Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan Layanan Khusus

1. Pemerintah Diminta Lebih Serius Layani Pendidikan KhususSenin, 13 April 2009 | 12:14 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat Pendidikan Utomo Dananjaya meminta pemerintah lebih serius melayani anak Indonesia yang membutuhkan pendidikan layanan khusus. Selama ini, kata Utomo, pendidikan layanan khusus dilakukan oleh masyarakat lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah lah yang harus menanggung beban anak Indonesia berkebutuhan khusus ini.

"Pemerintah harus menyiapkan anggaran yang cukup untuk pendidikan layanan khusus, pemberian tanggung jawab kepada lembaga/masyarakat tidak cukup, tidak ada jaminan pendidikan akan terus berlanjut," kata Direktur Institute of Education Reform in, Senin (13/4).

Utomo menganggap pemerintah saat ini lebih bangga memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak cerdas, sedangkan untuk anak miskin cenderung diabaikan. "Pemerintah bersikap diskriminatif pada anak miskin dan tertinggal," katanya.

Sebelumnya, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso menyatakan sekitar tiga juta anak Indonesia kesulitan mengakses layanan pendidikan formal (sekolah reguler). Anak-anak itu terdiri dari 2,6 juta orang pekerja anak, 15 ribu orang anak yang lahir di daerah transmigrasi, dan ada 2000 an anak lain yang tersebar di 18 lembaga pemasyarakatan anak.

Selain itu, ada pula anak-anak korban perdagangan orang, anak-anak yang besar di daerah konflik, anak-anak yang hidup di lokasi pelacuran, anak dengan HIV/AIDS, dan anak putus sekolah karena kemiskinan/budaya.

REH ATEMALEM SUSANTI

2. Anak Indonesia Desak Pemerintah Bentuk Kementerian Khusus Anak
Minggu, 24 Juli 2005 | 10:53 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Anak-anak Indonesia menuntut kepada pemerintah untuk membentuk kementerian khusus yang menangani masalah anak. Tuntutan itu disampaikan dua perwakilan anak Indonesia saat membacakan ‘Naskah Anak Indonesia’ pada peringatan Hari Anak Nasional yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (24/7).

Acara yang disiarkan langsung TVRI itu dipusatkan di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah. Ribuan perwakilan anak dari 31 Provinsi dan wilayah Jabotabek, serta sejumlah menteri Kabinet Persatuan Indonesia menghadiri acara tersebut.

Selain menuntut kementerian khusus, ‘Naskah Anak Indonesia’ yang merupakan hasil Kongres Anak Indonesia yang diikuti 350 anak dari 31 Provinsi, juga mencantumkan enam tuntutan lainnya, yaitu mendesak semua pihak untuk mensosialisaikan dan merealisasikan Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, mendesak pemerintah untuk memberikan pemenuhan gizi dan menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi anak secara merata dan meningkatkan pelayanan kesehatan.

Berikutnya, anak-anak Indonesia mendesak pemerintah memberikan fasilitas pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas, serta memberikan akte kelahiran gratis, mengganti nama lembaga pemasyarakatan anak dengan nama lain yang mencerminkan keberpihakan pada perlindungan anak dan kepentingan terbaik pada anak, serta memberikan penambahan remisi khsusus pada anak yang berhadapan dengan masalah hukum.

Anak Indonesia juga mendesak semua pihak memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil kebijakan yang menyangkut kepentingan terbaik bagi anak. Khusus kepada kalangan pengelola media massa, anak Indonesia mendesak agar mereka menyajikan tayangan yang mendidik, bebas dari unsur pornografi dan pornoaksi.

Setelah dibacakan, naskah tersebut diberikan kepada Presiden Yudhoyono.

3. Pemerintah Daerah Diminta Komitmen Biayai Pendidikan Gratis
Selasa, 14 April 2009 | 17:14 WIB
TEMPO Interaktif , Jakarta: Pemerintah daerah diminta berkomitmen membiayai pendidikan gratis di daerah masing-masing. "Tanpa komitmen pemerintah daerah, pendidikan gratis tidak akan terwujud,' kata Koordinator Divisi Advokasi Publik Indonesian Corruption Watch Ade Irawan di Jakarta, Selasa (14/4).
Pada acara Rembuk Nasional Pendidikan 2009, Februari lalu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan tidak boleh ada pungutan lagi dalam proses pembelajaran pendidikan dasar sembilan tahun. Sekolah di sekolah negeri sampai sembilan tahun dijamin gratis, kecuali sekolah yang menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional.

Selama ini, kata Ade, pemerintah pusat memang telah mensubsidi pendidikan dasar melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun jumlahnya, lanjut dia, tidak mencukupi.

Pemerintah mengalokasikan BOS untuk siswa sekolah dasar di kabupaten sebesar Rp 397 ribu/siswa/tahun, dan siswa sekolah dasar di perkotaan sebesar Rp 400 ribu/siswa/tahun.

Sedangkan untuk siswa sekolah menengah pertama di kabupaten sebesar Rp 570 ribu/siswa/tahun dan untuk siswa yang ada di perkotaan sebesar Rp 575 ribu/siswa/tahun.

"Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah pusat perhitungan dana itu datangnya dari mana, karena kalau dibandingkan kebutuhan minimal siswa per tahun, angka itu sangat kecil," kata Ade lagi.

Padahal, jelas Ade, badan penelitian dan pengembangan Departemen Pendidikan Nasional pada 2006 sudah menghitung kebutuhan minimal satu orang siswa untuk tingkat sekolah dasar Rp 1,8 juta/tahun, dan kebutuhan siswa tingkat sekolah menengah pertama yaitu Rp 2,7 juta/tahun.

REH ATEMALEM SUSANTI

4. Layanan Pendidikan Untuk Kaum Marginal Masih Terabaikan
Minggu, 29 April 2007 | 16:15 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati mengatakan layanan pendidikan bagi kaum marginal masih sangat minim. Beasiswa yang selama ini digulirkan pemerintah untuk membantu kaum marginal juga dinilai tidak efektif.

"Tidak cukup hanya dengan pemberian beasiswa. Pendidikan untuk kaum marginal harus dilakukan dengan empati," katanya dalam seminar dan sosialisasi pendidikan kesetaraan di Aula Masjid Baitussalam, Jakarta, Minggu (29/04).

Menurutnya, layanan pendidikan yang bersifat empati, salah satunya adalah dengan menggalakkan program pendidikan kesetaraan bagi kaum marginal. Selain lebih efektif, pendidikan kesetaraan juga dianggap lebih fleksibel dan tepat diterapkan pada kaum marginal. Sebab, selain bersifat nonformal, pendidikan kesetaraan juga mengajarkan keterampilan dasar yang dapat melatih peserta didiknya untuk lebih siap dalam menghadapi dunia kerja. "Dalam pendidikan kesetaraan, yang diajarkan bukan hanya keseriusan, tapi juga bermain. Bukan hanya logika, tapi juga empati," katanya.

Pendidikan kesetaran merupakan pendidikan nonformal yang mencakup program Paket A (setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiah), Paket B (setara dengan Sekolah Menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah), serta Paket C (setara Sekolah Menengah Umum atau Madrasah Aliyah). Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal, setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sehingga, setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan berhak melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. "Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang setara dnegan pendidikan formal dalam memasuki perguruan tinggi atau lapangan kerja," katanya.

Ia manambahkan, pendidikan kesetaraan bukanlah hal yang baru. Ia mencontohkan, sebanyak 1,1 juta siswa di Amerika Serikat memilih pendidikan di sekolah rumah. Sedangkan di Inggris, sekitar 90 ribu orang memilih belajar di rumah daripada disekolah. "Hal yang sama juga terjadi Kanada dan Selandia Baru," katanya.

Di Indonesia sendiri, peserta didik pendidikan kesetaraan Paket B pada 2007 tercatat 535,072 orang. Angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah peserta didik pendidikan kesetaraan pada 2003 yang hanya berjumlah 259,360. Sedangkan peserta didik pendidikan kesetaraan Paket A tahun ini berjumlah 105,468 orang. Jumlah kelulusan Paket B pada 2006 tercatat 310,287 orang dan Peket A sebanyak 27,821 orang. Untuk meningkatkan layanan pendidikan kesetaraan, ia menambahkan, Departemen Pendidikan Nasional telah menganggarkan dana sebesar Rp 260 ribu untuk setiap peserta didik Paket A per tahun dan Rp 238 ribu untuk peserta didik Paket B per tahun. Sedangkan untuk penyelenggara pendidikan kesetaraan, departemennya akan membantu dana sebesar Rp 1,8 juta per tahun untuk Paket A dan 2,4 juta per tahun untuk Paket B.

Selain mensosialisasikan pendidikan kesetaraan, ia juga memberikan bantuan berupa satu unit mobil kepada Yayasan Al Hikmah untuk menjalankan program pendidikan kesetaraan. Acara ini juga dihadiri Anggota Komisi X DPR Aan Rohanah dari Fraksi PKS dan Ahli bidang pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Sukro Muhab.

Dwi Riyanto Agustiar


5.Tangerang Bebaskan Biaya Pendidikan 33.794 Pelajar MiskinSenin, 20 Oktober 2008 | 14:57 WIB
TEMPO Interaktif, Tangerang:Pemerintah Kota Tangerang membebaskan biaya pendidikan kepada sebanyak 33.794 pelajar sekolah negeri dan swasta.
Mereka dibebaskan dari biaya karena orang tuanya memiliki kartu multiguna. Kartu ini diperuntukan bagi keluarga yang tergolong miskin dan kurang mampu.

Ke-33.794 pelajar itu terdiri atas pelajar SD negeri sebanyak 24.505, SD swasta sejumlah 5.655, SMP negeri 168 pelajar, SMP swasta 816 pelajar, SMA negeri 750 pelajar, SMA swasta sebanyak 950 pelajar. Selanjutnya, pelajar SMK negeri sejumlah 150 dan SMK swasta sebanyak 710 pelajar.

"Mereka akan menikmati bantuan biaya pendidikan selama satu tahun, terhitung mulai Oktober 2008 sampai dengan Oktober 2009 mendatang," kata Sekretaris Daerah Kota Tangerang, Harry Mulya Zein Senin (20/10).

Setelah itu, dijelaskan Harry, kartu multiguna yang habis berlakunya akan diperbaharui kembali.
Untuk mendapatkan biaya pendidikan itu, pelajar yang bersangkutan hanya perlu membawa fotocopy kartu multiguna dan menyerahkan kepada sekolah. Selanjutnya, pihak sekolah akan menyerahkan data tersebut kepada Dinas Pendidikan.
Ayu Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar