Minggu, 17 Mei 2009

Pendidikan Non Formal

Artikel 1

Akreditasi Pendidikan Nonformal Tidak untuk Mematikan


JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Namun, akreditasi itu dibuat sesuai dengan kondisi dan tidak akan mematikan pertumbuhan pendidikan nonformal.

"Kami tidak ingin parameter yang terlalu mengekang tetapi tetap berkualitas. Memang agak menyimpang dari model akreditasi di pendidikan formal itu karena tidak ingin mematikan kegiatan pendidikan nonformal," ujar Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF), Yessi Gusman, Selasa (31/3).

Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009. Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan tahun 2008 ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009, direncanakan total 1.850 lembaga dan program akan diakreditasi.

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi tersebut dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujarnya.

Yessi dan 12 orang anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 200 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain l embaga profesional, kursus, serta lembaga nonprofit seperti majlis taklim, taman bacaan masyarakat dan pusat kegiatan belajar masyarakat.


Artikel 2

Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal


JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.

Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.

Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.

"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.

Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.

"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.


Artikel 3

Pemerintah Bangun Sekolah untuk Anak TKI Di Malaysia



JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.

Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.

Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.

Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.

Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.

Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.

Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.

Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.


Artikel 4

Mereka yang Berinovasi di Bidang Pendidikan


JAKARTA, KOMPAS.com — Pendidikan, sejatinya, diyakini siapa pun sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu.

Lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu - individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan hidup.

Desakan supaya bangsa ini kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan para pendiri negeri ini begitu kuat. Pendidikan dirasakan belum ”keluar” dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.

Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya.

Mesti diakui secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan diyakini belumlah menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam sistem pendidikan nasional.

Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya Ujian Nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan, bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3.

Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli, apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.

Mandiri, Kreatif, Kritis

Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya.

Sujono Samba dalam bukunya berjudul 'Lebih Baik Tidak Sekolah' yang diterbitkan LKiS mengatakan, sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi.

Lebih lanjut, guru Sujono ini mengatakan, kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing.

Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.

Mereka yang Berbuat

Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah justru lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar.

Lendo Novo, alumnus Institut Teknologi Bandung, menggagas lahirnya sekolah alam karena rasa gemas pada sistem pendidikan yang tidak berangkat dari potensi yang dimiliki bangsa ini, yakni alam Indonesia yang kaya sebagai gudang ilmu pengetahuan. Pendidikan yang dialami siswa adalah yang membekali kehidupan saat menjadi apa pun pilihan mereka nantinya.

Sulthon Amien, Ketua Badan Pembina Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya, merasa resah dengan persekolahan yang berubah jadi ”neraka” buat anak-anak yang seharusnya bergairah untuk mengeksplorasi banyak hal dalam kehidupan. Berangkat dari pengalaman anak-anaknya yang justru stres saat berada di sekolah, Sulthon dan istrinya terinsipirasi mendirikan sekolah yang bersahabat dengan anak-anak.

Pendidikan pun tak dimaknai Sulthon dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Yang penting, anak-anak menikmati belajar dan bisa berkembang. Keyakinan ini dibuktikan dari dibebaskannya anak-anaknya untuk bersekolah formal atau tidak. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, anak-anak bisa berhasil menjadi apa yang diinginkan.

Lakukan Terobosan

Jika berbicara soal anak-anak jenius, salah satu nama yang diingat adalah Profesor Yohanes Surya. Fisikawan berkaliber internasional ini meyakini Indonesia memiliki anak-anak jenius yang tidak kalah dibandingkan dengan negara lain dan suatu saat ilmuwan Indonesia bisa meraih Nobel.

Daripada berpangku tangan melihat negara yang masih abai pada pendidikan anak-anak berpotensi itu, Yohanes melakukan banyak terobosan untuk bisa membuka mata pemerintah dan kita semua bahwa Indonesia harusnya percaya diri untuk bisa maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya yang tiada henti setidaknya melahirkan komitmen pemerintah yang mulai memfasilitasi beasiswa pendidikan anak-anak cerdas istimewa.

Upaya untuk membuat anak-anak Indonesia tidak alergi terhadap pelajaran sains di sekolah menjadi mimpi Sanny Djohan dan timnya dengan melahirkan komik sains Kuark. Penjelasan sains dengan komik dimaksudkan supaya belajar sains tidak lagi dicitrakan hanya untuk anak-anak yang berotak cemerlang.

Sanny yang pengusaha dan ibu rumah tangga ini ketika kembali lagi ke Indonesia setelah lama di luar negeri merasa kaget dengan pendidikan di negeri ini. Anak-anaknya tidak menikmati pendidikan yang dijalani sampai akhirnya bergabung lagi dengan salah satu sekolah internasional.

Keresahannya terhadap kondisi pendidikan membawanya pada upaya untuk menemukan cara yang pas berkontribusi di bidang ini. Dengan menggandeng orang-orang yang juga punya kepedulian sama bagi masa depan generasi bangsa, tercetuslah membuat komik sains yang bisa disukai semua anak, terutama di jenjang pendidikan dasar. Dan, kegiatan Olimpiade Sains Kuark yang boleh diikuti siapa saja itu mulai menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu.

Kerinduan untuk bisa menghadirkan belajar yang menyenangkan buat anak dan mengembangkan potensi unik setiap anak mendorong semakin tumbuhnya sekolah rumah atau homeschooling serta pendidikan alternatif lainnya. Belajar dipahami tidak mesti di sekolah, tetapi di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja, dengan meletakkan tanggung jawab utama pelaksanaannya oleh keluarga. Komunitas ini bergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif dengan Ketua Umum Seto Mulyadi.

Kegelisahan dan keresahan pada sistem pendidikan nasional yang andal untuk melahirkan sumber daya manusia berbobot bagi mereka yang peduli pada masa depan bangsa ini memang bisa membuat frustrasi.

Namun, di tengah situasi tersebut, bertindak nyata yang bisa menginspirasi perbaikan pendidikan saat ini sangat dibutuhkan anak-anak kita. Dan, telah ada banyak individu dan kelompok yang mulai berbuat.


Artikel 5

Pendidikan untuk Anak TKI Masih Diabaikan


JAKARTA, SABTU - Pendidikan untuk anak-anak tenaga kerja Indonesia di Sabah, Malaysia, yang jumlahnya lebih dari 36.000 anak masih diabaikan. Peran dan dukungan pemerintah terhadap persoalan ini pun dianggap yayasan penyelenggara pendidikan masih kurang.

Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Pendidikan Anak Indonesia (YPPAI) Sabah Leonardus Gigo Atawuwur mengungkapkan hal itu dalam jumpa pers, Jumat (21/11). YPPAI merupakan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, khususnya anak- anak warga Indonesia di Sabah. Mereka menyelenggarakan pendidikan nonformal dengan kurikulum seluruhnya dari Indonesia.

Yayasan tersebut semula bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia dan telah menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Keningau, Malaysia, sejak satu setengah tahun lalu. Kini, dibuka pula PKBM di Lahad Dato. Jumlah peserta belajar di kedua PKBM tersebut sebanyak 746 anak berusia 6-15 tahun.

Dia mengatakan, penyelenggara pendidikan nonformal tersebut masih membutuhkan dukungan pemerintah. Bantuan yang mendesak, antara lain, surat izin formal dari Departemen Pendidikan Nasional.

”Permintaan izin resmi itu sudah dimasukkan sejak Agus- tus lalu, tetapi belum ada kabarnya. Walaupun secara lisan, Departemen Pendidikan Nasional memperkenankan. Sedangkan dari Pemerintah Negara Bagian Sabah Malaysia, izin resmi tidak sampai satu jam prosesnya,” ujarnya.

Leonardus mengatakan bahwa yayasan tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah kedua negara atau donatur. Oleh karena itu, untuk operasionalnya, mereka mengandalkan iuran dari orangtua. Uang pendaftaran masuk ke PKBM 150 ringgit Malaysia dan iuran bulanan sekitar 15 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 40.000. Iuran tersebut sebelumnya dibicarakan dahulu dengan orangtua siswa.

Bagi pengelola perkebunan, sarana pendidikan diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi para TKI. Direktur Eksekutif Felda Plantations SDN.Bhd, Mohd.Nor Bin Omar, yang mengelola perkebunan sawit, mengatakan, perusahaan hanya menyediakan tenaga instruktur dan fasilitas sekadarnya.

Sumber : Kompas Cetak

1 komentar: