Kamis, 05 Maret 2009

Pendidikan Dasar


Artikel 1
Sekilas - Pendidikan Dasar Untuk Semua
UNICEF-Indonesia_2_120104_Josh_Estey
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.

Artikel 2
Pendidikan Dalam Negeri

Selasa, 03 Mei 2005
Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan
SUDAH lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
TERLEBIH lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.
Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.
"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? (Indira Permanasari)

Artikel 3
Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Selasa, 13 Januari 2009 |
JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.
Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.
Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.
Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.
Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Artikel 4
Indonesia dan A.S. Rayakan Keberhasilan Program Pendidikan Dasar di Indonesia

May 14, 2007
Para pendidik dan pemuka masyarakat daerah dari seluruh Indonesia akan berkumpul di Jakarta pada hari Senin untuk merayakan keberhasilan program pendidikan dasar yang pertama yang didanai oleh Amerika Serikat dalam dua dasawarsa. Kuasa Usaha A.S., John Heffern, memberikan pengarahan kepada wakil masyarakat dari 23 daerah yang akan mulai melakukan pengkajian akhir program tersebut selama tiga hari untuk menjadi landasan persiapan bagi Prakarsa Pendidikan senilai 157 juta dolar AS yang dicanangkan oleh Presiden George Bush di Indonesia.
Menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu faktor kunci dalam menjamin terciptanya sebuah bangsa yang demokratis dan makmur, Heffern mengatakan: “Program empat-tahun senilai 10 juta dolar AS ini, yang dibawa oleh Badan Pembangunan Internasional A.S. (USAID) ke sekolah-sekolah di daerah pada 2003, telah mencapai tujuannya yakni membangun sistem pendidikan lokal yang berkualitas di seluruh Indonesia.”
Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE) USAID, yang tahun kelima dan terakhirnya akan berakhir Juni mendatang, saat ini dilaksanakan di 20 daerah di Jawa dan dua daerah di Aceh.
MBE, yang telah memberikan dukungan pendidikan kepada 449 sekolah dalam lima tahun sejarahnya, merupakan perintis bagi proyek Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (DBE) USAID yang sedang dan akan terus berlangsung sampai tahun 2010. Program DBE, yang merupakan bagian dari komitmen USAID dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar, dianggap berhasil meningkatkan nilai prestasi siswa secara signifikan dalam pelajaran membaca, ilmu pengetahuan alam, dan matematika.
Hampir 200 peserta menghadiri rapat pengkajian program tersebut, termasuk staf departemen pendidikan daerah, departemen agama, badan perencana, badan pendidikan, anggota dewan dan pendidik.
Program ini dianggap berhasil membantu menciptakan rencana pengembangan sekolah, membantu menjadikan anggaran sekolah transparan bagi masyarakat setempat, dan mendorong pembentukan perkumpulan orang tua. Di bawah program MBE, kelas menjadi tempat yang lebih menarik dan membangkitkan gairah bagi anak-anak, dengan dipamerkannya secara jelas contoh proyek akademik dan artistik para siswa. Tingkat kehadiran siswa meningkat di sekolah-sekolah yang melaksanakan program ini.

Artikel 5
SUARA PEMBARUAN DAILY
Reformasi Pendidikan Dasar
Ki Supriyoko

Reformasi pendidikan dasar di Indonesia akan segera dimulai dengan
ditentukannya persyaratan minimum terhadap para guru di satuan pendidikan
dasar itu sendiri, yang dalam hal ini adalah SD dan SLTP. Bagi guru dan
calon guru yang tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan minimum yang
telah ditentukan nantinya tak mungkin lagi dapat mengajar dan mendidik di
sekolah.

Dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUUSPN) edisi yang
paling akhir untuk saat ini, 3 Oktober 2002, pada Pasal 36 ayat (2)
disebutkan bahwa kualifikasi minimum untuk pendidik di tingkat pendidikan
prasekolah adalah lulusan D2, dan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah
adalah lulusan sarjana kependidikan atau lulusan sarjana nonkependidikan
ditambah sertifikat akta mengajar dari perguruan tinggi yang terakreditasi.

Perlu diketahui bahwa tahun 2003, diharapkan RUUSPN sudah dapat diundangkan.
Itu berarti bahwa mulai tahun 2003 ketentuan mengenai kualifikasi minimum
pendidik sudah diberlakukan. Apabila ketentuan ini diberlakukan dengan apa
adanya, bagi pendidik yang tidak memenuhi kualifikasi minimum tersebut tidak
dapat lagi melanjutkan karier dan profesinya sebagai guru SD dan SLTP.

Di situlah reformasi pendidikan dasar akan berjalan. Apabila guru SD dan
SLTP dipegang oleh tangan-tangan profesional, dalam hal ini ialah guru yang
memenuhi kualifikasi minimal yang standar, kiranya dapat diharapkan mutu
pendidikan dasar kita akan meningkat secara signifikan. Selanjutnya, apabila
mutu pendidikan dasar meningkat, mutu pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi baru dapat ditingkatkan.
Kesiapan Nasional
Pada dasarnya reformasi pendidikan perlu dilakukan dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional kita. Reformasi pendidikan dasar ini akan menjadi dasar
daripada reformasi pendidikan nasional secara keseluruhan. Permasalahannya
sekarang ialah sejauh mana kesiapan nasional kita untuk menjalankan
reformasi tersebut mengingat kualifikasi kebanyakan dari guru SD dan SLTP
teramat rendah serta belum memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana yang
akan ditetapkan dalam undang-undang.

Berdasarkan catatan Balitbang Depdiknas (2000), sekarang jumlah SD kita
mencapai 150.612 sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air; dan
dari keseluruhannya itu menampung siswa sebanyak 25.614.836 anak. Jumlah
guru SD kita sebanyak 1.141.168 orang meliputi kepala sekolah, guru kelas,
guru agama, dan guru penjaskes; baik yang berstatus pegawai negeri maupun
nonpegawai negeri. Apabila dilihat dari ijazah yang dimiliki guru tersebut
akan diperoleh formulasi sebagai berikut: sebanyak 699.121 orang atau 61,2
persen berijazah SLTP/ SLTA/PGSLP dan D1, sebanyak 337.624 orang atau 29,6
persen berijazah PGSLA dan D2, sebanyak 30.593 orang atau 2,7 persen
berijazah sarjana muda dan D3, sebanyak 73.438 orang atau 6,4 persen
berijazah sarjana, dan sebanyak 392 atau 0,1 persen berijazah pascasarjana.

Dari data tersebut di atas ternyata hanya 6,5 persen guru SD kita yang
memenuhi kualifikasi minimum mengajar atau mendidik sebagaimana ditentukan
di dalam RUUSPN. Angka itu pun bisa berkurang lagi mengingat di antara
sarjana dan pascasarjana yang mengajar di SD bukanlah sarjana kependidikan
yang belum memiliki sertifikat akta mengajar.

Apabila guru yang memenuhi kualifikasi masih sangat sedikit tentu sangat
berisiko untuk menerapkan ketentuan dimaksud tanpa pendekatan yang tepat
karena dipastikan mereka akan berguguran dalam jumlah yang sangat tinggi.

Bagaimana untuk SLTP? Dari sumber yang sama sekarang ini kita memiliki
20.866 sekolah yang keseluruhannya menampung siswa sebanyak 7.600.093 anak.
Jumlah guru SLTP kita sebanyak 441.174 orang meliputi kepala sekolah, guru
pemerintah, guru yayasan dan guru tidak tetap. Kalau dilihat dari ijazah
yang dimiliki guru tersebut akan diperoleh formulasi sebagai berikut:
sebanyak 162.836 orang atau 36,9 persen berijazah PGSLP/PGSLA dan D2,
sebanyak 94.128 orang atau 21,3 persen berijazah D3 dan sarjana muda
keguruan, sebanyak 13.609 orang atau 3,1 persen berijazah D3 dan sarjana
muda nonkeguruan, sebanyak 157,447 orang atau 35,7 persen berijazah sarjana
keguruan, serta sebanyak 1.382 orang atau 0,3 persen berijazah pascasarjana.

Dari data tersebut di atas ternyata hanya 38,7 persen guru SLTP kita yang
memenuhi kualifikasi minimum mendidik sebagaimana ditentukan dalam RUUSPN;
dan angka itu pun bisa berkurang lagi mengingat di antara sarjana dan
pascasarjana yang mengajar di SLTP bukanlah sarjana kependidikan yang belum
memiliki sertifikat akta mengajar.

Apabila pemerintah nantinya benar-benar akan menjalankan reformasi
pendidikan dasar dengan segera, segala sesuatunya harus dipersiapkan secara
memadai. Bagaimana mengadakan kekurangan guru yang memenuhi kualifikasi
minimum atau meningkatkan pendidikan guru supaya dapat memenuhi kualifikasi
minimum yang dipersyaratkan adalah masalah tersendiri yang perlu mendapat
perhatian sungguh-sungguh.

Mendidik guru dan calon guru sekurang-kurangnya sampai tingkat sarjana
memerlukan dana yang tidak sedikit; apalagi hal ini menyangkut jumlah yang
banyak. Oleh karena itu, dana pendidikan pun harus dipersiapkan sejak dini;
padahal kita tahu bahwa dana pemerintah kita untuk beberapa tahun terakhir
ini mengalami kekurangan dibanding kegiatan yang akan dilaksanakan.
Akibatnya dana pendidikan menjadi sangat terbatas.

Kesiapan Daerah
Pada dasarnya ketentuan tersebut di atas sangat konstruktif dalam rangka
memajukan pendidikan nasional kita melalui pendidikan dasar. Pasalnya ialah,
sejauhmana kesiapan daerah untuk melaksanakan ketentuan yang sangat
reformatif tersebut?

Pada umumnya daerah memang belum siap untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Untuk riilnya kita bisa mengambil contoh konkret, misalnya di DI Yogyakarta,
sebagai kota pendidikan yang sering dijadikan barometer pendidikan nasional.
Sekarang ini di Yogyakarta terdapat 2.304 sekolah yang secara keseluruhan
dapat menampung 300.167 siswa.

Jumlah guru SD di Yogyakarta mencapai angka 19.361 siswa; sementara guru
yang berpredikat sarjana dan pascasarjana sebanyak 1.289 orang atau 6,7
persen (nasional 6,5 persen) dari jumlah keseluruhan. Dengan demikian pada
satuan SD tidak ditemukan perbedaan kesiapan yang signifikan di tingkat
nasional dan di Yogyakarta.

Bagaimana dengan satuan SLTP? Secara statistik sekarang ini di Yogyakarta
terdapat 474 sekolah yang secara keseluruhannya dapat menampung 160.293
siswa. Jumlah guru SLTP di Yogyakarta mencapai angka 11.961 orang; sementara
itu guru yang berpredikat sarjana dan pascasarjana sebanyak 3.483 orang atau
29,1 persen (nasional 38,7 persen) dari jumlah keseluruhan. Dengan demikian
pada satuan SLTP, di Yogyakarta tidak ditemukan kesiapan yang lebih baik
akan tetapi justru lebih jelek daripada kesiapan nasional. Ternyata
rata-rata kualitas guru-guru SLTP di Yogyakarta justru lebih rendah daripada
kualitas guru-guru SLTP di Indonesia pada umumnya bila diukur dari
pendidikan tertinggi yang dimilikinya.
Kondisi tersebut menggambarkan betapa beratnya Yogyakarta untuk menjalankan
reformasi pendidikan dasar.
Logika sederhananya, kalau daerah Yogyakarta yang dijadikan barometer
pendidikan nasional saja belum siap menjalankan reformasi pendidikan apalagi
daerah-daerah yang lain.
Atas dasar yang demikian itu kita dapat memaklumi pendapat-pendapat yang
"melawan" substansi Pasal 36 Ayat (2) RUUSPN yang secara tidak langsung
mengamanatkan kepada kita untuk melaksanakan reformasi pendidikan dasar.
Apakah hal itu berarti bahwa Pasal 36 Ayat (2) tersebut harus dicabut? Tentu
saja tidak! Kalau itu dicabut berarti kita tidak pernah memi- liki cita-cita
yang tinggi untuk membenahi pendidikan nasional yang sedang terpuruk ini.
Dengan kata lain substansi dari pasal dan ayat yang mengamanatkan
dilakukannya reformasi pendidikan dasar tersebut harus dipertahankan.
Solusinya ialah, ketentuan tentang kualifikasi minimum guru SD dan SLTP yang
harus sarjana kependidikan atau sarjana nonkependidikan yang bersertifikat
akta mengajar tersebut dipertahankan namun implementasinya nanti dilakukan
secara bertahap.
Konkretnya: bagi guru harus memenuhi persyaratan dimaksud; bagi guru yang
umurnya sudah di atas 50 tahun diberi kesempatan selama maksimal 5 s/d 10
tahun untuk segera mensarjanakan diri. Dengan demikian 5 s/d 10 tahun yang
akan datang seluruh guru SD dan SLTP di negara kita akan memenuhi
kualifikasi minimum sebagai seorang yang profesional di dalam menjalankan
profesinya.
Di manapun yang namanya reformasi pendidikan memerlukan strategi dalam
menjalankannya; demikian pula halnya reformasi pendidikan dasar di negara
kita yang baru akan kita jalankan ketika RUUSPN sudah diundangkan.



2 komentar: