunikasi efektif<br />2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal<br />2.5.1. Melakukan hubungan kerja yang harmonis<br />2.5.2. Memposisikan diri sesuai dengan peranannya<br />2.5 Membangun hubungan kerja<br />2.5.3. Memelihara hubungan internal dan eksternal<br />3. Kompetensi Teknis<br />3.1 Melaksanakan administrasi<br />3.1.1. Memahami pokok-pokok peraturan kepegawaian<br />7<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.1.2. Membantu melaksanakan prosedur dan mekanisme kepegawaian<br />3.1.3. Membantu merencanakan kebutuhan pegawai<br />kepegawaian<br />3.1.4. Menilai kinerja staf<br />3.2.1. Memahami peraturan keuangan yang berlaku<br />3.2.2. Membantu menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/Madrasah (RAPBS/M)<br />3.2 Melaksanakan administrasi keuangan<br />3.2.3. Membantu menyusun laporan pertanggung jawaban keuangan sekolah/madrasah<br />3.3.1 Memahami peraturan administrasi sarana dan prasarana<br />3.3.2 Membantu menyusun rencana kebutuhan<br />3.3.3 Membantu menyusun rencana pemanfaatan sarana operasional sekolah/madrasah<br />3.3 Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana<br />3.3.4 Membantu menyusun rencana perawatan<br />3.4.1 Membantu kelancaran kegiatan komite sekolah/madrasah<br />3.4.2 Membantu merencanakan program keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders)<br />3.4.3 Membantu membina kerja sama dengan pemerintah dan lembaga masyarakat<br />3.4 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat<br />3.4.4 Membantu mempromosikan sekolah/madrasah dan mengkoordinasikan<br />8<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />penelusuran tamatan<br />3.4.5 Melayani tamu sekolah/madrasah<br />3.5.1 Memahami peraturan kesekretariatan<br />3.5.2 Membantu melaksanakan program kesekretariatan<br />3.5.3 Membantu mengkoordinasikan program Kebersihan, Kesehatan, Keindahan, Ketertiban, Keamanan, Kekeluargaan, dan Kerindangan (7K)<br />3.5 Melaksanakan administrasi persuratan dan pengarsipan<br />3.5.4 Menyusun laporan<br />3.6.1 Membantu penerimaan siswa baru<br />3.6.2 Membantu orientasi siswa baru<br />3.6.3 Membantu menyusun program pengembangan diri siswa<br />3.6 Melaksanakan administrasi kesiswaan<br />3.6.4 Membantu menyiapkan laporan kemajuan belajar siswa<br />3.7.1 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Isi<br />3.7.2 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Proses<br />3.7.3 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Kompetensi Lulusan<br />3.7 Melaksanakan administrasi kurikulum<br />3.7.4 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Penilaian Pendidikan<br />3.8 Melaksanakan administrasi layanan khusus<br />3.8.1 Mengkoordinasikan petugas layanan khusus: penjaga sekolah/madrasah, tukang kebun tenaga kebersihan, pengemudi , dan pesuruh<br />9<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.8.2 Membantu mengkoordinasikan program layanan khusus antara lain Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), layanan konseling, laboratorium/bengkel, dan perpustakaan<br />3.9.1 Memanfaatkan TIK untuk kelancaran pelaksanaan administrasi sekolah/madrasah<br />3.9 Menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.9.2 Menggunakan TIK untuk mendokumentasikan administrasi sekolah/madrasah<br />4.1.1 Membantu merencanakan pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan<br />4.1.2 Membantu mengkoordinasikan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan<br />4.1 Mendukung pengelolaan standar nasional pendidikan<br />4.1.3 Membantu mendokumentasikan hasil pemantauan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan<br />4.2.1 Menentukan prioritas<br />4.2.2 Melakukan penugasan<br />4.2.3 Merumuskan tujuan<br />4.2.4 Menetapkan sumber daya<br />4.2.5 Menentukan strategi penyelesaian pekerjaan<br />4.2 Menyusun program dan laporan kerja<br />4.2.6 Menyusun laporan kerja<br />4.3.1 Menyusun uraian tugas tenaga kependidikan<br />4.3.2 Memberikan pemahaman tupoksi<br />4.3.3 Menyesuaikan rencana kerja dengan kemampuan organisasi<br />4. Kompetensi Manajeri<br />4.3 Mengorganisasi-kan staf<br />4.3.4 Menggunakan pendekatan<br />10<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />persuasif untuk mengkoordinasikan staf<br />4.3.5 Berinisiatif dalam pertemuan<br />4.3.6 Meningkatkan keefektifan kerja<br />4.3.7 Mengakomodasi ide-ide staf<br />4.3.8 Menjabarkan kebijakan organisasi<br />4.4.1 Memberi arahan kerja<br />4.4.2 Memotivasi staf<br />4.4 Mengembangkan staf<br />4.4.3 Memberdayakan staf<br />4.5.1 Mengidentifikasi masalah<br />4.5.2 Merumuskan masalah<br />4.5.3 Menentukan tindakan yang tepat<br />4.5.4 Memperhitungkan resiko<br />4.5 Mengambil keputusan<br />4.5.5 Mengambil keputusan partisipatif<br />4.6.1 Menciptakan hubungan kerja harmonis<br />4.6.2 Melakukan komunikasi interaktif<br />4.6 Menciptakan iklim kerja kondusif<br />4.6.3 Menghargai pendapat rekan kerja<br />4.7.1 Memberdayakan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dana, dan sumber daya alam<br />4.7 Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya<br />4.7.2 Mengadministrasikan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dana, dan sumber daya alam<br />4.8.1 Memantau pekerjaan staf<br />4.8.2 Menilai proses dan hasil kerja<br />4.8.3 Memberikan umpan balik<br />4.8 Membina staf<br />4.8.4 Melaporkan hasil pembinaan<br />4.9 Mengelola konflik<br />4.9.1 Mengidentifikasi sumber konflik<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />4.9.2 Mengidentifikasi alternatif penyelesaian<br />4.9.3 Menggali pendapat-pendapat<br />4.9.4 Memilih alternatif terbaik<br />4.10.1 Mengkoordinasikan penyusunan laporan<br />4.10 Menyusun laporan<br />4.10.2 Mengendalikan penyusunan laporan<br />2. Pelaksana Urusan<br />Kompetensi kepribadian, sosial, dan teknis pelaksana urusan adalah sebagai berikut.<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik<br />1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya<br />1.1.3 Berperilaku jujur<br />1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia<br />1.1.4 Menunjukkan komitmen terhadap tugas<br />1.2.1 Mengikuti prosedur kerja<br />1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu<br />1.2.3 Bertindak secara tepat<br />1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan<br />1.2.5 Meningkatkan kinerja<br />1.2 Memiliki etos kerja<br />1.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />1.3.1 Mengendalikan emosi<br />1.3.2 Bersikap tenang<br />1.3.3 Mengendalikan stres<br />1. Kompetensi Kepribadian<br />1.3 Mengendalikan diri<br />1.3.4 Berpikir positif<br />11<br />12<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.4.1 Memahami diri sendiri<br />1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri<br />1.4.3 Bertanggung jawab<br />1.4 Memiliki rasa percaya diri<br />1.4.4 Belajar dari kesalahan<br />1.5.1 Mengupayakan keterbukaan<br />1.5.2 Menghargai pendapat orang lain<br />1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain<br />1.5 Memiliki fleksibilitas<br />1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain<br />1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya<br />1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas<br />1.6 Memiliki ketelitian<br />1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja<br />1.7.1 Mengatur waktu<br />1.7.2 Mentaati peraturan yang berlaku<br />1.7 Memiliki kedisiplinan<br />1.7.3 Mentaati peraturan asas yang berlaku<br />1.8.1 Berpikir alternatif<br />1.8.2 Kaya ide/gagasan baru<br />1.8.3 Memanfaatkan peluang<br />1.8.4 Mengikuti perkembangan ipteks<br />1.8 Kreatif dan inovatif<br />1.8.5 Melakukan perubahan<br />1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan<br />1.9.2 Berani mengambil resiko<br />1.9 Memiliki tanggung jawab<br />1.9.3 Tidak melimpahkan kesa-lahan kepada pihak lain<br />2.1.1 Berpartisipasi dalam kelompok<br />2. Kompetensi Sosial<br />2.1 Bekerja sama dalam tim<br />2.1.2 Menghargai pendapat<br />13<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />orang lain<br />2.1.3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim<br />2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan<br />2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar<br />2.2.3 Berempati kepada pelanggan<br />2.2.4 Berpenampilan prima<br />2.2.5 Menepati janji<br />2.2.6 Bersikap ramah dan sopan<br />2.2.7 Mudah dihubungi<br />2.2 Memberikan layanan prima<br />2.2.8 Komunikatif<br />2.3.1 Memahami struktur organisasi Sekolah/madrasah<br />2.3.2 Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif<br />2.3.3 Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota<br />2.3.4 Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi<br />2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi<br />2.3.5 Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah<br />2.4.1 Menjadi pendengar yang baik<br />2.4.2 Memahami pesan orang lain<br />2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas<br />2.4 Berkomunikasi efektif<br />2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal<br />2.5.1 Melakukan hubungan kerja yang harmonis<br />2.5 Membangun hubungan kerja<br />2.5.2 Memposisikan diri sesuai dengan peranannya<br />14<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />2.5.3 Memelihara hubungan internal dan eksternal<br />Pelaksana Urusan Kepegawaian<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.1.1 Memahami pokok-pokok peraturan kepegawaian berdasarkan standar pendidik dan tenaga kependidikan<br />3.1.2 Membantu merencanakan kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan<br />3.1.3 Melaksanakan prosedur dan mekanisme kepegawaian<br />3.1.4 Mengelola buku induk, administrasi Daftar Urut Kepangkatan (DUK)<br />3.1.5 Melaksanakan registrasi dan kearsipan kepegawaian<br />3.1.6 Menyiapkan format- format kepegawaian<br />3.1.7 Memproses kepangkatan, mutasi, dan promosi pegawai<br />3.1 Mengadminis-trasikan kepegawaian<br />3.1.8 Menyusun laporan kepegawaian<br />3.2.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik kepegawaian<br />3.2.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan kepegawaian<br />3.2 Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.2.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kepegawaian<br />3. Kompetensi Teknis<br />Pelaksana Urusan Administrasi Keuangan<br />15<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.3.1 Membantu menghitung biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal<br />3.3 Mengadministrasikan keuangan sekolah/madra-sah<br />3.3.2 Membantu pimpinan mengatur arus dana<br />3.4.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik keuangan<br />3.4.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan keuangan<br />3.4 Menggunakan<br />Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.4.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan keuangan<br />Pelaksana Urusan Administrasi Sarana dan Prasarana<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.5.1 Mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana<br />3.5.2 Membantu merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana<br />3.5.3 Mengadakan sarana dan prasarana<br />3.5.4 Menginventarisasikan sarana dan prasarana<br />3.5.5 Mendistribusikan sarana dan prasarana<br />3.5.6 Memelihara sarana dan prasarana<br />3.5.7 Melaksanakan penghapusan sarana dan prasarana<br />3.5 Mengadministra-sikan standar sarana dan prasarana<br />3.5.8 Menyusun laporan sarana dan prasarana secara berkala<br />3.6.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik sarana dan prasarana<br />3.6 Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.6.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan<br />16<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />sarana dan prasarana<br />3.6.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan sarana dan prasarana<br />Pelaksana Urusan Administrasi Hubungan Sekolah dengan Masyarakat<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.7.1 Memfasilitasi kelancaran kegiatan komite sekolah/madrasah<br />3.7.2 Membantu merencanakan program keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders)<br />3.7.3 Membina kerja sama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat<br />3.7.4 Mempromosikan sekolah/madrasah<br />3.7.5 Mengkoordinasikan penelusuran tamatan<br />3.7 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat<br />3.7.6 Melayani tamu sekolah/madrasah<br />3.8.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan hubungan sekolah dengan masyarakat<br />3.8 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.8.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan hubungan sekolah dengan masyarakat<br />Pelaksana Urusan Administrasi Persuratan dan Pengarsipan<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.9.1 Menerapkan peraturan kesekretariatan<br />3.9 Melaksanakan administrasi persuratan dan<br />3.9.2 Melaksanakan program<br />17<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />kesekretariatan<br />3.9.3 Mengelola surat masuk dan keluar<br />3.9.4 Membuat konsep surat<br />3.9.5 Melaksanakan kearsipan sekolah/madrasah<br />3.9.6 Menyusutkan surat/dokumen<br />pengarsipan<br />3.9.7 Menyusun laporan administrasi persuratan dan pengarsipan<br />3.10.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi persuratan dan pengarsipan<br />3.10 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.10.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan persuratan dan pengarsipan<br />Pelaksana Urusan Administrasi Kesiswaan<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.11.1 Membantu kegiatan penerimaan peserta didik baru<br />3.11.2 Membantu kegiatan masa orientasi<br />3.11.3 Membantu mengatur rasio peserta didik per kelas<br />3.11.4 Mendokumentasikan prestasi akademik dan nonakademik<br />3.11.5 Membuat data statistik peserta didik<br />3.11.6 Menginventarisir program kerja pembinaan peserta didik secara berkala<br />3.11.7 Mendokumentasikan program kerja kesiswaan<br />3.11 Mengadministrasikan standar pengelolaan yang berkaitan dengan peserta didik<br />3.11.8 Mendokumentasikan program pengembangan diri<br />18<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.12.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi kesiswaan<br />3.12 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.12.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan urusan kesiswaan<br />Pelaksana Urusan Administrasi Kurikulum<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.13.1 Mendokumentasikan standar isi<br />3.13.2 Mendokumentasikan kurikulum yang berlaku<br />3.13 Mengadministra-sikan standar isi<br />3.13.3 Mendokumentasikan silabus<br />3.14.1 Menyiapkan format silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan penilaian hasil belajar<br />3.14 Mengadministra-sikan standar proses<br />3.14.2 Menyiapkan perangkat pengawasan proses pembelajaran<br />3.15.1 Mendokumentasikan bahan ujian/ulangan<br />3.15 Mengadministra-sikan standar penilaian<br />3.15.2 Mendokumentasikan penilaian hasil belajar oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah<br />3.16.1 Mendokumentasikan standar kompetensi lulusan satuan pendidikan<br />3.16.2 Mendokumentasikan standar kompetensi lulusan mata pelajaran<br />3.16 Mengadministra-sikan standar kompetensi lulusan<br />3.16.3 Mendokumentasikan<br />19<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />kriteria ketuntasan minimal<br />3.17.1 Membantu memfasilitasi pelaksanaan kurikulum dan silabus<br />3.17.2 Mendokumentasikan pemetaan kompetensi dasar tiap mata pelajaran per semester<br />3.17.3 Mendokumentasikan kurikulum, silabus, dan RPP<br />3.17.4 Mendokumentasikan Daftar Kumpulan Nilai (DKN) atau leger<br />3.17.5 Membantu menyusun grafik daya serap ketuntasan belajar per mata pelajaran<br />3.17 Mengadministra-sikan kurikulum dan silabus<br />3.17.6 Menyusun daftar buku-buku wajib<br />3.18.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi kurikulum<br />3.18 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.18.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kurikulum<br />Pelaksana Urusan Administrasi Umum SD/MI/SDLB<br />SD/MI/SDLB yang memiliki maksimal 6 (enam) rombongan belajar tidak perlu Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah, melainkan Pelaksana Urusan Administrasi Umum Sekolah/Madrasah, dengan kompetensi teknis sebagai berikut.<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.19.1 Melaksanakan administrasi kepegawaian<br />3.19.2 Melaksanakan administrasi keuangan<br />3.19 Melaksanakan administrasi sekolah/madra-sah<br />3.19.3 Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana<br />20<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.19.4 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat<br />3.19.5 Melaksanakan administrasi persuratan dan pengarsipan<br />3.19.6 Melaksanakan administrasi kesiswaan<br />3.19.7 Melaksanakan administrasi kurikulum<br />3.20.1 Mengoperasikan peralatan kantor/komputer<br />3.20 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)<br />3.20.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, persuratan dan pengarsipan, kesiswaan, dan kurikulum<br />3. Petugas Layanan Khusus<br />Kompetensi kepribadian, sosial, dan teknis petugas layanan khusus adalah sebagai berikut.<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik<br />1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya<br />1.1.3 Berperilaku jujur<br />1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia<br />1.1.4 Menunjukan komitmen terhadap tugas<br />1.2.1 Mengikuti prosedur kerja<br />1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu<br />1. Kompetensi Kepribadian<br />1.2 Memiliki etos kerja<br />1.2.3 Bertindak secara tepat<br />21<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan<br />1.2.5 Meningkatkan kinerja<br />1.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />1.3.1 Mengendalikan emosi<br />1.3.2 Bersikap tenang<br />1.3.3 Mengendalikan stres<br />1.3 Mengendalikan diri<br />1.3.4 Berpikir positif<br />1.4.1 Memahami diri sendiri<br />1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri<br />1.4.3 Bertanggung jawab<br />1.4 Memiliki rasa percaya diri<br />1.4.4 Belajar dari kesalahan<br />1.5.1 Mengupayakan keterbukaan<br />1.5.2 Menghargai pendapat orang lain<br />1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain<br />1.5 Memiliki fleksibilitas<br />1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain<br />1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya<br />1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas<br />1.6 Memiliki ketelitian<br />1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja<br />1.7.1 Mengatur waktu<br />1.7.2 Menaati aturan yang berlaku<br />1.7 Memiliki kedisiplinan<br />1.7.3 Menaati asas yang berlaku<br />1.8.1 Berpikir alternatif<br />1.8.2 Kaya ide/gagasan baru<br />1.8.3 Memanfaatkan peluang<br />1.8.4 Mengikuti perkembangan Ipteks<br />1.8 Kreatif dan inovatif<br />1.8.5 Melakukan perubahan<br />22<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan<br />1.9.2 Berani mengambil resiko<br />1.9 Memiliki tanggung jawab<br />1.9.3 Tidak melimpahkan kesalahan kepada pihak lain<br />2.1.1 Berpartisipasi dalam kelompok<br />2.1.2 Menghargai pendapat orang lain<br />2.1 Bekerja sama dalam tim<br />2.1.3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim<br />2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan<br />2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar<br />2.2.3 Berempati kepada pelanggan<br />2.2.4 Berpenampilan prima<br />2.2.5 Menepati janji<br />2.2.6 Bersikap ramah dan sopan<br />2.2.7 Mudah dihubungi<br />2.2 Memberikan layanan prima<br />2.2.8 Komunikatif<br />2.3.1 Memahami struktur organisasi sekolah/madrasah<br />2.3.2 Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif<br />2.3.3 Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota<br />2.3.4 Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi<br />2. Kompetensi Sosial<br />2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi<br />2.3.5 Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah<br />23<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />2.4.1 Menjadi pendengar yang baik<br />2.4.2 Memahami pesan orang lain<br />2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas<br />2.4 Berkomunikasi efektif<br />2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal<br />2.5.1 Melakukan hubungan kerja yang harmonis<br />2.5.2 Memposisikan diri sesuai dengan peranannya<br />2.5 Membangun hubungan kerja<br />2.5.3 Memelihara hubungan internal dan eksternal<br />Penjaga Sekolah/Madrasah<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.1.1 Mengenal peta wilayah sekolah/madrasah dengan baik<br />3.1 Menguasai kondisi keamanan sekolah/madra-sah<br />3.1.2 Memanfaatkan peta wilayah sekolah/madrasah untuk kepentingan keamanan sekolah/madrasah<br />3.2.1 Menguasai teknik bela diri<br />3.2 Menguasai teknik pengamanan sekolah/madra-sah<br />3.2.2 Merespons peristiwa dengan cepat dan tepat<br />3.3.1 Membuat dokumen/catatan tentang keamanan sekolah/madrasah<br />3.3.2 Melakukan tindakan pengamanan<br />3.3.3 Menggunakan peralatan keamanan<br />3. Kompetensi Teknis<br />3.3 Menerapkan prosedur operasi standar pengamanan sekolah/madra-sah<br />3.3.4 Menyampaikan laporan sesuai tugasnya<br />24<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />Tukang Kebun<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.4.1 Menggunakan peralatan pertanian dan atau perkebunan<br />3.4 Menguasai penggunaan peralatan pertanian dan atau perkebunan<br />3.4.2 Merawat peralatan pertanian dan atau perkebunan<br />3.5.1 Mengenal teknik penanaman<br />3.5 Menguasai pemeliharaan tanaman<br />3.5.2 Merawat tanaman<br />Tenaga Kebersihan<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.6.1 Menggunakan peralatan kebersihan<br />3.6 Menguasai teknik-teknik kebersihan<br />3.6.2 Memelihara peralatan kebersihan<br />3.7.1 Mewujudkan kebersihan sekolah/madrasah<br />3.7 Menjaga kebersihan sekolah/madra-sah<br />3.7.2 Memelihara kebersihan sekolah/madrasah<br />Pengemudi<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.8.1 Mengemudikan kendaraan<br />3.8.2 Mematuhi aturan lalu lintas<br />3.8 Menguasai teknik mengemudi<br />3.8.3 Memahami dan menggunakan peta<br />3.9.1 Merawat kendaraan<br />3.9 Menguasai teknik perawatan kendaraan<br />3.9.2 Mengurus kelengkapan dokumen kendaraan<br />Pesuruh<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.10 Mengenal<br />3.10.1 Mengenal peta wilayah<br />25<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />setempat<br />wilayah<br />3.10.2 Memanfaatkan peta wilayah untuk kepentingan penyampaian dokumen<br />3.11.1 Mengenal buku ekspedisi/lembar pengantar<br />3.11 Menguasai prosedur pengiriman dokumen dinas<br />3.11.2 Menggunakan buku ekspedisi/lembar pengantar dalam pengiriman dokumen<br />3.12.1 Membayar tagihan telepon, air, dan listrik<br />3.12.2 Menyiapkan kebutuhan rumah tangga sekolah/madrasah<br />3.12 Melayani kebutuhan rumah tangga sekolah/madra-sah<br />3.12.3 Merawat peralatan rumah tangga sekolah/madrasah<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendikan Nasional<br />Kepala Bagian Punyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan<br />Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-57505818991325494392009-05-13T07:03:00.000-07:002009-05-13T07:05:33.275-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008SALINAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 25 TAHUN 2008<br />TENTANG<br />STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah;<br />Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);<br />2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;<br />3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2005;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan: PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH.<br />Pasal 1<br />(1) Standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah mencakup kepala perpustakaan sekolah/madrasah dan tenaga perpustakaan sekolah/madrasah.<br />(2) Standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan.<br />Pasal 3<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 11 Juni 2008<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional,<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478<br />SALINAN<br />LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />NOMOR 25 TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008<br />STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH<br />A. KUALIFIKASI<br />Setiap sekolah/madrasah untuk semua jenis dan jenjang yang mempunyai jumlah tenaga perpustakaan sekolah/madrasah lebih dari satu orang, mempunyai lebih dari enam rombongan belajar (rombel), serta memiliki koleksi minimal 1000 (seribu) judul materi perpustakaan dapat mengangkat kepala perpustakaan sekolah/madrasah.<br />1. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Pendidik<br />Kepala perpustakaan sekolah/madrasah harus memenuhi syarat:<br />a. Berkualifikasi serendah-rendahnya diploma empat (D4) atau sarjana (S1);<br />b. Memiliki sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah;<br />c. Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun.<br />2. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Tenaga Kependidikan<br />Kepala perpustakaan sekolah dan madrasah harus memenuhi salah satu syarat berikut:<br />a. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun; atau<br />b. Berkualifikasi diploma dua (D2) non-Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan masa kerja minimal 4 tahun di perpustakaan sekolah/madrasah.<br />3. Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah<br />Setiap perpustakaan sekolah/madrasah memiliki sekurang-kurangnya satu tenaga perpustakaan sekolah/madrasah yang berkualifikasi SMA atau yang sederajat dan bersertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.<br />B. KOMPETENSI<br />1. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Mengarahkan tenaga perpustakaan untuk bekerja secara efektif dan efisien<br />1.1.2 Menggerakkan tenaga perpustakaan untuk bekerja secara efektif dan efisien<br />1.1.3 Membina tenaga perpustakaan untuk pengembangan pribadi dan karir<br />1.1 Memimpin tenaga perpustakaan sekolah/madrasah<br />1.1.4 Menjadi teladan dalam melaksanakan tugas<br />1.2.1 Merencanakan program pengembangan<br />1.2.2 Merencanakan pengembangan sumber daya perpustakaan<br />1.2 Merencanakan program perpustakaan sekolah/madrasah<br />1.2.3 Merencanakan anggaran<br />1.3.1 Melaksanakan program pengembangan<br />1.3.2 Melaksanakan pengembangan sumber daya perpustakaan<br />1.3.3 Memanfaatkan anggaran sesuai dengan program<br />1. Kompetensi Manajerial<br />1.3 Melaksanakan program perpustakaan sekolah/madrasah<br />1.3.4 Mengupayakan bantuan finansial dari berbagai sumber<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.4.1 Memantau pelaksanaan program pengembangan<br />1.4.2 Memantau pengembangan sumberdaya perpustakaan<br />1.4 Memantau pelaksanaan program perpustakaan sekolah/madrasah<br />1.4.3 Memantau penggunaan anggaran<br />1.5.1 Mengevaluasi program pengembangan<br />1.5.2 Mengevaluasi pengembangan sumber daya perpustakaan<br />1.5 Mengevaluasi program perpustakaan sekolah/madrasah<br />1.5.3 Mengevaluasi pemanfaatan anggaran<br />2.1.1 Memiliki pengetahuan mengenai penerbitan<br />2.1.2 Memiliki pengetahuan tentang karya sastra Indonesia dan dunia<br />2.1.3 Memiliki pengetahuan tentang sumber biografi tokoh nasional dan dunia<br />2.1.4 Menggunakan berbagai alat bantu seleksi untuk pemilihan materi perpustakaan<br />2.1.5 Mengkoordinasi pemilihan materi perpustakaan bekerja sama dengan tenaga pendidik bidang studi<br />2. Kompetensi Pengelolaan Informasi<br />2.1 Mengembangkan koleksi perpustakaan sekolah/madrasah<br />2.1.6 Membuat kriteria tentang buku hadiah dan lembaga donor<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />2.1.7 Mengevaluasi dan menyeleksi sumber daya informasi<br />2.1.8 Bekerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengembangan koleksi<br />2.1.9 Melakukan pemesanan, penerimaan, dan pencatatan<br />2.1.10 Mendayagunakan teknologi tepat guna untuk keperluan perawatan bahan perpustakaan<br />2.2.1 Membuat deskripsi bibliografis (pengatalogan) sesuai dengan standar nasional<br />2.2.2 Menentukan deskripsi subjek dan menggunakan Dewey Decimal Classification edisi ringkas<br />2.2.3 Menggunakan daftar tajuk subjek dalam bahasa Indonesia<br />2.2.4 Menjajarkan kartu katalog<br />2.2 Mengorganisasi informasi<br />2.2.5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengorganisasian dan penelusuran informasi<br />2.3 Memberikan jasa dan sumber informasi<br />2.3.1 Merancang dan memberikan jasa informasi, termasuk referensi<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />2.3.2 Menyelenggarakan jasa sirkulasi<br />2.3.3 Memiliki pengetahuan mengenai sumber referensi<br />2.3.4 Memberikan bimbingan penggunaan perpustakaan bagi komunitas sekolah/madrasah<br />2.4.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan<br />2.4 Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi<br />2.4.2 Membimbing komunitas sekolah/madrasah dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi<br />3.1.1 Memahami tujuan dan fungsi sekolah/madrasah dalam konteks pendidikan nasional<br />3.1.2 Memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang berlaku<br />3.1.3 Memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar<br />3.1 Memiliki wawasan kependidikan<br />3.1.4 Memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri<br />3. Kompetensi Kependidikan<br />3.2 Mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi<br />3.2.1 Menganalisis kebutuhan informasi komunitas sekolah/madrasah<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.2.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi proses pembelajaran<br />3.2.3 Membantu komunitas sekolah/madrasah menggunakan sumber informasi secara efektif<br />3.3.1 Mengorganisasi promosi perpustakaan<br />3.3.2 Menginformasikan kepada komunitas sekolah/ madrasah tentang materi perpustakaan yang baru<br />3.3 Mempromosikan perpustakaan<br />3.3.3 Membimbing komunitas sekolah/madrasah untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan<br />3.4.1 Mengidentifikasi kemampuan dasar literasi informasi pengguna<br />3.4.2 Menyusun panduan dan materi bimbingan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna<br />3.4.3 Membimbing pengguna mencapai literasi informasi<br />3.4.4 Mengevaluasi pencapaian bimbingan literasi informasi<br />3.4 Memberikan bimbingan literasi informasi<br />3.4.5 Memotivasi dan mengembangkan minat baca komunitas sekolah/madrasah<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.4.6 Menciptakan kiat pengembangan perpustakaan sekolah/madrasah<br />4.1.1 Disiplin, bersih, dan rapi<br />4.1.2 Jujur dan adil<br />4.1 Memiliki integritas yang tinggi<br />4.1.3 Sopan, santun, sabar, dan ramah<br />4.2.1 Mengikuti prosedur kerja<br />4.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu<br />4.2.3 Bertindak secara tepat<br />4.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan<br />4.2.5 Meningkatkan kinerja<br />4. Kompetensi Kepribadian<br />4.2 Memiliki etos kerja yang tinggi<br />4.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />5.1.1 Berinteraksi dengan komunitas sekolah/madrasah<br />5.1 Membangun Hubungan sosial<br />5.1.2 Bekerja sama dengan komunitas sekolah/madrasah<br />5.2.1 Memberikan jasa untuk komunitas sekolah/madrasah<br />5. Kompetensi Sosial<br />5.2 Membangun Komunikasi<br />5.2.2 Mengintensifkan komunikasi internal dan eksternal<br />6.1.1 Membuat karya tulis, di bidang ilmu perpustakaan dan informasi<br />6.1.2 Meresensi dan meresume buku<br />6. Kompetensi Pengembangan Profesi<br />6.1 Mengembangkan ilmu<br />6.1.3 Menyusun pedoman dan petunjuk teknis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />6.1.4 Membuat indeks<br />6.1.5 Membuat bibliografi<br />6.1.6 Membuat abstrak<br />6.2.1 Menerapkan kode etik profesi<br />6.2.2 Menghormati hak atas kekayaan intelektual<br />6.2 Menghayati etika profesi<br />6.2.3 Menghormati privasi pengguna<br />6.3.1 Menyediakan waktu untuk membaca setiap hari<br />6.3 Menunjukkan kebiasaan membaca<br />6.3.2 Gemar membaca<br />2. Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.1.1 Melaksanakan pengembangan perpustakaan<br />1.1.2 Mengorganisasi sumber daya perpustakaan<br />1.1.3 Melaksanakan fungsi, tugas, dan program perpustakaan<br />1.1 Melaksanakan kebijakan<br />1.1.4 Mengevaluasi program dan kinerja perpustakaan<br />1.2.1 Melakukan perawatan preventif<br />1.2 Melakukan perawatan koleksi<br />1.2.2 Melakukan perawatan kuratif<br />1. Kompetensi Manajerial<br />1.3 Melakukan pengelolaan anggaran dan keuangan<br />1.3.1 Membantu menyusun anggaran perpustakaan<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />1.3.2 Menggunakan anggaran secara efisien, efektif, dan bertanggung jawab<br />1.3.3 Melaksanakan pelaporan penggunaan keuangan dan anggaran<br />2.1.1 Memiliki pengetahuan mengenai penerbitan<br />2.1.2 Memiliki pengetahuan tentang karya sastra Indonesia dan dunia<br />2.1.3 Memiliki pengetahuan tentang sumber biografi tokoh nasional dan dunia<br />2.1.4 Menggunakan berbagai alat bantu seleksi untuk pemilihan materi perpustakaan<br />2.1.5 Berkoordinasi dengan tenaga pendidik bidang studi terkait dalam pemilihan materi perpustakaan<br />2.1 Mengembangkan koleksi perpustakaan sekolah/madrasah<br />2.1.6 Melakukan pemesanan, penerimaan, dan pencatatan<br />2.2.1 Membuat deskripsi bibliografis (pengatalogan) sesuai dengan standar nasional<br />2.2.2 Menentukan deskripsi subjek dan menggunakan Dewey Decimal Classification edisi ringkas<br />2. Kompetensi Pengelolaan Informasi<br />2.2 Melakukan pengorganisasian informasi<br />2.2.3 Menggunakan daftar tajuk subjek dalam bahasa Indonesia<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />2.2.4 Menjajarkan kartu katalog<br />2.2.5 Memanfaatkan teknologi untuk pengorganisasian informasi dan penelusuran<br />2.3.1 Memberikan layanan baca di tempat<br />2.3.2 Memberikan jasa informasi dan referensi<br />2.3.3 Menyelenggarakan jasa sirkulasi (peminjaman buku)<br />2.3.4 Memberikan bimbingan penggunaan perpustakaan bagi komunitas sekolah/madrasah<br />2.3 Memberikan jasa dan sumber informasi<br />2.3.5 Melakukan kerja sama dengan perpustakaan lain<br />2.4.1 Membimbing komunitas sekolah/madrasah dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi<br />2.4 Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi<br />2.4.2 Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan<br />3.1.1 Memahami tujuan dan fungsi sekolah/ madrasah dalam konteks pendidikan nasional<br />3. Kompetensi Kependidikan<br />3.1 Memiliki wawasan kependidikan<br />3.1.2 Memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang berlaku<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.1.3 Memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar<br />3.1.4 Memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri<br />3.2.1 Menganalisis kebutuhan informasi komunitas sekolah/madrasah<br />3.2.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi proses pembelajaran<br />3.2 Mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi<br />3.2.3 Membantu komunitas sekolah/madrasah menggunakan sumber informasi secara efektif<br />3.3.1 Menginformasikan kepada komunitas sekolah/ madrasah tentang materi perpustakaan yang baru<br />3.3.2 Membimbing komunitas sekolah/madrasah untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan<br />3.3.3 Mengorganisasi pajangan dan pameran materi perpustakaan<br />3.3 Melakukan promosi perpustakaan<br />3.3.4 Membuat dan menyebarkan media promosi jasa perpustakaan<br />3.4 Memberikan bimbingan literasi informasi<br />3.4.1 Mengidentifikasi kemampuan dasar literasi informasi pengguna<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />3.4.2 Menyusun panduan dan materi bimbingan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna<br />3.4.3 Membimbing pengguna mencapai literasi informasi<br />3.4.4 Mengevaluasi pencapaian bimbingan literasi informasi<br />3.4.5 Memotivasi dan mengembangkan minat baca komunitas sekolah/madrasah<br />4.1.1 Disiplin, bersih, dan rapi<br />4.1.2 Jujur dan adil<br />4.1 Memiliki integritas yang tinggi<br />4.1.3 Sopan, santun, sabar, dan ramah<br />4.2.1Mengikuti prosedur<br />4.2.2Mengupayakan hasil<br />4.2.3Bertindak secara tepat<br />4.2.4Fokus pada tugas<br />4.2.5Meningkatkan kinerja<br />4. Kompetensi Kepribadian<br />4.2 Memiliki etos kerja yang tinggi<br />4.2.6 Melakukan evaluasi diri<br />5.1.1 Berinteraksi dengan komunitas sekolah/madrasah<br />5.1 Membangun Hubungan sosial<br />5.1.2 Bekerja sama dengan komunitas sekolah/madrasah<br />5.2.1 Memberikan jasa untuk komunitas sekolah/madrasah<br />5. Kompetensi Sosial<br />5.2 Membangun<br />Komunikasi<br />5.2.2 Mengintensifkan komunikasi internal dan eksternal<br />DIMENSI KOMPETENSI<br />KOMPETENSI<br />SUB-KOMPETENSI<br />6.1.1 Membuat karya tulis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi<br />6.1.2 Meresensi dan meresume buku<br />6.1.3 Menyusun pedoman dan petunjuk teknis ilmu perpustakaan dan informasi<br />6.1.4 Membuat indeks<br />6.1.5 Membuat bibliografi<br />6.1 Mengembangkan ilmu<br />6.1.6 Membuat abstrak<br />6.2.1 Menerapkan kode etik profesi<br />6.2.2 Menghormati hak atas kekayaan intelektual<br />6.2 Menghayati etika profesi<br />6.2.3 Menghormati privasi pengguna<br />6.3.1 Menyediakan waktu untuk membaca setiap hari<br />6. Kompetensi Pengembangan Profesi<br />6.3 Menunjukkan kebiasaan membaca<br />6.3.2 Gemar membaca<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-38460348289568470442009-05-13T07:02:00.000-07:002009-05-13T07:03:48.499-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007Peraturan<br />Menteri Pendidikan Nasional<br />Republik Indonesia<br />Nomor 41 Tahun 2007<br />Tentang<br />STANDAR<br />Proses<br />UNTUK SATUAN PENDIDIKAN<br />DASAR DAN MENENGAH<br />Badan Standar Nasional Pendidikan<br />Tahun 2007<br /><br />iii<br />KATA PENGANTAR<br />Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayahNya, sehingga Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyelesaikan<br />Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar ini dikembangkan oleh tim adhoc selama delapan bulan pada tahun 2006. Tim adhoc ini dibentuk oleh BSNP, dan anggota tim ini terdiri dari para ahli dan praktisibidang<br />pendidikan. Alhamdulillah standar proses ini telah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 tahun 2007, tentang Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.<br />Pengembangan standar proses ini melalui perjalanan yang cukup panjang yaitu: temu awal, pengakajian bahan dasar,<br />pengumpulan data lapangan, pengolahan data lapangan, penyusunan naskah akademik, penyusunan draf standar, reviu<br />draf standar dan naskah akademik, validasi draf standar dan naskah akademik, lokakarya pembahasan draf standar dan naskah akademik, pembahasan draf standar dengan Unit Utama Depdiknas, finalisasi draf standar dan naskah akademik untuk uji publik, uji publik yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam skala yang lebih luas, finalisasi draf standar dan naskah akademik, dan terakhir rekomendasi draf final standar proses dan naskah akademik. BSNP juga membahas dalam setiap<br />iv<br />perkembangan draf standar dan naskah akdemik.<br />BSNP menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih<br />kepada semua anggota tim ad hoc yang telah bekerja giat dengan semangat yang tinggi serta kepada semua pihak yang telah memberi masukan pada draf standar proses dan naskah akademiknya. Semoga buku ini dapat digunakan sebagai<br />acuan dalam pelaksanaan pendidikan di setiap tingkat<br />dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.<br />Jakarta, November 2007, Ketua,<br />Prof. Djemari Mardapi, Ph.D<br />v<br />Daftar Isi<br />KATA PENGANTAR......................................................... iii<br />DAFTAR ISI..................................................................... v<br />Salinan PERATURAN MENTERI<br />PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG<br />STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN<br />DASAR DAN MENENGAH ............................................. 1<br />L<br />AMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN<br />NASIONAL NOMOR 41 TAHUN 2007<br />TANGGAL 23 NOVEMBER 2007 STANDAR PROSES<br />UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN<br />MENENGAH.................................................................... 5<br />I. PENDAHULUAN....................................................... 5<br />II. PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN......... 7<br />A. Silabus ................................................................ 7<br />B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ................. 8<br />C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP......................... 11<br />III. PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN.......... 12<br />A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran 12<br />B. Pelaksanaan Pembelajaran ................................ 14<br />vi<br />IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN........................ 18<br />V. PENGAWASAN PROSES PEMBELAJARAN........... 18<br />A. Pemantauan......................................................... 18<br />B. Supervisi.............................................................. 19<br />C. Evaluasi............................................................... 19<br />D. Pelaporan............................................................. 20<br />E. Tindak lanjut......................................................... 20<br />GLOSARIUM................................................................... 21<br />SALINAN<br />PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 41 TAHUN 2007<br />TENTANG<br />STANDAR PROSES<br />UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR<br />DAN MENENGAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan<br />Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,<br />perlu menetapkan Peraturan Menteri<br />Pendidikan Nasional tentang Standar Proses<br />Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />1<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2.<br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun<br />2005 tentang Standar Nasional Pendidikan<br />(Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan<br />Lembaran<br />Negara Republik Indonesia<br />Nomor 4496);<br />3.<br />Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,<br />Susunan<br />Organisasi, dan Tatakerja Kementerian<br />Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan<br />Presiden Nomor 62 Tahun 2005;<br />4.<br />Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai pembentukan Kabinet Indonesia<br />Bersatu sebagaimana<br />telah beberapa<br />kali diubah terakhir dengan Keputusan<br />Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />TENTANG STANDAR PROSES<br />UNTUK<br />SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.<br />2<br />Pasal 1<br />(1) Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah<br />mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,<br />dan pengawasan proses pembelajaran.<br />(2) Standar Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum<br />pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 23 November 2007<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional,<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478<br />3<br /><br />SALINAN<br />LAMPIRAN<br />PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />NOMOR 41 TAHUN 2007<br />TANGGAL 23 NOVEMBER 2007<br />STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN<br />DASAR DAN MENENGAH<br />I. PENDAHULUAN<br />Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan<br />nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya<br />sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga<br />mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.<br />Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang ber5<br />langsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan,<br />dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.<br />Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang<br />dan karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.<br />Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan<br />pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum<br />Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada<br />6<br />jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.<br />Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran,<br />pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,<br />dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya<br />proses pembelajaran yang efektif dan efisien.<br />II. PERENCANAAN PROSES<br />PEMBELAJARAN<br />Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi<br />dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran,<br />kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.<br />A. Silabus<br />Silabus<br />sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, materi<br />pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian<br />kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber<br />belajar. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan<br />(SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat<br />Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah<br />7<br />Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan. Pengembangan silabus disusun<br />di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung<br />jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan<br />untuk SMA dan SMK, serta departemen yang menangani<br />urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.<br />B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran<br />RPP<br />dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan<br />belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun<br />RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.<br />RPP<br />disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.<br />Komponen RPP adalah :<br />1. Identitas mata pelajaran<br />Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran<br />atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.<br />2. Standar kompetensi<br />Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan<br />minimal peserta didik yang menggambarkan<br />8<br />penguasaan<br />pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.<br />3. Kompetensi dasar<br />Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu<br />sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi<br />dalam suatu pelajaran.<br />4. Indikator pencapaian kompetensi<br />Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian<br />mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional<br />yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.<br />5. Tujuan pembelajaran<br />Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil<br />belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik<br />sesuai dengan kompetensi dasar.<br />6. Materi ajar<br />Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur<br />yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.<br />7. Alokasi waktu<br />Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk<br />pencapaian KD dan beban belajar.<br />8. Metode pembelajaran<br />Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela9<br />jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan<br />metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi<br />dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap<br />indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI.<br />9. Kegiatan pembelajaran<br />a. Pendahuluan<br />Pendahuluan<br />merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk<br />membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.<br />b. Inti<br />Kegiatan<br />inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan<br />secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,<br />menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.<br />c. Penutup<br />Penutup<br />merupakan kegiatan yang dilakukan untuk<br />mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan,<br />penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak<br />10<br />lanjut.<br />10. Penilaian hasil belajar<br />Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar<br />disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi<br />dan mengacu kepada Standar Penilaian.<br />11. Sumber belajar<br />Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.<br />C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP<br />1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik<br />RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.<br />2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik<br />Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas,<br />inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.<br />3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis<br />Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan<br />kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan,<br />dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.<br />4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut<br />RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.<br />11<br />5. Keterkaitan dan keterpaduan<br />RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan<br />pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi,<br />penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan<br />pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.<br />6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi<br />RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi,<br />sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.<br />III. PELAKSANAAN PROSES<br />PEMBELAJARAN<br />A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran<br />1. Rombongan belajar<br />Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar<br />adalah:<br />a. SD/MI : 28 peserta didik<br />b. SMP/MT : 32 peserta didik<br />c. SMA/MA : 32 peserta didik<br />d. SMK/MAK : 32 peserta didik<br />2. Beban kerja minimal guru<br />a. beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,<br />menilai hasil pembelajaran, membim12<br />bing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan<br />tugas tambahan;<br />b. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf<br />a di atas adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh<br />empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.<br />2. Buku teks pelajaran<br />a. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah/<br />madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;<br />b. rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;<br />c. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku referensi<br />dan sumber belajar lainnya;<br />d. guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di perpustakaan<br />sekolah/madrasah.<br />3. Pengelolaan kelas<br />a. guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik<br />peserta didik dan mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;<br />b. volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik;<br />c. tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;<br />d. guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan<br />dan kemampuan belajar peserta didik;<br />e. guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenya13<br />manan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan<br />dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;<br />f. guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap<br />respons dan hasil belajar peserta didik selama<br />proses pembelajaran berlangsung;<br />g. guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan status<br />sosial ekonomi;<br />h. guru menghargai pendapat peserta didik;<br />i. guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;<br />j. pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus<br />mata pelajaran yang diampunya; dan<br />k. guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran<br />sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.<br />B. Pelaksanaan Pembelajaran<br />Pelaksanaan<br />pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan,<br />kegiatan inti dan kegiatan penutup.<br />1. Kegiatan Pendahuluan<br />Dalam kegiatan pendahuluan, guru:<br />a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;<br />b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan<br />pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;<br />c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;<br />d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan<br />14<br />uraian<br />kegiatan sesuai silabus.<br />2. Kegiatan Inti<br />Pelaksanaan<br />kegiatan inti merupakan proses pembelajaran<br />untuk mencapai KD yang dilakukan secara<br />interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi<br />peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,<br />dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.<br />Kegiatan<br />inti menggunakan metode yang disesuaikan<br />dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran,<br />yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.<br />a. Eksplorasi<br />Dalam kegiatan eksplorasi, guru:<br />1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip<br />alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;<br />2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran,<br />media pembelajaran, dan sumber belajar lain;<br />3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan,<br />dan sumber belajar lainnya;<br />4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap<br />kegiatan pembelajaran; dan<br />5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan<br />di laboratorium, studio, atau lapangan.<br />15<br />b. Elaborasi<br />Dalam kegiatan elaborasi, guru:<br />1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis<br />yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang<br />bermakna;<br />2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan<br />gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;<br />3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis,<br />menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;<br />4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;<br />5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;<br />6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;<br />7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;<br />8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran,<br />turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;<br />9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya<br />diri peserta didik.<br />c. Konfirmasi<br />Dalam kegiatan konfirmasi, guru:<br />1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun<br />16<br />hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,<br />2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi<br />dan elaborasi peserta didik melalui berbagai<br />sumber,<br />3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,<br />4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:<br />a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator<br />dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;<br />b) membantu menyelesaikan masalah;<br />c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;<br />d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;<br />e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.<br />3. Kegiatan Penutup<br />Dalam kegiatan penutup, guru:<br />a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;<br />b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten<br />dan terprogram;<br />c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;<br />17<br />d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan<br />konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas<br />individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;<br />e. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan<br />berikutnya.<br />IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN<br />Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan<br />hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.<br />Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram<br />dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk<br />tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.<br />V. PENGAWASAN PROSES<br />PEMBELAJARAN<br />A. Pemantauan<br />1. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap<br />perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.<br />18<br />2. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara,<br />dan dokumentasi.<br />3. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.<br />B. Supervisi<br />1. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.<br />2. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.<br />3. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas<br />satuan pendidikan.<br />C. Evaluasi<br />1. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan<br />kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.<br />2. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan<br />cara:<br />a. membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan<br />guru dengan standar proses,<br />b. mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran<br />sesuai dengan kompetensi guru.<br />3. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan<br />kinerja guru dalam proses pembelajaran.<br />19<br />D. Pelaporan<br />Hasil<br />kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasiproses<br />pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan.<br />E. Tindak lanjut<br />1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.<br />2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar.<br />3. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran<br />lebih lanjut.<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional,<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,<br />Muslikh, S.H.<br />NIP 131479478<br />20<br />GLOSARIUM<br />Afektif<br />:<br />Berkaitan dengan sikap, perasaan dan nilai.<br />Alam takam-<br />bang jadi guru<br />:<br />Menjadikan alam dalam lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, tempat berguru.<br />beban kerja<br />guru<br />:<br />1. Sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam<br />satu minggu, mencakup kegiatan pokok merencanakan pembelajaran, melaksanakan<br />pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan (UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 35 ayat 1 dan 2).<br />2. Beban maksimal dalam mengorganisasikan proses belajar dan pembelajaran yang bermutu<br />: SD/MI/SDLB 27 jam @ 35 menit, SMP/MTs/<br />SMPLB 18 jam @ 40 menit, SAM/MA/SMK/MAK/SMALB 18 jam @ 45 menit (Standar Proses).<br />Belajar<br />:<br />Perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas<br />pribadi seseorang sebagai akibat pengolahan<br />atas pengalaman yang diperolehnya dan praktik yang dilakukannya.<br />belajar aktif<br />:<br />Kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan,<br />merefleksi rangsangan, dan memecahkan<br />masalah.<br />belajar mandiri<br />:<br />Kegiatan atas prakarsa sendiri dalam menginternalisasi<br />pengetahuan, sikap dan keterampilan,<br />tanpa tergantung atau mendapat bimbingan<br />langsung dari orang lain.<br />21<br />Budaya membaca menulis<br />:<br />Semua kegiatan yang berkenaan dengan kemampuan<br />berbahasa (mendengarkan, berbicara,<br />membaca, dan menulis). Proses penulisan<br />dilakukan dengan keterlibatan peserta didik dengan tahapan kegiatan: pra penulisan, buram 1, revisi, buram 2, pengecekan tanda baca,<br />dan terakhir publikasi di mana peserta didik menentukan karyanya dimuat di buku kelas, mading,<br />majalah sekolah, atau majalah yang ada di daerah setempat.<br />Daya saing<br />:<br />Kemampuan untuk menunjukkan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna.<br />indikator kompetensi<br />:<br />Bukti yang menunjukkan telah dikuasainya kompetensi<br />dasar<br />klasikal<br />:<br />Cara mengelola kegiatan belajar dengan sejumlah<br />peserta didik dalam suatu kelas, yang memungkinkan belajar bersama, berkelompok dan individual.<br />kognitif<br />:<br />Berkaitan dengan atau meliputi proses rasional untuk menguasai pengetahuan dan pemahaman konseptual. Periksa taksonomi tujuan belajar kognitif.<br />kolaboratif<br />:<br />Kerjasama dalam pemecahan maalah dan atau penyelesaian suatu tugas dimana tiap anggota melaksanakan fungsi yang saling mengisi dan melengkapi.<br />kolokium<br />:<br />Suatu kegiatan akademik dimana seseorang mempresentasikan<br />apa yang telah dipelajari kepada<br />suatu kelompok atau kelas, dan menjawab<br />pertanyaan mengenai presentasinya dari anggota kelompok atau kelas.<br />22<br />kompetensi<br />:<br />1. Seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung<br />jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.<br />2. Keseluruhan sikap, keterampilan, dan pengetahuan<br />yang dinyatakan dengan ciri yang dapat diukur.<br />kompetensi dasar (KD)<br />:<br />Kemampuan minimal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan efektif.<br />kooperatif<br />:<br />Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok demi untuk kepentingan bersama (mutual benefit).<br />metakognisi<br />:<br />Kognisi yang lebih komprehensif, meliputi pengetahuan<br />strategik (mampu membuat ringkasan, menyusun struktur pengetahuan), pengetahuan tentang tugas kognitif (mengetahui tuntutan kognitif<br />untuk berbagai keperluan), dan pengetahuan<br />tentang diri (Briggs menggunakan istilah “prinsip”).<br />paradigma<br />:<br />Cara pandang dan berpikir yang mendasar.<br />pembelajaran<br />:<br />(1) Proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU Sisdiknas);<br />(2) Usaha sengaja, terarah dan bertujuan oleh seseorang atau sekelompok orang (termasuk<br />guru dan penulis buku pelajaran) agar orang lain (termasuk peserta didik), dapat memperoleh pengalaman yang bermakna.<br />Usaha ini merupakan kegiatan yang berpusat<br />pada kepentingan peserta didik.<br />23<br />pembelajaran berbasis masalah<br />:<br />Pengorganisasian proses belajar yang dikaitkan dengan masalah konkret yang dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan atau mata pelajaran. Misalnya masalah “bencana alam” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan Agama.<br />pembelajaran berbasis proyek<br />:<br />Pengorganisasian proses belajar yang dikaitkan<br />dengan suatu objek konkret yang dapat ditinjau<br />dari berbagai disiplin keilmuan atau mata<br />pelajaran. Misalnya objek “sepeda” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa, IPA, IPS, dan Penjasorkes.<br />penilaian otentik<br />:<br />Usaha untuk mengukur atau memberikan penghargaan<br />atas kemampuan seseorang yang benar-benar menggambarkan apa yang dikuasainya. Penilaian ini dilakukan dengan berbagai<br />cara seperti tes tertulis, kolokium, portofolio,<br />unjuk kerja, unjuk tindak (berdikusi, berargumentasi, dan lain-lain), observasi dan lain-lain.<br />portofolio<br />:<br />Suatu berkas karya yang disusun berdasarkan sistematika tertentu, sebagai bukti penguasaan atas tujuan belajar.<br />prakarsa<br />:<br />Daya atau kemampuan seseorang atau lembaga untuk memulai sesuatu yang berdampak positif terhadap diri dan lingkungannya.<br />reflektif<br />:<br />Berkaitan dengan usaha untuk mengolah atau mentransformasikan rangsangan dari<br />penginderaan<br />dengan pengalaman, pengetahuan,<br />dan kepercayaan yang telah dimiliki.<br />remedi<br />:<br />Usaha pengulangan pembelajaran dengan cara yang lain setelah dilakukan diagnosa masalah belajar.<br />24<br />sistematik<br />:<br />Usaha yang dilakukan secara berurutan agar tujuan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.<br />sistemik<br />:<br />Holistik: cara memandang segala sesuatu sebagai<br />bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.<br />standar isi (SI)<br />:<br />Ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi<br />tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi<br />mata pelajaran, dan silabus pembelajaran<br />yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada<br />jenjang dan jenis pendidikan tertentu (PP 19 Tahun 2005).<br />standar kom-petensi (SK)<br />:<br />Ketentuan pokok untuk dijabarkan lebih lanjut<br />dalam serangkaian kemampuan untuk melaksanakan<br />tugas atau pekerjaan secara efektif.<br />standar kompetensi lulusan (SKL)<br />:<br />Ketentuan pokok untuk menunjukkan kemampuan<br />melaksanakan tugas atau pekerjaan setelah<br />mengikuti serangkaian program pembelajaran.<br />strategi<br />:<br />Pendekatan menyeluruh yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dan biasanya dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori tertentu.<br />sumber belajar<br />:<br />Segala sesuatu yang mengandung pesan, baik yang sengaja dikembangkan atau yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengalaman dan atau praktik yang memungkinkan terjadinya<br />belajar. Sumber belajar dapat berupa narasumber,<br />buku, media non-buku, teknik dan lingkungan.<br />25<br />taksonomi tujuan belajar kognitif<br />:<br />(1) Meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi,<br />analisis, sintesis dan evaluasi (Benjamin<br />Bloom dkk, 1956).<br />(2) Terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan<br />yang terdiri atas faktual, konseptual, prosedural, dan metakognisi, dan dimensi proses kognitif yang meliputi mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,<br />mengevaluasi dan mencipta (Lorin W. Anderson dkk, 2001, sebagai revisi<br />dari taksonomi Bloom dkk.).<br />tematik<br />:<br />Berkaitan dengan suatu tema yang berupa subjek atau topik yang dijadikan pokok pembahasan.<br />Contoh: pembelajaran tematik di kelas I SD dengan tema ”Aku dan Keluargaku”. Tema tersebut dijadikan dasar untuk berbagai mata pelajaran, termasuk Bahasa Indonesia, Agama, Matematika dan lain-lain.<br />26Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-61723574997673145952009-05-13T06:59:00.000-07:002009-05-13T07:01:11.130-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 200795<br />PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 6 TAHUN 2007<br />TENTANG<br />PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG<br />STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN<br />PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006<br />TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN<br />PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka perluasan akses sosialisasi Standar Isi dan<br />Standar Kompetensi Lulusan, perlu mengubah Peraturan Menteri<br />Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan<br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006<br />tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan<br />Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23<br />Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan<br />Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar<br />Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia<br />Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Nomor 4496);<br />2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,<br />Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah<br />beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden<br />Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;<br />3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun<br />2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan<br />Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun<br />2005;<br />4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006<br />tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan<br />Menengah;<br />96<br />5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006<br />tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan<br />Pendidikan Dasar dan Menengah;<br />MEMUTUSKAN :<br />Menetapkan : PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN<br />PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22<br />TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN<br />PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006<br />TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK<br />SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.<br />Pasal I<br />Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24<br />Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor<br />22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan<br />Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006<br />tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan<br />Menengah diubah sebagai berikut.<br />1. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />Pasal 1<br />(4) Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model<br />kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun<br />oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan<br />Nasional bersama unit utama terkait.<br />2. Ketentuan dalam Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:<br />Pasal 5<br />Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:<br />a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun<br />2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,<br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang<br />Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,<br />panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan<br />menengah, dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan<br />97<br />menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan<br />secara nasional;<br />b. melakukan bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum<br />yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22<br />Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan<br />Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun<br />2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar<br />dan Menengah.<br />c. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan<br />pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan<br />Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk<br />Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan<br />Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk<br />Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.<br />Pasal II<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 13 Februari 2007<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD.<br />BAMBANG SUDIBYOAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-46087479054753364522009-05-13T06:49:00.000-07:002009-05-13T06:50:34.832-07:00PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007SALINAN<br />PERATURAN<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 24 TAHUN 2007<br />TENTANG<br />STANDAR SARANA DAN PRASARANA<br />UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI),<br />SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH<br />(SMP/MTs), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH<br />ALIYAH (SMA/MA)<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48<br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang<br />Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan<br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar<br />Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah<br />Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah<br />Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan<br />Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem<br />Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik<br />Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran<br />Negara Republik Indonesia Nomor 4301);<br />2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang<br />Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara<br />Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);<br />2<br />3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang<br />Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan<br />Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia<br />sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden<br />Nomor 62 Tahun 2005;<br />4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004<br />mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu<br />sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir<br />dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL<br />TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA<br />UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH<br />IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH<br />PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs),<br />DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH<br />ALIYAH (SMA/MA).<br />Pasal 1<br />(1) Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah<br />ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah<br />tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah<br />aliyah (SMA/MA) mencakup kriteria minimum sarana dan kriteria<br />minimum prasarana.<br />(2) Standar Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat<br />(1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.<br />Pasal 2<br />Penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen<br />dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 (seribu) jiwa dan<br />yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak<br />tempuh 3 (tiga) kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak<br />membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana<br />sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.<br />3<br />Pasal 3<br />Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.<br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 28 Juni 2007<br />MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,<br />TTD<br />BAMBANG SUDIBYO<br />Salinan sesuai dengan aslinya.<br />Biro Hukum dan Organisasi<br />Departemen Pendidikan Nasional.<br />Kepala Bagian Penyusunan Rancangan<br />Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I.<br />Muslikh, S.H.<br />NIP.131479478Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-68570638226204991972009-04-18T10:55:00.000-07:002009-05-14T09:34:21.389-07:00Pendidikan Dasar<strong>1. Mencermati ketentuan seragam sekolah </strong><br /><br />Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada siswa sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam sekolah diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan. <br />Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya seragam yang dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah). Sementara di Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah), sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat Atas (SMA/MA) berwarna putih (baju/bagian atas) abu-abu (celana atau bagian bawah). <br />Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada yang menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula yang menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan berseragam sekolah disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan jilbab bagi siswa perempuan, atau bercelana panjang pada siswa laki-laki). <br />Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management, saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan �seragam standar nasional� masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan. <br />Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali �memakan korban� bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment). <br />Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family). <br />Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan �selingan bisnis� oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi. Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non akademik. <br />Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa. <br />Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya. Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagaimana pendapat Anda? <br />Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/01/14/mencermati-tentang-ketentuan-seragam-sekolah/ <br /><br /><strong>2. Pendidikan Dasar dan Dasar Pendidikan </strong><br /><br />Pendidikan merupakan investasi yang sangat penting dan berharga dalam hidup ini. Itulah sebabnya orang tua kita berani berkorban apa saja demi pendidikan anakanaknya. Tetapi karena sangat penting itu juga yang mungkin menyebabkan biaya pendidikan di negeri kita teramat tinggi. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak mampu untuk bersekolah. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan kemudian dibantu oleh Pemerintah Daerah kemudian mencanangkan pendidikan dasar yang harus ditempuh oleh masyarakat mulai dari pendidikan dasar enam tahun, sembilan tahun dan entah berapa tahun lagi akan dicanangkan untuk pendidikan dasar. <br />Pendidikan dasar terdiri dari dua kata yaitu �pendidikan� dan �dasar�. Diketahui sangat banyak definisi pendidikan. Menurut pengertian Yunani pendidikan adalalah �Pedagogik� yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yaitu : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak. <br />Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. <br />Pendidikan Dasar berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan serta proses perbuatan pada level dasar. Pendidikan dasar dibuat sebagai pondasi untuk melangkah ke Pendidikan Menengah dan kemudian ke Pendidikan Tinggi. Namun dalam kenyataanya apa yang dirumuskan tidak segaris lurus dengan definisi-definisi di atas. Sangat banyak anak yang sudah memiliki pendidikan dasar tetapi belum punya kemampuan untuk melakukan pengubahan sikap dan tata laku. <br />Apa yang tergambar saat ini, menyelesaikan pendidikan adalah keluar dari bangku sekolah dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar ataupun bukti kelulusan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi batas dari pendidikan dasar ini ? Apakah Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama atau yang lainnya. Apabila ditentukan dengan jenjang sekolah, batas ini akan sangat dinamik, karena faktanya pendidikan juga identik dengan lapangan pekerjaan. <br />Rumusan yang semestinya dibahas adalah bagaimana meletakkan �dasar pendidikan� karena dasar pendidikan lain dengan pendidikan dasar. Dasar pendidikan adalah meletakkan pondasi yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. <br />Sumber : www.rianto.com <br /><br /><br /><strong>3. Budaya Katrol Nilai </strong><br /><br />Kalau anda, para guru, sempat membaca totto chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol nilai para murid. Sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik. <br />Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Keboyashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi di halaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik. Bahwa kalau ada anak yang tidak berwatak baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa disekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya. <br />Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras. <br />Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang 'hitam' sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya 'merah', orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh. <br />'Penyakit' ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut guru ( yang tidak mau dianggap sebagai guru gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ), sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru. Orang tua, kita (para guru), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris. <br />Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam 'kunci' untuk keluar dari ermasalahan-permasalahan yang dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka. <br />Kalau kita, para guru, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka. <br />Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka. <br />Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat guru dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan guru. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai 'fantastis' di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur. <br />Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita. <br />Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Thukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa katrol nilai itu katrok. <br />Oleh : Eko wurianto (Guru SMPN Kebon Agung, Pacitan - Jawa Timur) <br />Sumber : Pendidikan.net <br /><br /><br /><strong>4. Pendidikan dasar untuk semua </strong><br /><br />Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak. <br />Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan. <br />Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. <br />Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka. <br />http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html <br /><br /><strong>5. Rumah Pintar </strong><br /><br />Rumah Pintar diharapkan Kurangi Buta Aksara <br />Pendirian sejumlah rumah pintar di beberapa daerah di Indonesia yang sudah mencapai 185 unit diharapkan dapat mengurangi jumlah buta aksara di Tanah Air. <br />"Program rumah pintar beserta mobil pintar, motor pintar, dan perahu pintar mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Tentunya kami berharap program dalam payung Indonesia Pintar ini bisa mengurangi jumlah buta aksara di masyarakat," kata Ibu Ani Yudhoyono saat meresmikan rumah pintar Bhara Cendekia I di Kompleks Markas Komando Brimob Polri Kelapa II Depok, Senin (21/7). <br />Menurut Ibu Negara, sampai saat ini jumlah penyandang buta aksara di Indonesia mencapai 8,7% dari jumlah penduduk yang 45% di antaranya adalah kaum wanita. <br />Dijelaskannya, program Indonesia Pintar yang diluncurkan 18 Mei 2005 berawal dari keprihatinan atas terbatasnya jumlah buku dan perpustakaan yang berada di sekitar anak - anak sehingga dengan program ini diharapkan ribuan buku bisa dikumpulkan untuk diberikan dan dipinjamkan kepada anak - anak. <br />"Kami sudah berhasil mengumpulkan sekitar 3.500 - 4.000 buku sehingga diharapkan bisa membantu upaya pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya. <br />Menurut Ani Yudhoyono, hingga saat ini sudah dibagikan 50 unit mobil pintar, 185 rumah pintar, 350 motor pintar, dan tiga perahu pintar. Ibu Negara mengajak semua pihak untuk membantu program ini bukan saja dengan memberikan dana tapi juga menyumbangkan buku. <br />Dalam kesempatan itu Kapolri Jenderal Polisi Sutanto mengatakan rumah pintar di lingkungan markas Brimob ini diharapkan dapat menjadi daya pikat anak - anak untuk belajar dan mengubah perilaku dalam kebiasaan belajar, yang biasanya menjemukan menjadi menyenangkan. <br />"Pendirian rumah pintar ini juga sesuai dengan tugas Polri untuk mengurangi sumber - sumber kerawanan sosial di masyarakat seperti ketidakmampuan untuk membiayai sekolah," katanya. <br />Menurut Kapolri, rumah pintar merupakan proyek contoh yang akan dikembangkan di semua polda. <br />Dalam kesempatan itu Ibu Negara secara simbolis membagikan satu unit mobil pintar dan 125 motor pintar kepada kapolda dari seluruh Tanah Air . (Ant/OL-01) <br />Sumber: Media Indonesia OnlineAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-82658956464783569482009-04-18T10:52:00.000-07:002009-05-14T09:35:47.642-07:00Pendidikan Menengah<strong>1. Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua </strong><br /><br />Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK. <br />SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran. <br />Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai �anak emas� dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?). <br />Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter �withdrawal� atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri. <br />Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama �SMK, MAN dan SMA�. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja. Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?). <br />Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja � menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?). <br />Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung. <br />Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini. <br />Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN. <br />Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka. <br />Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula. <br />Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma. <br />Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa �Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini�. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan. <br />Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa). <br />Oleh: Marjohan (guru SMA Negeri 3 Batusangkar) <br /><br /><strong>2. IPA dan IPS Terpadu </strong><br /><br />Pembelajaran IPA Terpadu <br />Menurut Prawiradilaga (2004), pembelajaran terpadu merupakan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung yang menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka pada saat ini maupun mendatang. <br />Karakteristik pembelajaran terpadu meliputi: <br />1. Pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat (centre of interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, baik yang berasal dari bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda. <br />2. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan anak secara simultan <br />3. Menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak <br />4. Menggabungkan sejumlah konsep kepada beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna. <br />Uraian di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan pembelajaran IPA Terpadu di SMP, yaitu pembelajaran yang menghubungkan pelajaran fisika, kimia, dan biologi, menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara simultan (karakteristik nomor 3). Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan yang disampaikan oleh ketua BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Bambang Suhendro dalam Harian Suara Pembaharuan, Senin 9/1/06: <br />�...untuk mata pelajaran IPS terpadu di tingkat SMP, seringkali kompetensi akademik guru kurang memadai. Guru yang mempunyai latar belakang sejarah lebih banyak mengajarkan sejarah. Padahal kompetensi IPS terpadu tidak hanya sejarah, tetapi ada sosiologi, antropologi dan geografi. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA terpadu yang mencakup pelajaran fisika, kimia dan biologi�. <br />Pernyataan ketua BSNP tersebut menyiratkan bahwa seorang guru mata pelajaran IPA di SMP dituntut untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, terlepas dari latar belakang pendidikannya. Begitu juga untuk guru IPS, mereka diharapkan untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPS, yaitu sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi. <br />Suatu pembelajaran terpadu menawarkan beberapa kelebihan (Lipson, 1993), yaitu: <br /> lebih fokus pada tema, karena satu tema dibahas dari berbagai sudut pandang <br /> memungkinkan transfer of learning, misalnya penerapan konsep fisika dalam biologi <br /> memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara satu disiplin ilmu dengan lainnya <br />Di samping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah, kendala, atau konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran terpadu (Druger, 1999), yaitu : <br /> guru dan sekolah sudah terbiasa dengan pola lama <br /> hampir semua guru tidak memiliki pengalaman penelitian di luar latar belakang pendidikannya <br /> guru �kehilangan� otoritas pada latar belakang bidang studinya <br /> memerlukan komitmen dari para guru untuk bekerja sama <br /> ketika menggunakan metode team teaching, muncul banyak persoalan seperti perbedaan karakter pribagi guru, kontribusi yang tidak jelas, perbedaan gaya mengajar, dan kesulitan mengatur jadwal <br />Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd. <br /><br /><br /><strong>3. Tips menghadapi UAN </strong><br /><br />Jika penulis ditanya apa yang harus dilakukan jika karena sesuatu hal siswa atau siswi di manapun mereka berada terpaksa diharuskan untuk menghafal mata pelajaran dengan SKS (sistem kebut semalam)? Tanpa ragu penulis akan berkata, gunakan teknik �encapsulation�. Mudah mudahan teknik ini dapat sedikit menolong siswa siswi yang sebentar lagi akan menghadapi ujian baik ujian nasional atau ujian akhir sekolah. <br />Penulis akan menyajikan sebuah kisah nyata. Tulisan ini diambil dari tulisan berbahasa Inggris yang diterbitkan di http://www.bocsoft.net/English/article/art_oop.htm. <br />Seorang anak lelaki duduk di sebuah sofa kira-kira satu jam lamanya, mencoba untuk menghafal tugas sekolah yang terdiri dari satu kalimat panjang, sembilan puluh lima kata dan lima ratus dua puluh tiga huruf. <br />Anak laki-laki itu yang duduk di kelas tiga SD tidak bisa menahan lagi. Itu tampak sekali dari kegelisahannya bahwa dia tidak dapat mengatasinya. <br />Untuk mengeluarkan segala kegundahannya, dia menangis begitu keras sehingga terpaksa ayahnya turun tangan menolongnya. Ayahnya membawanya ke ruangan lain dan mencoba menenangkan anak itu. Setelah anak itu berhenti menangis, ayahnya menggambar delapan simbol dan menghubungkan masing-masing simbol dengan kata-kata yang ada dalam kalimat itu. <br />Seperti sebuah pertunjukan sulap, anak itu begitu mudahnya menghafal kalimat panjang itu hanya dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Ayahnya kemudian berkata, �Lihat, kamu adalah anak yang pintar.� Anak itu berkata dengan rendah hati, � Ah bukan, itu karena Ayah.� <br />Penulis tidak mempunyai keterangan ilmiah bagaimana otak kita bekerja tetapi saya tahu bahwa otak kita membutuhkan sesuatu untuk menghubungkan satu hal dengan hal-hal yang lain, satu kata dalam bahasa Inggris yang bisa menerangkan itu adalah �encapsulation�. Saya akan memberikan definisi �Encapsulate� dari Oxford Advanced Learner�s Dictionary, "To express the most important parts of something in a few words, a small space or a single object." Untuk mengekspresikan bagian penting dari sesuatu dengan kata yang pendek, ruang kecil atau objek tunggal. <br />Jika menyimak cerita di atas dengan teliti, penulis sengaja menulis jumlah huruf dari kalimat itu. Misalkan pembaca diharuskan menghafal semua huruf dengan menggabungkan semua kata menjadi hanya satu kata, apakah ada orang yang bisa menghafal kata itu. Itu hal yang sulit dilakukan. Tetapi dengan memisahkan 523 huruf menjadi 95 kata yang mempunyai arti, tugas itu jauh lebih mudah. <br />Dengan menghubungkan 95 kata-kata itu ke hanya 8 simbol, tugas itu akan jauh lebih mudah. Kata � encapsulation� adalah kata yang penulis dapatkan dari bidang ilmu pemograman berbasis objek. Tetapi kata �encapsulation� tidak hanya berguna di bidang pemrograman berbasis objek tetapi bisa diterapkan untuk menghafal dan belajar di sekolah. <br />Sebagai percobaan, dapatkah anda menghafal huruf yang terdapat dalam kata ini: iamgoingtobedearlybecauseimustgetupearlyinthemorning? Sekarang coba memecahkan kata ini menjadi beberapa kata: I am going to bed early because I must get up early in the morning. <br />Sewaktu masih SMA, ada seorang murid yang terkenal nakal dan membuat sebuah singkatan untuk menghafal unsur kimia dengan membuat sebuah kalimat seperti ini : �Beni manggil ca?? suruh Ba?? Rasain.� ca?? tebak sendiri apa kata itu. Ba?? Adalah nama kepala sekolah SMA kami waktu itu. Hanya kolom di daftar unsur kimia itu yang penulis masih ingat. <br />Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan sedikit informasi agar bisa menerapkan teknik �encapsulation� untuk kepentingan belajar menghadapi ujian akhir nasional. Tetapi mudah-mudahan tulisan ini tidak membuat siswa siswi selalu terbiasa dengan SKS (sistem kebut semalam). Untuk kepentingan jangka panjang teknik yang terbukti ampuh dalam belajar adalah: You do it bit by bit dan Speed Reading. <br />Akhir kata penulis ingin mengucapkan kepada siswa siswi, orang tua yang anaknya akan menghadapi ujian akhir nasional atau guru-guru pembimbing, �sukses menempuh ujian akhir nasional�. <br />Sumber : Erlangga.co.id <br /><br /><strong>4. Tips dan trik memilih jurusan komputer </strong><br /><br />Perlu kita garis bawahi dulu bahwa �secara konsep� kurikulum bidang komputer di Indonesia sudah cukup baik. Kurikulum Indonesia mengacu dan mengadaptasi Computing Curricula, yaitu panduan kurikulum bidang komputer (computing) yang diterbitkan secara bersama oleh ACM (the Association for Computing Machinery), AIS (the Association for Information System) dan IEEE-CS (the IEEE Computer Society). Beberapa dokumen usulan kurikulum yang diajukan APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) saya lihat juga mengacu ke Computing Curricula 2001 dan 2005. Kalau kemudian ada pertanyaan kok pelaksanaan di lapangan tidak sebagus konsepnya. Ya banyak faktor yang masih menjadi masalah di Indonesia, kualitas SDM pengajar, infrastruktur, minimnya textbook yang baik, dsb. Mari kita perbaiki bersama-sama dan tidak perlu saling menyalahkan <br />Sekali lagi, Indonesia hanya mengadaptasi dan bukan mengadopsi Computing Curricula, artinya bahwa tidak semua nama jurusan dan nama mata kuliah di Indonesia sama �plek� dengan apa yang ada di Computing Curricula. Computing Curricula memberikan panduan tentang penyelenggaraan, penamaan mata kuliah beserta pembobotannya dan penyusunan kurikulum pada 5 jurusan, yaitu: Computer Engineering (CE, Teknik Komputer), Computer Science (CS, Ilmu Komputer), Information Systems (IS, Sistem Informasi), Information Technology (IT, Teknologi Informasi), Software Engineering (SE, Rekayasa Perangkat Lunak). <br />Adaptasi dan acuan kurikulum di Indonesia adalah: <br />1. Computer Science untuk program studi (jurusan) Teknik Informatika atau Ilmu Komputer <br />2. Computer Engineering untuk program studi (jurusan) Sistem Komputer atau Teknik Komputer <br />3. Information System untuk Sistem Informasi atau Manajemen Informatika <br />Sedangkan Software Engineering dan Information Technology, di Indonesia dianggap bukan merupakan program studi (jurusan) karena masih bisa masuk salah satu bagian dari Teknik Informatika atau Ilmu Komputer. <br />Lha terus dimana letak perbedaan jurusan-jurusan diatas? <br />Semua jurusan (program studi) sebenarnya memiliki mata kuliah yang boleh dikatakan �sama�, hanya pembobotannya berbeda. Bobot inilah yang nantinya menentukan jalur karier dan bidang kerja lulusan. Kompetensi lulusan setiap jurusan biasanya di desain seperti di bawah: <br />1. Computer Engineering (CE) (Jurusan Sistem Komputer atau Teknik Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mendesain dan mengimplementasikan sistem yang terintegrasi baik software maupun hardware <br />2. Computer Science (CS) (Jurusan Teknik Informatika atau Ilmu Komputer) diharapkan menghasilkan lulusan dengan kemampuan yang cukup luas dimulai dari penguasaan teori (konsep) dan pengembangan software. <br />3. Information System (IS) (Jurusan Sistem Informasi atau Manajemen Informatika) diharapkan menghasilkan lulusan yag mampu menganalisa kebutuhan (requirement) dan proses bisnis (business process), serta mendesain sistem berdasarkan tujuan dari organisasi <br />4. Information Technology (IT) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu bekerja secara efektif dalam merencanakan, mengimplementasikan, mengkonfigurasi dan memaintain infrastruktur teknologi informasi dalam organisasi. <br />5. Software Engineering (SE) diharapkan menghasilkan lulusan yang mampu mengelola aktifitas pengembangan software berskala besar dalam tiap tahapannya (software development life cycle). <br />Computing Curricula membuat suatu komparasi umum dan pembobotan mata kuliah tiap jurusan dengan visualisasi grafis seperti di bawah. Sumbu horizontal menggambarkan arah pengembangan (apakah lebih teoritis atau lebih praktis), sedangkan sumbu vertikal menggambarkan topik dan desain mata kuliah yang diajarkan. Pembobotan ditandai dengan warna abu-abu tua pada visualisasi gambar. <br />Yang terakhir, perlu diperhatikan bahwa ada beberapa irisan bidang computing dengan bidang lain yang sepertinya mirip tapi sebenarnya beda. Misalnya, bagi yang ingin mendalami desain grafis dan animasi secara mendalam, saya sarankan tidak masuk ke salah satu dari lima jurusan computing diatas. Akan lebih baik apabila masuk ke jurusan desain komunikasi visual (DKV), yang biasanya ada di bawah fakultas seni rupa. Saya jamin lebih pas untuk yang berminat di animasi dan desain grafis. Banyak mahasiswa yang cita-citanya menjadi animator dan graphics designer akhirnya harus melongo dan menyesal karena salah masuk ke jurusan computing. Akan saya bahas tentang DKV di lain kesempatan <br />Selamat memilih jurusan ! <br />Oleh : Romi Satria Wahono<br /><br /><strong>5. Tips Menaikkan Kemampuan Siswa SMP dan SMU </strong><br /><br />5 tips ini dapat membantu Anda dengan cepat untuk menaikkan kemampuan siswa dan sekolah Anda. <br />1. Naikan range nilai yang diharapkan. Jika Anda memiliki range penilaian seperti ini: <br />range nilai: A (93-100), A- (90-92), B+ (87-89), B (83-86), B- (80-82), C+ (77-79), C (73-76), C- (70-72), D+ (67-69), D (63-66), D- (60-62), F (0-59) larilah, namun jangan berjalan ke tempat sampah terdekat lalu membuang hasil ujian itu. Naikkan rangenya. Jika range nilai yang diharapkan rendah maka hasil yang didapat akan selalu mengarah ke nilai yang rendah. Harapkan lebih dari siswa Anda dan ikat harapan itu menjadi sesuatu yang dapat diukur. Petunjuk: jika Anda menggunakannya untuk siswa Anda, apakah Anda juga menggunakannya untuk guru-guru? Lihat tips 2. <br />2. Konsistenlah terhadap respon yang diberikan terhadap semua prilaku baik berupa penghargaan maupun hukuman. Juga konsistenlah terhadap nilai yang telah Anda tetapkan dan prilaku Anda. Jagalah konsistensi Anda bahkan disaat kita sedih. Model konsistensi untuk menjaga kelangsungan kemampuan staff Anda ataupun siswa Anda. <br />3. Jelaskan secara rinci harapan Anda. Jangan menganggap seorang staff ataupun siswa mengetahui sesuatu. Komunikasikan dan jelaskan harapan tersebut. Ingatlah, pengkondisian dari pengalaman pekerjaan lampau, pengalaman sekolah, dan pengalaman rumah merupakan hal yang selalu ada dan mayoritas dari pengkondisian ini adalah negatif. <br />4. Berikan nilai lebih untuk keberhasilan akademik dan kepemimpinan siswa dibanding keberhasilan dalam bidang olahraga. Keberhasilan akademiklah yang akan membawa 99% siswa Anda kedalam dunia nyata, bukan kemampuan atletik mereka. Kembali kepada 3 tips awal. <br />5. Buanglah sampah dengan mengevaluasi strategi belajar Anda. Sebagai contoh, jika Anda menggunakan cooperative learning, tekankan hanya pada keterampilan yang diperlukan untuk menjadi berhasil. <br />Apakah nilainya bagi Anda, jika semua orang di sekolah Anda semua berbaris dengan arah yang sama dengan penuh energy dan antusias? <br />Sumber: www.ezinearticles.comAmalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-53555665526719264632009-04-18T10:48:00.000-07:002009-05-14T09:36:16.537-07:00Pendidikan Tinggi<strong>1. Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA), TANTANGAN sekaligus ANCAMAN </strong><br /><br />Polemik boleh tidaknya perguruan tinggi asing beroperasi di Tanah Air terus berlangsung. Perbedaan pendapat dan sikap itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tapi juga terjadi diantara pengambil kebijakan pemerintah. Kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia, memunculkan sikap yang bermacam-macam. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal "Ical" Bakrie, saat pidato pertama kali seusai pelantikannya, menekankan perlunya liberalisasi pendidikan. Alasannya saat ini kompetisi dilakukan bukan lagi melalui otot atau fisik tapi melalui otak. Saat ini, kata Ical, hidup pada dunia generasi ketiga, yakni high technology, Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuka diri terhadap perkembangan dunia teknologi, termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan, katanya. (harian sindo 12-03-06) <br /><br />Peningkatan pendidikan dalam negeri, sebagian besar memang masih tertinggal jauh dengan perguruan tinggi asing. Meski, bukan kebetulan pula jika UGM beberapa waktu lalu masuk dalam 100 perguruan tinggi internasional terbaik dalam bidang seni dan humaniora. Sayangnya, prestasi itu belum di ikuti perguruan tinggi lainnya. Perlunya kehadiran PTA, tidak hanya karena faktor mutu pendidikan saja, namun yang tak kalah penting adalah faktor ekonomi, yakni penambahan devisa negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian triliunan rupiah dalam setiap tahunnya akibat larinya para pelajar ke luar negeri. Kehilangan devisa itu ditambah efek domino akibat kehadiran para pelajar tersebut, seperti keuntungan di bidang pariwisata. <br /><br />Deputi Pendidikan dan Aparatur Negara Menko Kesra Fuad Abdul Hamied mencatat, sedikitnya Rp. 3,7 Triliun habis di Australia akibat banyaknya pelajar Indonesia yang belajar di Negeri Kangguru itu. Sementara itu, di Inggris sudah mencapai Rp. 308 miliar. Uang sebesar itu sebenarnya bisa membuat puluhan perguruan tinggi, katanya dalam diskusi "Internasionalisasi Perguruan Tinggi" di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dari data statistik, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Australia ada sekitar 18 ribu, di Inggris 1.150 dan masih banyak lagi di Amerika, Timur Tengah dan Asia Tenggara sendiri. Saat ini sudah lebih dari dua ribu mahasiswa Indonesia berada di Malaysia dan Singapura. Fuad heran dengan masih kuatnya penolakan perguruan tinggi dalam negeri terhadap kehadiran PTA. Padahal kehadiran PTA bisa memacu kompetisi pendidikan di Indonesia, dan masyarakat memiliki perbandingan untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu perlu digulirkan wacana Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Masyarakat. <br /><br />Kalangan perguruan tinggi, memang menanggapi kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) secara beragam. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Kehadiran PTA sangat dilematis bagi perguruan tinggi dalam negeri dan pemerintah. Satu sisi kehadirannya diperlukan agar devisa tidak hilang, tetapi disisi lain bisa mengancam perguruan tinggi dalam negeri. Sementara masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, saat ini memilih PTA. Seharusnya kehadiran PTA menjadi tantangan bagi pelaku pendidikan di Indonesia, sehingga memunculkan semangan untuk terus memperbaiki kualitasnya. Bahkan kalangan DPR mengakui kehadiran PTA sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara Pemerintah lambat meresponnya. Selain itu pula mereka mengakui dan bisa memaklumi kualitas PTA dibandingkan perguruan tinggi dalam negeri. Wajar apabila para orangtua berloba-lomba menyekolahkan putra-putrinya ke luar negeri. Hal ini merupakan hak individu masyarakat untuk menentukan masa depan pendidikan putra-putri mereka. <br /><br />Mengutip pernyataan Managing Director INTI College Indonesia, Sudino Lim SE bahwa keberadaan PTA di Indonesia diharapkan bisa memacu percepatan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, sistem pendidikan, proses pembelajaran dan lain-lain. Sedangkan dilihat dari pangsa pasarnya, hadirnya PTA bukan ancaman bagi perguruan tinggi di dalam negeri, karena PTA sudah memiliki pangsa pasar sendiri. Pembukaan program PTA di Indonesia justru akan mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Dari segi ekonomi, devisa tidak akan hilang. Apalagi, saat ini jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri cukup besar. <br /><br />Dibukanya keran perdagangan bebas juga memungkinkan universitas luar negeri membuka cabang di Indonesia. Siap tidak siap, kompetisi tentu saja akan semakin ketat karena tidak hanya bersaing dengan sesama universitas lokal, para pendatang luar juga harus dihadapi. Kerjasama antara PTA dengan perguruan tinggi dalam negeri pada dasarnya merupakan upaya universitas untuk diakui di dunia Internasional dan mensejajarkan diri dengan universitas dari luar negeri. Langkah ini dilakukan agar lulusan perguruan tinggi dalam negeri tersebut memiliki kompetensi yang diperlukan untuk bisa bekerja dan merebut peluang kerja di luar negeri, selain di dalam negeri sendiri. Dengan pola inilah, maka perguruan tinggi dalam negeri dapat menghasilkan Lulusan yang dapat GO International untuk meraih peluang kerja diluar negeri, sehingga akan meningkatkan citra Bangsa Indonesia di mata dunia. <br />. <br /><br /><strong>2. Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang </strong><br /><br />Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang Oleh : Nurkolis <br />Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002). <br />Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. <br />Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. <br />Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.<br />Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).<br />Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional. <br />Nilai <br />Balik Pendidikan<br />Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).<br />Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.<br />Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.<br />Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya �benar-benar� dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan �benar-benar� karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya. <br />Fungsi <br />Non Ekonomi<br />Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).<br />Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.<br />Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.<br />Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.<br />Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.<br />Kesimpulan<br />Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.<br />Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.<br />Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.<br />Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta. <br /><br /><strong>3. Timor Leste Hanya Punya Tiga Perguruan Tinggi </strong><br /><br />Kamis, 18 September 2008 <br />BANDUNG, KAMIS - Pascakekacauan usai kemerdekaan Timor Leste, hanya ada tiga perguruan tinggi di bekas provinsi Indonesia tersebut. Kualitasnya pun di bawah standar internasional. Maka, tak heran banyak mahasiswa Timor Leste belajar ke Indonesia, termasuk Jawa Barat. <br />Demikian masalah yang diungkapkan seusai pertemuan Menteri Luar Negeri Timor Leste, Lesea Zacarias Aibano Da Costa dengan Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf di Bandung, Kamis (18/9). Mahasiswa Timor Leste memiliki antusias tinggi untuk belajar di Jawa Barat.<br />Lesea mengatakan, provinsi tersebut menjadi tujuan mereka karena di ibu kota Jabar yaitu Bandung, banyak perguruan tinggi berkualitas. Terdapat 300 mahasiswa Timor Leste yang belajar di Jabar dengan jenjang S1. Mereka sudah datang sejak tiga tahun lalu.<br />Sebagian besar mengambil kajian ilmu komunikasi dan teknologi. Para mahasiswa itu ditempatkan antara lain di Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Komputer Indonesia. Dede mengatakan, jumlah mahasiswa Timor Leste di Jabar akan terus ditambah.<br />Dalam tiga tahun mendatang, lebih dari 300 mahasiswa Timor Leste akan didatangkan lagi ke Jabar. M ahasiswa yang mendaftar di perguruan tidak dipersulit dan dalam proses belajarnya diberi kemudahan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar berniat mendorong perguruan tinggi di Timor Leste.<br />"Banyak sarjana kita yang siap ke Timor Leste untuk dikirim kesana. Mereka bisa memberi pembinaan terhadap perguruan tinggi di Timor Leste," kata Dede. Sejumlah guru dari Jabar tengah dikaji untuk pergi ke Timor Leste guna memberikan masukan tentang pendidikan.<br />Selain itu, ada kemungkinan mahasiswa Jabar juga berkunjung ke Timor Leste. Dede mengatakan, Pemprov Jabar bersama pemerintah Timor Leste sedang mencari formulasi terbaik dalam bidang pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan Jabar Dadang Dally mengatakan, mahasiswa Timor Leste ingin belajar lebih baik untuk meningkatkan sumber daya manusia di negaranya.<br /><br /><strong>4. Perguruan Tinggi Perlu Kembangkan Pertukaran Program Internasional</strong><br /><br />Jumat, 23 Mei 2008 <br />JAKARTA, JUMAT - Perguruan tinggi Indonesia harus mulai mengembangkan pertukaran program internasional dengan perguruan tinggi dari negara-negara lain. Program ini untuk menyiapkan lulusan peguruan tinggi Indonesia siap bersaing masuk di pasar global.<br />"Kondisi sosial sudah berubah jauh dan perkembangan pengetahuan juga maju pesat. Indonesia harus siap dengan perubahan itu. Dalam bidang pendidikan, kerjasama internasional dengan lembaga pendidikan di belahan negara lain harus dilakukan dalam berbagai bentuk," kata Rektor Bina Nusantara University, Geraldus Pola, dalam seminar menyambut Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta (UNJ), di Jakarta, Jumat (23/5).<br />Menurut Geraldus, pengalaman untuk bisa masuk dalam dunia internasional itu idealnya sudah bisa dirasakan peserta didik saat di bangku kuliah. Perguruan tinggi berkolaborasi dalam riset, seminar, pertukaran pengajar dan pelajar, hingga penyelenggaraan dual degree program."Untuk bisa melaksanakan pertukaran program internasional harus ada banyak yang perlu dibenahi, terutama untuk memenuhi standar internasional. Keuntungan yang diperoleh banyak karena lulusan kita jadi mudah masuk ke pasar global, misalnya mudah untuk bekerja di negara lain secara kompetitif," kata Geraldus.<br />Untuk internasionalisasi pendidikan ini perlu ada jaminan kualitas, networking, dan alokasi sumber daya yang memenuhi standar nasional. Tujuannya supaya perguruan tinggi di Indonesia bisa juga diakui kurikulumnya di dunia internasional. (ELN)<br /><br /><br /><strong>5. CSR Korporasi Diharapkan Dukung Kemajuan Pendidikan</strong> <br /><br />Kamis, 5 Maret 2009 <br />DEPOK, KAMIS — Kepedulian sejumlah perusahaan untuk memajukan dunia pendidikan melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR) sangat berarti bagi dunia pendidikan. Jika sekarang cenderung CSR diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pemberian beasiswa maka ke depan CSR diharapkan bisa mendongkrak pencapaian angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi, yang sampai sekarang masih rendah.<br />Direktur Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Ira S, mengemukakan hal itu ketika menjadi pembicara kunci pada acara talkshow bertajuk "Pemanfaatan CSR Korporasi untuk Mendukung Pendidikan Tinggi Berkualitas", Kamis (5/3) di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Lima pembicara pada talkshow adalah Gumilar R Somantri, Rektor Universitas Indonesia; Arwin Rasyid, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga; Noke Kiroyan, Ketua Konsorsium CSR & Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Link; Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Kompas; dan Muliaman Hadad, Ketua Iluni FE UI.<br />Ira menjelaskan, APK perguruan tinggi sampai sekarang masih menjadi masalah. Tahun 2008 lalu APK perguruan tinggi (PT) adalah 17,75 persen. Tahun 2009 diharapkan bisa meningkat menjadi 19 persen. Lima tahun ke depan, APK PT ditargetkan mencapai 25 persen. Untuk mencapai peningkatan APK ini, perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada lulusan SMA untuk masuk perguruan tinggi.<br />Perguruan tinggi melalui fakultas-fakultasnya perlu menjemput bola, memberikan kesempatan lulusan SMA untuk masuk di perguruan tinggi. Jangan sampai ada daftar tunggu, lulusan-lulusan yang seharusnya ada di perguruan tinggi, ujarnya.<br />Selain untuk calon mahasiswa, CSR korporasi perlu juga diarahkan untuk membantu penelitian dosen. Karena selama ini, untuk menjalani fungsi tridharma perguruan tinggi, khusus bidang penelitian, dosen mengalami kesulitan biaya.<br />Sementara itu, dalam talkshow dibahas bagaimana korporasi, melalui program CSR, dapat membantu perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas. Sangat disadari, biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas tidaklah murah, terutama apabila diarahkan untuk mencapai taraf daya saing dunia (global competitiveness). Sementara itu, alokasi dana dari pemerintah sendiri maupun yang dihimpun dari penerimaan pendidikan juga terbatas.<br />Karena itu, perguruan tinggi juga dituntut untuk mampu menggali sumber dana di luar sumber dana konvensional yang terbatas tersebut. Kerja sama dengan dunia usaha diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk menutupi kesenjangan tersebut. Namun, kerja sama tersebut juga harus dilakukan dalam koridor norma yang wajar sehingga juga tidak mengganggu otonomi perguruan tinggi.<br />Rektor UI Gumilar R Somantri menjelaskan bagaimana status Badan Hukum Pendidikan (BHP) memberikan UI peluang untuk melakukan strategi enterprising tanpa harus mengorbankan otonomi UI. Arwin Rasyid lebih menyoroti pada strategi dan kebijakan CSR yang dilakukan oleh Bank CIMB Niaga, terutama dalam mendukung pendidikan kualitas pendidikan tinggi juga dapat memberikan manfaat positif, di luar aspek corporate image, bagi Bank CIMB Niaga sendiri dengan tetap menjaga profesionalisme tanpa mencampuri otonomi perguruan tinggi.<br />Muliaman Hadad lebih menyoroti bagaimana Iluni FEUI tetap aktif memberikan dukungan positif bagi almamaternya dengan membantu menjembatani hubungan antara FEUI dan dunia usaha. Noke Kiroyan lebih menyoroti mengenai praktik-praktik CSR yang umum dilakukan di Indonesia dan di negara-negara lain, termasuk dalam kaitannya dengan pendidikan tinggi. Rikard Bagun, selaku wakil media, memberikan tanggapan kritis terhadap praktik-praktik CSR yang dilakukan oleh korporasi.<br />Seusai talkshow, Bank CIMB Niaga merealisasikan bantuan senilai Rp 17 miliar untuk kegiatan CSR dalam bentuk pembangunan Gedung Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang berlokasi di Depok. Penyerahan bantuan ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) oleh Arwin Rasyid, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk, dan Gumilar R Somantri, Rektor UI.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-740646218027574802009-04-18T10:45:00.000-07:002009-05-14T09:36:44.817-07:00Pendidikan Non Formal<strong>1. Pendidikan nonformal</strong><br /><br />Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.<br />Sasaran<br />Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat<br /><br />Fungsi<br />Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.<br /><br /><br /><strong>2. Peran Strategi Pendidikan Non Formal</strong><br /><br />Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing. <br />Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun <br />Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan. <br />Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.<br /><br /><br /><strong>3. Pemanfaatan Jaringan Perguruan Tinggi Untuk Peningkatan Akses dan Mutu Layanan PAUD Non Formal </strong><br /><br />Perguruan Tinggi seyogyanya adalah tempat persemaian ilmu pengetahuan, di mana buah dari ilmu pengetahuan dapat dipetik berupa hasil karya dan manfaat nyata bagi masyarakat. Selama ini perguruan tinggi masih dipandang sebagai menara gading yang menjulang jauh dan tidak menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat di sekitarnya. <br /><br />Tulisan ini merupakan sebuah refleksi terhadap kondisi yang terjadi di perguruan tinggi, tempat di mana saya bekerja. Sebagai salah seorang staf perempuan, saya merasakan adanya kebutuhan akan pentingnya suatu wadah non-formal untuk memenuhi kebutuhan dari perempuan bekerja yang ingin menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga. Sebagai perempuan bekerja, terdapat kekhawatiran di mana dia harus dapat membagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk karir dan keluarga. <br /><br />Pada tahun 2006 Indonesia mengalami kemajuan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 0,711 dan berada di urutan 108, mengalahkan Vietnam yang mempunyai nilai 0,709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik (0,677 pada tahun1999 ; 0,697 pada tahun 2005; dan 0,711 pada tahun 2006) (http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_pembangunan_manusia). Peran perguruan tinggi sangat diharapkan dapat mewujudkan kemajuan bangsa ke arah yang lebih baik. Walaupun pendidikan anak usia dini bukanlah prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), namun pendidikan dini (usia 0-6 tahun) amat penting dalam rangka mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di level internasional. <br /><br />Menurut Balitbang Depdiknas, dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sejauh ini perguruan tinggi di Indonesia belum ada yang menyediakan fasilitas Taman Penitipan Anak (TPA)/Child Care untuk anak-anak staf yang bekerja di institusi tersebut dan juga anak-anak masyarakat sekitar. Hal ini mengakibatkan banyak staf perempuan perguruan tinggi tersebut yang tidak optimal dalam menjalankan profesinya. Beberapa di antara mereka banyak yang mengambil cuti berkepanjangan, ada pula yang akhirnya meninggalkan profesinya di perguruan tinggi demi mengurus buah hati tercinta. Padahal, apabila terdapat TPA/Child Care di lingkungan Perguruan Tinggi yang dikelola secara profesional oleh fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak, seperti fakultas psikologi, fakultas kedokteran, fakultas kedokteran gigi, fakultas kesehatan masyarakat, sampai fakultas sastra untuk mengembangkan kemampuan linguistik bagi anak-anak. Berikut adalah sederet manfaat yang bisa didapat : <br /><br />.Peningkatkan produktifitas staf dan dosen perguruan tinggi. <br /><br />Produktivitas staf maupun dosen dapat meningkat karena secara psikologis mereka bekerja dalam keadaan tenang, tidak khawatir sebab pada waktu istirahat, mereka dapat melihat dan bermain bersama anak mereka di TPA/Child Care yang ada di lingkungan perguruan tinggi tempat mereka bekerja. Jadi, waktu yang dihabiskan oleh orang tua bersama anaknya menjadi lebih banyak, di samping itu kemampuan sosialisasi anak pun berkembang karena memiliki teman sebaya yang diawasi oleh pengasuh profesional. <br /><br />.Peningkatan akses dan mutu layanan PAUD di tengah masyarakat. <br /><br />Masyarakat di sekitar kampus dapat juga menitipkan anak-anak mereka di TPA/Child Care yang dikelola oleh perguruan tinggi. Untuk masalah pembiayaan, pihak perguruan tinggi bisa menggunakan pola subsidi silang untuk masyarakat yang tidak mampu, juga dapat diupayakan pengadaan sponsor dari perusahaan-perusahaan yang peduli dengan Pendidikan Anak Usia Dini, dalam hal ini dapat dimanfaatkan jaringan alumni. Dengan pelayanan yang profesional, diharapkan masyarakat dapat merasakan secara langsung kontribusi positif dari perguruan tinggi tersebut. <br /><br />.Pengembangan ilmu pengetahuan <br /><br />TPA/Child Care di lingkungan perguruan tinggi dapat dijadikan sebagai laboratorium bayi dan balita sebagai unit pendukung penyelenggara kegiatan pendidikan, khususnya di bidang perkembangan aspek biopsikososial bayi dan balita dalam bentuk pengajaran dan penelitian. Adapun penelitian yang dapat dilakukan adalah penelitian program kesehatan, gizi, dan psikososial terpadu, penelitian perkembangan motorik halus pada usia dini, dan penelitian bermain simbolik dalam interaksi ibu dan anak maupun dalam proses belajar. Para dosen dan mahasiswa dari fakultas-fakultas yang mempunyai korelasi dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak pun dapat mengaktualisasikan dan mengeksplorasi kemampuan akademik yang selama ini dipelajari di ruang kuliah. <br /><br />Dengan memanfaatkan jalur perguruan tinggi yang jumlahnya ribuan yang tersebar di Indonesia, maka akses Pendidikan Anak Usia Dini jalur non-formal diharapkan dapat meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat mendukung keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. <br /><br /><br /><strong>4. Spirit PAUD Nonformal dalam Mendukung Wajar 9 Tahun </strong><br />Oleh: <br />Muh. Syukur Salman <br /><br />Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia. Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengecap pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan "tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat." Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan. <br /><br />Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka. <br /><br />Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar, tetapi telah lebih dulu dibina diPAUD tersebut, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. <br /><br />PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu jalur terselenggaranya PAUD adalah jalur pendidikan nonformal. PAUD jalur pendidikan nonformal adalah pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel sebagai upaya pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilaksanakan melalui Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, dan bentuk lain yang sederajat. Taman Penitipan Anak selanjutnya disingkat TPA adalah salah satu bentuk satuan PAUD pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program kesejahteraan sosial, program pengasuhan anak, dan program pendidikan anak sejak lahir sampai berusia enam tahun. Bentuk lain yang sederajat dengan TPA dan KB, antara lain Taman Bermain, Taman Balita, dan Taman Pendidikan Anak Sholeh (TAPAS), dan PAUD yang diintegrasikan dengan progam layanan yang telah ada seperti Posyandu, dan Bina Keluarga Balita. <br /><br />Penyelenggaraan PAUD nonformal tentu saja mempunyai arti dan manfaat yang tidak sedikit. Suatu konsep pendidikan yang dilaksanakan oleh sebagian besarnya adalah masyarakat dan diperuntukkan bagi anak usia sebelum pendidikan dasar, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Oleh karena itu usaha untuk mendorong bentuk-bentuk PAUD non formal harus terus menjadi perhatian kita semua, khususnya pemerintah. Penyaluran dana pendidikan yang terus bergerak naik di APBN, harus pula menyentuh PAUD nonformal ini. Meski kegiatan ini telah ada sekian lama, namun tetap harus mendapat perhatian serius sehingga semakin berkembang. Untuk lebih menggairahkan tumbuh berkembangnya PAUD nonformal ini, akan lebih baik jika pengangkatan guru PAUD lebih ditingkatkan. Selama ini, pengelolaan PAUD nonformal masih kurang profesional, terutama pada pembina atau gurunya, sehingga sangat dibutuhkan guru yang mempunyai kompetensi dan sertifikasi sebagai guru PAUD nonformal. Demikian pula terhadap kepedulian masyarakat terhadap keberadaan PAUD nonformal, harus mendapat dukungan yang tinggi dari pemerintah. Keterbatasan pemerintah dalam mengadakan PAUD formal semacam Taman Kanak-kanak dan Raodatul Atfal, tentu sangat terbantu dengan adanya PAUD nonformal. Selain itu, sosialisasi tentang PAUD non formal harus terus digiatkan sehingga masyarakat Indonesia tidak awam dengan hal tersebut. <br /><br />Konsep manfaat PAUD diberdayakan tak lain adalah semakin siapnya anak-anak kita memasuki jenjang pendidikan dasar (sekolah dasar). Selama ini, sangat terasa anak-anak yang masuk SD tanpa melalui PAUD dalam hal ini Taman Kanak-kanak (TK), pada umumnya tertinggal prestasinya. Meskipun demikian, hampir tak ada grafik naik masyarakat untuk terlebih dahulu memasukkan anaknya ke TK. Hal inilah yang menjadikan PAUD nonformal menjadi urgen. Taman Kanak-kanak dan Raudathul Atfal sebagai bentuk PAUD formal masih sangat kurang, sehingga sebagian masyarakat tidak memasukkan anaknya di TK atau RA, sebagian masyarakat lainnya menginginkan anaknya untuk dibina pada suatu "institusi pendidikan" yang tidak berkesan formal (nonformal) sebelum masuk SD. <br /><br />Taman Penitipan Anak dan Taman Bermain adalah dua bentuk PAUD non formal yang memang jauh dari nuansa formal. Orangtua dapat lebih kreatif dalam melihat perkembangan anaknya melalui PAUD nonformal, apalagi jika PAUD berbasis keluarga dapat terealisasi dengan baik. Kesan santai dan fleksibel adalah merupakan ciri khusus PAUD nonformal. Meskipun demikian PAUD nonformal tidak sekedar sebagai tempat anak dititip oleh orangtuanya atau tempat bermain anak saja. Perkembangan anak menuju suatu penguasaan ilmu atau keterampilan tetap menjadi tujuan utama, hanya saja "gaya" dalam mencapai hal tersebut, berbeda. Bermain adalah salah satu bentuk kegiatan yang mendominasi PAUD non formal. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas bekerja dan bodoh. Pendapat ini kurang begitu tepat dan bijaksana, karena beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Konsep inilah yang terus dikembangkan sehingga perkembangan jiwa anak semakin baik. Anak tidak menjadi tertekan, penakut, minder, dan jahat. Diharapkan anak akan menjadi kreatif, pemberani, percaya diri, dan rendah hati. <br /><br />Anak-anak yang telah melalui PAUD termasuk PAUD nonformal tentu mempunyai gairah yang tinggi untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan PAUD nonformal mengisi kekosongan PAUD formal tentu semakin membuka akses bagi masyarakat dalam memasukkan anaknya ke PAUD sebelum ke SD, oleh karena itu akan lebih baik jika pendirian atau pengadaan PAUD Nonformal dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia, jika dapat setiap kelurahan mempunyai PAUD Nonformal. Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang dicanangkan oleh pemerintah akan semakin nyata dapat tercapai berkat dukungan PAUD nonformal. Hal ini dimungkinkan dengan semakin meningkatnya pengenalan terhadap pentingnya pendidikan sejak dini dan semakin luasnya jaringan PAUD dengan adanya PAUD nonformal sebagai bentuk wahana pengenalan pendidikan tersebut kepada masyarakat. Semakin luasnya akses untuk menemukan pendidikan sejak dini dan semakin mengertinya masyarakat terhadap pentingnya pendidikan tentu merupakan indikator utama atas semakin nyatanya keberhasilan wajar pandas 9 tahun. Tak terlalu berlebihan jika kita memandang PAUD Nonformal adalah merupakan semangat atau spirit terhadap keberhasilan Wajar Pendidikan Dasar 9 tahun. SEKIAN <br /><br />PENULIS <br />GURU SD NEG. 17 PAREPARE <br /><br /><strong>5. PENDIDIKAN JARAK JAUH</strong><br /><br />Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi :<br /><br />1. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan;<br />2. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular;<br />3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan;<br />4. Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br /><br />Ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan.<br /><br />Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan.<br /><br />Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi.<br /><br />Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai.<br /><br />Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun.<br /><br />Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang.<br /><br />Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran.<br /><br />Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3249809357768869750.post-58759518312164410672009-04-18T10:40:00.000-07:002009-05-14T09:37:58.462-07:00Pendidikan Informal<strong>1. Dewan Anggap Home Schooling Liar</strong><br /><br />Senin, 24 September 2007 <br />TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Partai Amanat Nasional DPR Munawar Soleh menganggap pendidikan sekolah rumah / home schooling liar. <br /><br />"Mereka itu mau kemana, tujuannya apa tidak jelas," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional, Senin. <br /><br />Ia menyarankan perlunya pengawasan terhadap praktek pendidikan model ini, karena dianggap sudah keluar jalur dan tidak mengindahkan peraturan. <br /><br />Sudigdo Adi dari Fraksi PDI-P menyatakan dalam sekolah rumah tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang kebangsaan dan kewarganegaraan. "Indonesia mau jadi apa? Pendidikan pada dasarnya harus menjaga kelangsungan bangsa. Tapi sekolah rumah malah membuat ciri Indonesia hilang," jelasnya. <br /><br />Pendidikan sekolah rumah, tambahnya, mendidik anak menjadi individualis. Pendidikan ini tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa aturan. "Harus ada peraturan yang membatasi," katanya. <br /><br />Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan sekolah rumah bukan pendidikan nonformal, tapi pendidikan informal. Artinya, untuk mencapai kesetaraan, peserta didik harus mengkuti ujian persamaan. "Ada paket A, paket B dan paket C, tergantung tingkatan pendidikan," katanya. <br />Reh Atemalem Susanti <br /><br /><strong>2. Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga</strong><br /><br />Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.<br /><br />HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak “panas” dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.<br /><br />HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.<br /><br />Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.<br /><br />Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah (’Rumah’ Allah) di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.<br /><br />Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.<br /><br />Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.<br /><br />Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.<br /><br />Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.<br /><br />Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.<br /><br />Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.<br /><br />Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”<br /><br />Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.<br /><br />Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.<br /><br />Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.<br /><br />Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.<br /><br />Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.<br /><br />Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.<br /><br /><strong>3. Perbanyak Sekolah Informal</strong><br /><br />Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.<br /><br />Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.<br /><br />Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.<br /><br />Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.<br /><br />Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.<br /><br />Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya! <br /><br /><strong>4. PENDIDIKAN INFORMAL: Puluhan Ibu Dididik Daur Ulang Kertas Bekas</strong><br /><br />SURABAYA (Ant/Lampost): Lembaga Manajemen Infak (LMI) akan mendidik 60 ibu dan remaja putri dari berbagai daerah di Jatim agar memiliki keterampilan mendaur ulang kertas bekas menjadi barang bernilai ekonomis.<br />"Pelatihan daur ulang kertas bekas ini akan dilaksanakan di Surabaya, 24 hingga 25 Januari 2009. Pesertanya berasal dari Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar dan Pasuruan," kata Direktur Eksekutif LMI, Wahyu Novyan di Surabaya, Kamis<br />Ia menjelaskan puluhan perempuan dengan kondisi ekonomi tidak mampu itu akan dididik mendaur ulang kertas menjadi hiasan buku, kotak pensil, celengan, hiasan bunga, kontak antaran, kotak tisu, dan lainnya.<br />Menurut dia, lewat pelatihan ini, diharapkan para peserta memiliki keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonominya di daerahnya masing-masing.<br />Mereka akan dilatih oleh anak-anak binaan LMI yang sudah lama menggeluti dan memiliki keterampilan daur ulang kertas. Saat ini, ada enam anak usia SD dan SMP di LMI yang memiliki keterampilan dan siap membagikan ilmunya kepada masyarakat.<br />"Ada keuntungan ganda bagi anak-anak yang menjadi instruktur dalam pelatihan daur ulang kertas ini. Selain menguasai ilmu daur ulang, mereka juga belajar berbagi ilmu dengan orang lain," kata dia.<br />Meskipun mereka menguasai keterampilan daur ulang, karya mereka belum sepenuhnya bisa dijual secara luas. Hal itu karena terkendala waktu, antara sekolah formal dan memproduksi barang-barang bernilai seni itu.<br />"Kami memang tidak mengorientasikan anak-anak untuk menjual karyanya secara luas karena yang kami utamakan adalah pendidikan mereka dulu. Tapi yang jelas, mereka telah memiliki keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk masa depan," kata dia.<br />Didampingi Manajer Komunikasi LMI, Nurul Rahmawati, Wahyu mengemukakan pihaknya terus berupaya melakukan pemberdayaan terhadap orang-orang tidak mampu, termasuk memberikan beasiswa untuk anak-anak putus sekolah.<br />"Saat ini, ada sekitar 500 anak di Surabaya yang mendapatkan beasiswa dari LMI. Selain itu, kami juga melakukan pembinaan kepada anak-anak di luar pendidikan formal, seperti menjahit, bahasa Inggris dan lainnya," ujar dia.<br /><br /><strong>5. Media Massa sebagai Pelaku Pendidikan Informal Terbesar</strong> <br /><br />Pemerintah berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negara. Selama ini peran tersebut diurusi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag) melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Di sisi lain, pada pendidikan jalur informal pemeran utamanya adalah masyarakat sendiri dan yang paling besar pelakunya adalah media massa. <br />" Ada pendidikan yang tidak diregulasi. Dilakukan oleh keluarga ataupun oleh masyarakat secara mandiri tanpa ada dukungan dana dari APBN. Pendidikan informal yang terbesar melakukan adalah justru media massa," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara silaturahmi Mendiknas dengan para pimpinan media massa di Hotel Sultan, Jakarta. <br />Hadir dalam acara Editor In Chief Harian Indo Pos Imam Syafi'i, Direktur Utama ANTARA Ahmad Muklis Yusuf, Director of Product Radio Smartfm Budi Setiawan, President Director TVRI I.G.N. Arsana, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, Chief Editor The Jakarta Post Endy M. Bayuni, dan Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV Makroen Sanjaya. Turut hadir mendampingi Mendiknas para pejabat eselon I Depdiknas. <br />Mendiknas menyampaikan, paradigma pendidikan untuk semua (Education for All) adalah membangun manusia seutuhnya bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Pendidikan ini, kata Mendiknas, bersifat inklusif dan dilakukan sepanjang hayat. Untuk itu pemerintah harus memberikan pelayanan yang memungkinkan setiap warga negara untuk setiap saat menjadi pembelajar. <br />Meski demikian, lanjut Mendiknas, tidak mungkin kalau tugas pelayanan pendidikan seluruhnya diserahkan kepada Depdiknas maupun Depag. " Ada porsi besar yang diambil masyarakat sendiri. Di sinilah betapa besarnya peran media massa," ujarnya. <br />Pada kesempatan tersebut Mendiknas memaparkan hasil-hasil pembangunan pendidikan nasional periode 2005-2007. Mendiknas menyampaikan kerangka hukum reformasi pendidikan di Indonesia dimulai sejak amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003. <br />Setelah itu disusul UU Guru dan Dosen Tahun 2005 dan UU Perpustakaan Tahun 2007 dan sedang dalam proses adalah UU Badan Hukum Pendidikan. " Ini perlu saya paparkan untuk menjadi jawaban saya terhadap keluhan masyarakat tentang ganti menteri maka ganti kebijakan. Ini tidak akan bisa terjadi kalau sudah dipatri dalam undang-undang," kata Mendiknas. <br />Mendiknas mengajak kepada semua media massa untuk bekerjasama memajukan pendidikan dan upaya yang dilakukan bersama tidak saling meniadakan. " Jangan sampai yang dilakukan oleh media itu kemudian dianulir oleh Mendiknas atau yang dilakukan oleh Mendiknas itu dianulir oleh media massa di dalam kehidupan sehari-hari," kata Mendiknas.Amalina Imadartyhttp://www.blogger.com/profile/17942483745289831893noreply@blogger.com1