Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Khusus

Artikel 1
Pendidikan Khusus Korpaskhas TNI AU Paripurna


Selasa, 9 Desember 2008
JAKARTA, SELASA — Komandan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Marsma Harry Budiono menutup dua pendidikan, Kursus Komandan Kompi dan Kursus Spesialisasi Bravo, di Wing III Diklat Paskhas, Pangkalan Udara TNI AU Sulaiman, Bandung, Selasa, (9/12).
Kedua jenis pendidikan berlangsung tiga bulan diikuti 18 orang prajurit Paskhas berpangkat perwira dari batalyon satuan jajaran Korpaskhas seluruh Indonesia (Sus Danki) dan 29 orang prajurit Paskhas (Sus Bravo).
Predikat siswa terbaik diperoleh Letda Pasukan David Dulinggomang dari Batalyon 461 Paskhas Jakarta dan Prada Laude Ronie dari Detasemen Bravo.
Dalam pidato sambutannya, Harry mengatakan, penyelenggaraan kedua jenis pendidikan kursus tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan prajurit Paskhas yang siap digunakan sesuai kemampuan untuk mendukung, baik tugas-tugas Korpaskhas, maupun tugas bersama satuan TNI lain.

Artikel 2
Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus


KOMPAS/PEPIH NUGRAHA
Senin, 9 Februari 2009
Oleh Pepih Nugraha
Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.
Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.
”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.
Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.
Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”
Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).
Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).
VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.
”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.
Orangtua mampu
Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.
Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.
Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.
”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.
Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.
”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.
Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.
Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.
Tujuh rekor
Atas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.
Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.
Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.
”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.
Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.
Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.
”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

Artikel 3
Sekolah-ku, Khusus Anak Penderita Kanker


Sabtu, 21 Februari 2009
JAKARTA, SABTU - Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tak terkecuali untuk mereka yang mesti meninggalkan bangku sekolah karena harus berobat di rumah sakit. Karena itu demi melengkapi Rumah Kita, persinggahan anak penderita kanker yang sedang berobat, Sekolah-ku, sekolah khusus yang diselenggarakan di rumah sakit bagi anak-anak penderita kanker yang tengah berobat juga didirikan.
"Yayasan Kanker Anak Indonesia ( YKAKI), bekerja sama dengan para dokter dan perawat dari RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais membuat sekolah, agar anak-anak yang sedang menjalani pengobatan tetap mempunyai kegiatan dan tidak tertinggal dalam pelajaran", jelas Aniza M. Santosa, bendahara YKAKI, di Jakarta Sabtu (20/2).
YKAI bekerja sama dengan Home Schooling Kak Seto sebagai konsultan serta berbagai pihak antara lain PT Gramedia serta para donatur lainnya telah berhasil memfasilitasi tiga rumah sakit di Jakarta antara lain RSUP Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais dan RS Fatmawati. Tenaga-tenaga pengajar profesional telah direkrut secara tetap guna memfasilitasi program pendidikan di rumah sakit ini secara konsisten dan teratur.
"Sekolah-ku ini adalah wujud dari impian saya, bahwa walaupun anak sedang dalam pengobatan di rumah sakit, tetapi mereka tetap berhak untuk bermain dan belajar," kata Ira Soelistyo, salah satu pendiri sekaligus Sekretaris YKAKI, yang memiliki pengalaman putranya saat perawatan di luar negeri tetap bersekolah semasa tinggal di rumah sakit.
"Tenaga pengajar di sekolahku terdiri dari tujuh orang tutor, tiga orang tutor adalah sarjana psikologi dan empat orang adalah sarjana pendidikan," tutur Aniza.
Dido, seoorang tutor di sekolah-ku menjelaskan anak-anak penderita kanker sedikit berbeda dengan anak-anak pada umum. Terkadang mereka sangat lemah ketika habis melakukan pengobatan. "Mood mereka juga kurang stabil karena pengaruh obat," jelas Dido.
Dalam pengajaran, para tutor harus melakukan pendekatan ekstra, agar anak-anak tersebut bersedia belajar. Ketika anak menolak untuk belajar, para tutor akan menanyakan apa keinginan mereka.
Jika sudah mogok belajar, biasanya anak-anak akan diminta untuk mewarnai atau bermain balok. Namun tak jarang para tutor membiarkan dulu sampai anak itu lebih tenang. "Kita diamkan dulu, sambil bilang kalau sudah tenang, kakak ada di ruang sebelah ya...," ucap Dido.
Anak-anak tidak dipaksakan ingin belajar apa, mereka bebas memilih pelajaran dan tutor yang mereka sukai. Karena itu, seorang tutor menangani minimal dua orang anak."Yang satu kita kasih mewarnai dulu, lalu pindah ke pasien lain, terus dicek lagi yang sebelumnya, jadi ya bolak-balik aja," ungkap Dido.
Pengajaran juga bisa berlangsung di bangsal-bangsal rawat inap. Pelajaran yang di Sekolah-ku, layaknya sekolah pada umumnya. Ada pelajaran bahasa, matematika dan sosial. Tutorlah yang memberikan bahan-bahan pelajaran mereka.
Jika tidak sedang mengalami perawatan, sebagian anak bersekolah di sekolah umum. Namun menurut Aniza, karena ketebatasan ekonomi, banyak juga anak-anak yang putus sekolah. "Rata-rata yang ikut dalam sekolah-ku adalah anak dari keluarga yang kurang mampu, banyak juga yang putus sekolah. Kalau di sekolah-ku sama sekali tidak dipungut biaya," jelas Aniza.
Saat ini sekolah-ku mempunyai murid sekitar 60 siswa, mulai dari kelas dua SD, sampai kelas enam. Dalam jangka panjang, Sekolah-ku bertujuan untuk memfasilitas anak-anak agar dapat mengikuti ujian akhir ataupun ujian sekolahnya meski masih dalam perawatan di rumah sakit dengan izin dari sekolah serta Departemen Pendidikan Nasional atau badan terkait."Pihak kami juga sedang mengupayakan anak-anak Sekolah-ku agar dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional," ujar Aniza.
Sekolah kita terdapat di RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais. Jadwal di RSCM, setiap hari Senin dan Kamis, pukul 15.30, RS. Kanker Darmais hari Rabu dan Jumaat pukul 08.30 - 12.00. Di RS. Fatmawati hari Selasa dan Jumat pukul 15.00- 17.30.

Artikel 4
Sekolah Cenderung Seragam
Anak Berbakat Khusus Diabaikan


Sabtu, 10 Januari 2009
Yogyakarta, Kompas - Sistem pendidikan saat ini belum bisa mengakomodasi anak berbakat khusus atau gifted. Sekolah cenderung menyeragamkan kemampuan anak tanpa melihat potensinya. Padahal, tanpa penanganan yang tepat, potensi besar anak berbakat khusus akan terbengkalai dan kerap menimbulkan masalah.
Anggota DPD GKR Hemas mengatakan anak berbakat khusus mempunyai kemampuan dan cara berpikir yang berbeda dari anak pada umumnya. Mereka juga mempunyai kebutuhan besar untuk berpikir dan berekspresi secara bebas.
Sekolah yang ada saat ini cenderung tidak melihat keunikan tersebut. Sistem pendidikan juga belum bisa memenuhi kebutuhan anak berbakat khusus untuk berpikir secara bebas. Kelas akselerasi yang semula dimaksudkan untuk mewadahi anak berbakat khusus pun, pada kenyataannya hanya berisi pemadatan materi pelajaran.
Berbeda
Oleh karena itu, tutur Hemas, diperlukan sebuah sekolah khusus untuk mengakomodasi mereka. "Pola pengasuhan dan pendidikan anak berbakat khusus tidak bisa disamakan. Tanpa kebebasan penuh untuk berpikir, mereka akan sulit menggali potensinya,"katanya dalam seminar regional "Merumuskan Media Belajar Bersama untuk Anak Berbakat Khusus (Gifted)" yang diselenggarakan Yayasan Anak Bangsa Mandiri di Aula Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (9/1). Anak berbakat khusus biasanya berintelegensia jauh di atas rata- rata. Beberapa di antara tokoh dunia yang termasuk dalam kategori tersebut, antara lain Albert Einstein dan Thomas Alva Eddison. Akibat cara berpikir yang berbeda tersebut, anak berbakat khusus kerap tampak berulah di sekolahnya. Selain itu, mereka juga kerap dianggap bodoh karena tidak memperlihatkan nilai akademis yang baik. "Pada banyak kasus, anak berbakat khusus ini paling kerap membolos dan melakukan tingkah yang dianggap sebagai kenakalan oleh gurunya," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya mengatakan, anak berbakat khusus mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keunikannya. Hal ini mengingat hakikat pendidikan adalah mengembangkan potensi sesuai dengan bakatnya. Selama ini, pendidikan justru cenderung mengubah anak sesuai dengan citra yang diinginkan masyarakat, yaitu mempunyai nilai akademis tinggi, penurut, dan pendiam. "Hal ini jelas sulit diterapkan pada anak berbakat khusus karena akan mengubur bakatnya," ucapnya. (IRE)

Artikel 5
Jalan Panjang Sekolah Autisme


Kamis, 8 Mei 2008
SLB Autis Fajar Nugraha di Seturan, Condong Catur, Depok, Sleman, terus didatangi orangtua dari anak penyandang autisme yang ingin menyekolahkan anak mereka.
”Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak autis memang meningkat. Saat ini, tiap tiga hari sekali ada orangtua yang datang. Itu belum termasuk telepon tiap hari yang mencari informasi tentang sekolah autis,” tutur Kepala SLB Autis Fajar Nugraha Meiriawan, Rabu (30/4).
Tercatat setidaknya delapan anak autis masuk daftar tunggu untuk bisa bersekolah di SLB autistik pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1997 itu. Pihak sekolah pun tidak bisa menjanjikan kapan anak-anak itu bisa mulai belajar. Pasalnya, jangka waktu kelulusan anak berbeda-beda, tergantung dari kemampuan masing-masing.
Mereka bisa menyelesaikan pendidikan dalam satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan bertahun-tahun. Proses belajar tiap anak pun didampingi secara utuh oleh seorang guru. Ketika seorang anak lulus, guru pendamping baru bisa mengajar anak autis lain. Dengan 16 guru pendamping, saat ini SLB Autis Fajar Nugraha melayani 14 anak autis.
Meiriawan mengungkapkan, selama bersekolah, anak-anak autis disiapkan untuk mampu mandiri. Kemampuan bina diri, kognitif, psikomotorik, bahasa, dan sosialisasi anak terus dikembangkan. Harapannya, setelah lulus dari SLB autistik mereka bisa meneruskan studi ke sekolah umum.
Hanya saja, kemampuan tiap anak tidak bisa disamakan. Aldo (3), misalnya, diharapkan sudah bisa lulus dari SLB Autis Fajar Nugraha dalam dua tahun ke depan. Rabu siang itu, bersama rekan-rekannya yang lain, Aldo menyuapkan sendiri makan siangnya ke dalam mulut.
Kholifatut Diniah, pengajar di SLB Autis Fajar Nugraha, mengutarakan, mendampingi anak autis memang merupakan tantangan yang membutuhkan kesabaran luar biasa. ”Meski terkadang anak autis seperti berada di dunianya sendiri dan mengacuhkan orang lain, mereka bisa merasakan dengan hati,” ujarnya.
Tak terlupakan
Penanganan autisme—gangguan perkembangan akibat adanya gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak sehingga anak tidak bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif—memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di SLB Autis Fajar Nugraha, orangtua harus membayar Rp 600.000 per bulan.
Setelah tamat dari sekolah luar biasa autis dasar yang setara TK hingga SD, penyandang autisme dapat melanjutkan ke SLB Autis Lanjutan atau setara dengan jenjang SMP-SMA. Biayanya juga tidak murah. Di SLB Autis Lanjutan Fredofios Yogyakarta, biaya pendidikan mencapai Rp 750.000 per bulan.
Selain mata pelajaran yang berlaku di sekolah formal, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, sekolah ini juga memberikan pelajaran keterampilan seperti Seni Lukis, Seni Musik, Komputer, Seni Tari, Seni Kriya, dan Memasak. ”Murid didorong tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan akademis, namun yang terpenting dapat merangsang saraf motoriknya,” ucap Kepala SLB Autis Lanjutan Fredofios Abdu Somad.
Untuk mempermudah murid autis menyerap materi pelajaran, metode pengajaran diberikan secara visual. ”Murid autis tidak bisa diberikan sesuatu yang abstrak, mereka akan bingung. Karenanya, 75 persen pelajaran yang diberikan kepada murid berupa praktik. Sisanya untuk pelajaran akademis,” ujar Somad.
Seperti anak pada umumnya, lanjut Somad, anak autis juga memiliki potensi yang perlu digali. Pengajar akan memperbanyak porsi pada aktivitas yang diminati murid autis. Saat ini SLB autis lanjutan Fredofios memiliki delapan murid yang terdiri atas enam murid penderita autis dan dua murid tunagrahita. Usia mereka 14-22 tahun, dan dilayani oleh tujuh pengajar dengan spesialisasi materi-materi yang berbeda.
Biaya tinggi
Tingginya biaya sekolah ini membuat tak semua orangtua menyekolahkan anak mereka di SLB autis. Orangtua yang punya kesadaran tinggi akan hak belajar anak akan menyekolahkan anak mereka di SLB umum. Proses pembelajaran pun dilakukan bersama dengan anak berkebutuhan khusus lainnya.
Di SLB PGRI Trimulyo, Bantul, misalnya, anak-anak autis yang memiliki kecenderungan hiperaktif disatukan dengan anak tunagrahita. ”Anak-anak hiperaktif biasanya sulit berkonsentrasi dan asyik sendiri. Tak jarang mereka sering jatuh dan memukuli teman sendiri,” kata Sri Lestari, guru tunagrahita di SLB PGRI Trimulyo. Sri pun terpaksa mengikat anak-anak hiperaktif ke kursi supaya bisa berkonsentrasi.
Namun, upaya itu tidak berhasil karena mereka tetap berlarian sambil membawa kursinya.
”Terus terang pengetahuan saya soal anak autis memang masih minim, tetapi mereka tetap harus saya asuh,” katanya. Sri sudah sering menyarankan kepada para orangtua untuk membawa anak mereka ke sekolah autis di Yogyakarta. Namun, mereka biasanya menolak karena faktor jarak yang terlalu jauh dan kendala biaya.
Pemerintah Provinsi DIY terus berusaha meningkatkan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus.
”Dari sisi kuantitas, jumlah SLB dan sekolah inklusi yang menangani anak berkebutuhan khusus cukup memadai. Namun, kami terus berupaya meningkatkan kualitasnya,” papar Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan pendidikan Dasar Dinas Pendidikan DIY Nova Widiyarto.
Tahun 2007 terdapat 60 SLB di seluruh DIY, enam di antaranya adalah SLB negeri. Selain itu, jumlah Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) terus bertambah menjadi 70 sekolah sejak dirintis pertama kali tahun 1997.
Jumlah anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, baik di SLB maupun SPPI, sebanyak 3.682 orang. Dinas pendidikan terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Tahun 2006, sebanyak 2.040 anak berkebutuhan khusus belum bersekolah. (Agni Rahadyanti/A06/ENY)

1 komentar: