Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan Khusus

1.MANAJEMEN PESERTA DIDIK dalam MENGHADAPI KREATIFITAS ANAK

Penulis : Khumaidi Tohar

Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.

Perkembangan anak didik yang baik adalah perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental. Tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh psikolog asal Amerika Serikat, Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkembangan anak didik yang bervariasi.

Penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik.

Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah "didik" atau "mendidik" yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan "pendidikan", merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalui sebuah proses pengajaran diberikan. Sebagai seorang manusia menjadi sebuah aksioma bahwa peserta didik mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, para pendidik dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan tradisional konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Salah satu cara dalam memecahkan masalah ini adalah pengelolaan pelayanan khusus bagi anak-anak yang punya bakat dan kreativitas yang tinggi, hal ini memang telah diamanatkan pemerintah dalam undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus".

Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju. Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya.

2. SUDAH SAATNYA DIBUKA SEKOLAH KHUSUS ATLET

Untuk Mengeliminasi Adanya Penyimpangan dalam Penerimaan Siswa Baru
SUDAH SAATNYA DIBUKA SEKOLAH KHUSUS ATLET
Oleh : ARIEF ACHMAD*)

PENERIMAAN siswa baru (PSB) di tingkat pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), khususnya sekolah-sekolah negeri, masih menyisakan setumpuk persoalan. Tidak hanya bagi masyarakat luas, terutama para orang tua siswa, pemerhati pendidikan, kalangan lembaga swadaya masyarakat dan anggota legistatif, tetapi juga bagi insan pendidikan itu sendiri seperti para kepala sekolah dan guru-guru.

Idealnya, PSB mengacu pada kemampuan akademik siswa, yakni berdasarkan akumulasi nilai ujian akhir sekolah jenjang sebelumnya. Untuk tingkat SLTP diambil dari nilai ujian akhir di SD, lantas untuk SLTA dari SLTP. Akan tetapi, mengingat banyaknya siswa pendaftar tidak sebanding dengan daya tampung di suatu sekolah maka dibuatlah passing grade.

Sebagai contoh, sekolah x berdaya tampung 400 siswa baru, siswa pendaftar 800 orang, yang akan diterima adalah pendaftar dengan nilai tertinggi (dijadikan urutan pertama) sampai dengan terrendah (urutan ke-400). Urutan ke-400 umpamanya, jumlah nilai ujian akhirnya 29,19, maka nilai inilah yang dijadikan passing grade sekolah x; sehingga urutan ke-401 s.d. 800 tidak akan diterima lantaran nilainya niscaya di bawah passing grade.

Nilai passing grade tersebut secara on-line dapat diakses khalayak ramai melalui internet. Dengan demikian orang tua siswa selekasnya dapat mengetahui posisi anaknya, apakah diterima atau tidak di sekolah pilihannya. Bagi yang diterima, segera menyiapkan kelengkapan administrasi serta dana/biaya untuk mendaftarkan diri ke sekolah itu. Bagi yang tidak diterima, harus secepatnya mencari sekolah lain yang dapat menerima anaknya untuk bersekolah di situ.

Segala sesuatunya kelihatannya berjalan linier, transparan, dan fair. Tapi, kondisi riilnya tidaklah serupa dengan yang tampak di permukaan. Betapa tidak, ternyata banyak pula siswa baru yang diterima di suatu sekolah meskipun nilainya di bawah passing grade yang telah ditentukan dan tidak terupdate di internet, alhasil tidak dapat diakses publik.

Secara legalitas, mereka dipayungi Dinas Pendidikan lewat jalur nonakademis, yakni diperuntukkan buat siswa yang pernah menjadi juara di suatu event olah raga atau seni di tingkat daerah (propinsi/kabupaten/kota), nasional, hingga internasional. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya piala, sertifikat, atau surat keterangan dari pihak panitia penyelenggara kejuaraan. Lain daripada itu, pihak sekolah pun menerima siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomis, biasanya dikhususkan bagi masyarakat yang berada di sekitar sekolah tersebut.

Dalam tulisan ini, jalur PSB via seni maupun yang berasal dari keluarga tidak mampu tidak akan dibahas. Di sini hanya akan dielaborasi PSB melalui jalur atlet, karena melalui jalur ini ternyata banyak menimbulkan tanda tanya besar bagi pelbagai pihak terkait (stakeholder).

Pertanyaan pokoknya adalah, apakah para siswa yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan itu benar-benar "atlet juara" di berbagai kejuaraan kabupaten/kota/propinsi/nasional/internasional? Sebab, tatkala keran PSB jalur atlet dibuka, banyak sekolah terutama sekolah-sekolah "favorit" kebanjiran para calon siswa yang mengaku "atlet juara" ini dan itu. Tidak jarang pihak sekolah difait accompli, karena mereka sudah dinyatakan "lolos seleksi" oleh Dinas Pendidikan; sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus diterima di sekolah itu. Malahan terdapat sejumlah sekolah negeri "bukan favorit" mengalami eksodus siswa baru (yang diterima lewat jalur akademis/passing grade) dan untuk selanjutnya mereka memasuki sekolah-sekolah "favorit" melalui jalur nonakademis/nonpassing grade atas restu Dinas Pendidikan.

Pola PSB melalui jalur nonakademis seyogyanya dihapuskan saja. Di samping tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, juga rawan terhadap atau berkecenderungan menimbulkan adanya penyimpangan dalam implementasinya, semisal adanya pemberian sertifikat "atlet juara" dan sejenisnya. (Terhadap perkeliruan semacam ini sesungguhnya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, berdasarkan pasal 242 KUHP)

Guna mengakomodasi para atlet yang bersekolah, sudah saatnya dibuka sekolah khusus atlet, sehingga tidak akan merecoki sekolah-sekolah umum dengan dalih jalur nonakademis-"atlet juara" sebagaimana dipaparkan di muka. Di sini, selain akan digembleng sebagaimana atlet olahraga umumnya, mereka juga akan belajar berbagai mata pelajaran laiknya sekolah umum, artinya kurikulum sekolah tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. Perbedaan antara sekolah khusus atlet dan sekolah umum terletak pada proses pembelajarannya, yaitu interaksi antara guru dan siswa tidak melulu melalui tatap muka/pertemuan kelas (vis a vis interaction/classroom meeting). Bagi siswa yang tidak sempat belajar di kelas karena harus ikut bertanding di suatu event olahraga dalam kurun waktu tertentu, misalnya, dapat diberikan semacam modul atau tugas-tugas belajar mandiri lainnya, sehingga proses pembelajarannya masih tetap berlangsung. Begitu pun dalam hal evaluasi pembelajaran atau ujian, tidak perlu massive, tetapi disesuaikan dengan jadwal pertandingan yang diikuti oleh siswa-atlet yang bersangkutan. Jika lulus ujian akhir sekolah, mereka pun berhak memperoleh ijazah sesuai dengan jenjang pendidikannya (SLTP/SLTA).

Mudah-mudahan dengan adanya sekolah khusus atlet ini akan diperoleh atlet-atlet handal sekaligus yang berwawasan akademis memadai, pada gilirannya menjadikan aset atau investasi berharga untuk kejayaan olah raga Indonesia umumnya dan daerah (propinsi/kabupaten/kota) khususnya di masa depan.

Boleh jadi inilah salah satu alternatif solusi terbaik secara profesional dan proporsional untuk mengurai benang kusut PSB selama ini, khususnya demi mengantisipasi banyaknya siswa-atlet yang ingin tetap berkiprah di dunia olahraga sembari bersekolah. NNNNN

*)Penulis, orang tua siswa baru di SMA Negeri 8 Bandung.


3. Orang Cacat Dilarang Sekolah di Sekolah Umum
Kamis, 09 Juni 2005
TEMPO Interaktif, Jakarta:Penyandang cacat kini tidak lagi boleh bersekolah di sekolah umum. Dalam persyaratan penerimaan murid baru sekolah menengah atas tahun 2005 dicantumkan persyaratan calon siswa tidak memiliki cacat fisik yang menggangu kegiatan belajar mengajar.

“Itu sama saja dengan melegalkan stigmatisasi terhadap orang cacat yang secara kultural telah lama diterapkan sekolah ketika menerima siswa baru,” ucap Presiden Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Siswadi, Kamis (9/6).

Menurut Siswadi, kebijakan itu sangat bertentangan dengan kebijakan sekolah inklusi (sekolah umum yang memberi peluang handicap yang memiliki nilai seleksi nasional tinggi) yang dibangun pemerintah. Sebagai pilot project jumlahnya baru 3.

Hal itu, ujarnya, juga bertentangan dengan UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat di mana penyandang cacat diberi kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan.

Padahal sekolah khusus penyandang cacat sendiri, ujarnya, sangat tidak mencukupi jumlahnya. Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya ada 1350 sekolah di seluruh Indonesia. Jika dirata-rata hanya 1 SLB untuk 4 kecamatan. “Mobilitas mereka hampir tidak mungkin. Antar desa saja sulit,”sesalnya. Ia sadar di Indonesia banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas khusus bagi orang cacat memperoleh pendidikan yang dapat memudahkan kegiatan belajar mengajar. “Justru itu yang menimbulkan diskriminasi,” katanya.

Padahal target Asis Pasific di mana Indonesia turut menandatanganinya, di tahun 2012, sekurangnya 75 persen anak cacat usia sekolah bisa memperoleh pendidikan. Saat ini, ujarnya, baru 5 persen dari 1,5 juta anak usia sekolah yang memperoleh pendidikan. “Yang sekarang sekolah baru 63 ribu di seluruh Indonesia,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI, Margani M. Mustar, mengakui dalam penerimaan siswa baru tahun ini mensyaratkan siswa baru tidak memiliki cacat fisik yang dapat mengganggu kegiatan belajar mengajar. “Juga bagi yang memiliki kelainan yang sulit dideskripsi,” ujarnya.

Ia membantah persyaratan cacat fisik ini bersifat diskriminatif. “Itu untuk kepentingan belajar mengajar juga,” jelasnya. Ia menuturkan, untuk sekolah menengah khusus seperti tata boga, tata busana dan teknik memang memerlukan indera yang baik. “Kalau buta warna kan mesti pakai huruf braille. Dan tidak semua sekolah punya huruf braille,” ucapnya.

DKI Jakarta, ucapnya, juga mengembangkan sekolah inklusi. “Di Jakarta ada beberapa, karena sekolah inklusi kan butuh peralatan lebih dan penanganan khusus,” ujarnya. Penyandang cacat, ujarnya, bisa datang ke dikmenti untuk mendapat bantuan pendidikan.

badriah


4. Pendidikan Luar Biasa Hanya Kebagian Anggaran 0,27 Persen
Senin, 06 Agustus 2007
TEMPO Interaktif, Solo:Departemen Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat. Pada tahun ini, alokasinya masih sebesar Rp 300 miliar dan tahun depan dipangkas sepauh lebih.

"Dalam rapat dengan Sekjen malam minggu kemarin tinggal Rp 130 miliar," kata Kepala Sub Direktorat Pembelajaran Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional, Samino kepada TEMPO, Senin.

Samino mengaku belum mengetahui secara pasti detail pemangkasan anggaran yang ditujukan untuk pendidikan khusus penyandang cacat tersebut. Namun dengan alokasi
sebesar itu, Pendidikan Luar Biasa hanya mendapat bagian sebesar 0,27 persen dari total anggaran pendidikan nasional yang tahun depan diproyeksikan sebesar Rp 48
triliun. "Kami hanya bisa berharap daerah ikut membantu mengalokasikan dana pendidikan luar biasa juga." ujarnya.

Menurut Samino, merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 370 ribu anak cacat usia sekolah. Sebagian besar mereka tidak menikmati pendidikan
meski konstitusi menjamin hak pengajaran bagi semua warga negaranya.

"Yang sudah mendapatkan pendidikan baru sekitar 86 ribu anak. Sebagian besar di SLB yakni 70 ribuan anak dan 16 ribuan di sekolah umum yang menerapkan pendidikan inklusi," kata Samino.

Dikatakannya jumlah sekolah luar biasa dalam berbagai jenjang mulai dari sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas hanya ada 1.400-an unit. Pendidikan luar biasa
terbantu dengan sekolah umum inklusi yang tahun ini mencapai 700-an sekolahan.

Menurut Samino, banyaknya anak penyandang cacat yang tidak mendapatkan pendidikan antara lain disebabkan SLB yang ada pada umumnya berada di perkotaan. "Sikap masyarakat yang masih menganggap anak cacat sebagai aib dan menyembunyikanjuga faktor yang membuat anak cacat tidak mendapatkan pendidikan," katanya.

Di era otonomi, masih banyak pemerintah daerah yang tidak mengalokasikan anggaran untuk pendidikan luar biasa, terutama di luar Jawa. Kalaupun menganggarkan, besarannya sedikit sekali. Imron Rosyid

5. Depdiknas Luncurkan Toolkit Pendidikan Inklusif
Senin, 02 Mei 2005
TEMPO Interaktif, Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan toolkit pendidikan Inklusif pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional di Sekolah Luar Biasa A Pembina Tingkat Nasional, Lebak Bulus, Jakarta, Senin (2/5). "Ini sebagai pedoman bagi pengajar anak penyandang cacat," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo dalam laporannya di hadapan Presiden Susilo Bamban Yudhoyono dalam acara itu.

Bambang mengatakan, hal itu merupakan kepedulian pemerintah terhadap pelayanan pendidikan. Menurut dia, adanya pendidikan inklusif merupakan perwujudan demokratisasi di bidang pendidikan. Dengan model ini, kata dia, setiap warga negara termasuk penyandang cacat memperoleh hak dan akses yang sama dalam wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. "Sekaligus upaya mewujudkan pelayanan pendidikan untuk semua," katanya.

Toolkit itu merupakan adaptasi dari program serupa yang sebelumnya disusun UNESCO di Bangkok. Proses adaptasi dilakukan Depdiknas bekerja sama dengan Braillonorway, USAID, melalui suatu bantuan teknis dari Helen Keller International dan UNESCO. Terdiri dari tujuh buku yang merupakan satu paket perangkat untuk mengembangkan lingkungan inklusif dan ramah terhadap pembelajaran. Rinaldi Dorasman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar